Padang, kabarin.co — Ketegangan pecah di sekitar kawasan PT Semen Padang, Kamis (30/10/2025) sore. Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Lentera Institute datang dengan semangat damai untuk menyuarakan keresahan masyarakat soal dampak lingkungan dan sosial dari aktivitas perusahaan semen tertua di Indonesia itu.
Namun, langkah mereka terhenti di tengah jalan. Belum sempat orasi dimulai, massa aksi diadang oleh sekelompok ormas dan pemuda yang kuat dugaan telah dikordinir langsung oleh pihak perusahaan.
Suara bentakan menggema di udara. Ada yang berteriak “PT Semen Padang bukan wilayah kalian!”. Sebuah teriakan yang menyayat logika keadilan seolah rakyat tak lagi punya hak bersuara di tanah kelahirannya sendiri.
Bentuk-bentuk intimidasi, makian, hingga ancaman fisik mewarnai situasi di lapangan. Massa Lentera Institute pun akhirnya dipaksa bubar. Padahal, hak menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak konstitusional, dijamin oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998.
Presiden Mahasiswa sekaligus Koordinator Daerah BEM SI Sumbar 2022, Muhammad Fajri, tak menutupi kemarahannya. Ia mengecam keras tindakan yang disebutnya sebagai bentuk pembungkaman terhadap suara rakyat itu.
“Kami datang dengan niat baik untuk menyuarakan persoalan rakyat. Tapi ketika suara kebenaran dibungkam dengan cara kasar, itu tanda lemahnya moral dan ketakutan terhadap kritik. Kami tidak akan mundur!” tegas Fajri.
Baginya, kejadian ini adalah tamparan keras bagi demokrasi Sumatera Barat. Ruang kebebasan sipil yang seharusnya dijaga, kini justru dicederai oleh kepentingan korporasi besar.
“Kita akan terus memperjuangkan hak rakyat. Karena suara rakyat tak akan pernah bisa dibungkam,” tambahnya lantang.
Aksi yang semula direncanakan damai itu sejatinya adalah bentuk keprihatinan terhadap sikap PT Semen Padang yang dinilai gagal menunjukkan kepedulian sosial dan tanggung jawab lingkungan.
“Kami datang bukan untuk meminta, tapi menagih janji! Bertahun-tahun Semen Padang berdiri di sini, tapi jalan-jalan kami rusak, debu menyesakkan, dan suara truk memecah malam tanpa henti. Kami muak dengan dalih CSR yang tak pernah menyentuh rakyat,” ucap Ketua Lentera Institute, Edo.
Dalam aksi itu, masa aksi menuntut agar PT Semen Padang bertanggung jawab atas kerusakan jalan dan polusi akibat mobilitas truk angkutan semen yang tak terkendali.
Mereka juga meminta pemerintah daerah dan Dinas terkait untuk turun tangan melakukan audit independen terhadap kapasitas tonase kendaraan perusahaan.
“Jangan biarkan perusahaan sebesar ini kebal hukum hanya karena punya nama besar! Rakyat butuh keadilan, bukan janji manis!” tegas Edo.
Massa Lentera Institute juga mendesak agar PT Semen Padang membuka data publik terkait volume kendaraan, rencana perbaikan jalan, hingga kontribusi riil CSR perusahaan terhadap masyarakat sekitar.
“Sudah saatnya masyarakat ikut duduk dalam forum CSR, bukan sekadar jadi penonton. Jangan jadikan tanggung jawab sosial sebagai pencitraan tahunan. Ini soal moral, soal komitmen terhadap nagari yang sudah memberi tanah dan udara untuk mereka beroperasi,” jelasnya menyampaikan tuntutan massa aksi. (*).







