Bangsa Jin dan Hakikat Mereka Hidup di Dunia

kabarin.co – Perbincangan soal jin dan dunia mereka, seakan tak pernah ada habisnya. Penuh misteri. Ada banyak hal yang belum terungkap dan masih menyisakan tanda tanya besar. Berbagai upaya di level akademik atau observasi langsung dilakukan demi menjawab segudang pertanyaan tentang bangsa jin dan hakikat mereka.

Kitab yang ditulis Badruddin bin Abdullah as-Syibly, yang berjudul Ajaib wa Gharaib al-Jin ini, adalah entri penting yanng memperluas cakrawala seputar jin. Kitab yang manuskripnya ditemukan pertama kali dengan judul Akam al-Marjan fi Ahkam al-Jan ini, memuat beberapa bahasan penting yang menjawab secara fundamental apa pun terkait bangsa halus tersebut.

Inilah yang melatarbelakangi sebagian kalangan, mendaulat kitab karangan tokoh yang juga dikenal sebagai qadi itu sebagai referensi terpenting, bahkan kitab paling komprehensif seputar jin yang pernah ditulis pada Abad Pertengahan.

Dalam kitab yang dicetak oleh al-Azhar, Mesir pada 1358 M dengan judul  Akam al-Marjan fi Gharaib al-Akhbar  wa Ahkam al-Jan dibeberkan secara lugas berbagai jawaban atas pertanyaan seputar Jin. Syekh Badruddin yang bermazhab Hanafi itu mengisahkan, mengapa ia tertarik membahas persoalan jin? Ini tak lain didorong munculnya perdebatan tentang pernikahan antara manusia dan jin pada masa itu. Saya pun tergerak menulis kitab yang pada masa itu dibilang asing ini, kata dia dalam mukadimah.

Hal mendasar yang dicoba diyakinkan oleh Syekh Badruddin adalah keberadaan jin itu sendiri. Sosok yang wafat pada 729 H ini menegaskan keberadaan jin. Secara logika dan rasionalitas, serta tentu didukung dengan dalil tekstual baik dari Alquran dan sunah, keberadaan jin tidak bisa dinafikan. Mereka ada hidup di alam lain, yang berbeda dengan dunia manusia.

Ia menepis asumsi para filsuf dan sebagian cendekiawan Muslim dari Sekte Qadariyah dan mayoritas Mu’tazilah yang enggan percaya keberadaan jin. Bukan berarti mereka tak kasat mata dan tak teraba indera, lantas mereka tak ada. Banyak bukti baik berupa dalil tekstual maupun konsensus ulama sejak masa sahabat hingga tabiin yang menguatkan keberadaan jin.

Muncul pertanyaan berikutnya, yaitu kapankah jin diciptakan? Syekh Badruddin mengutip pendapat tokoh salaf. Di antaranya Abdullah bin Amr bin al-Ash, ia mengatakan, Allah menciptakan jin 2000 tahun sebelum menciptakan Adam dan keturunannya. Jin didaulat tinggal dan mengurus bumi. Sedangkan, para malaikat menghuni langit dengan kualitas iman dan amal saleh yang jauh di atas bangsa Jin.

Di bagian selanjutnya, Syekh Badruddin menjelaskan, bahan penciptaan jin. Jika manusia tercipta dari sari pati tanah, bangsa jin tercipta dari api neraka. Menurut Qadi Abd al-Jabbar, argumentasi atas fakta ini sangat tekstual. Ini merujuk antara lain surah al-Hijr ayat ke-27 dan surah ar-Rahman ayat ke-15.

Karena itulah, fisik jin sangat halus dan bahkan, transparan tidak kasat mata. Mereka melihat manusia, tetapi manusia tak dapat mengindera mereka secara umum. Kendati demikian, ia mempunyai kemampuan menjelma dan berubah wujud dalam bentuk makhluk nyata, seperti binatang atau bahkan manusia.

Ini seperti yang pernah terjadi ketika jin dengan jenis setan menjelma menjadi Suraqah bin Malik bin Ja’syam lalu mendatangi kafir Quraisy, ketika mereka tengah bermusyawarah untuk terjun dalam Perang Badar. Peristiwa tersebut terekam dalam Alquran surah al-Anfal ayat ke-48.

Dan ketika setan menjadikan mereka memandang baik pekerjaan mereka dan mengatakan: “Tidak ada seorang manusia pun yang dapat menang terhadapmu pada hari ini, dan sesungguhnya saya ini adalah pelindungmu”.

Tatkala kedua pasukan itu telah dapat saling lihat melihat (berhadapan), setan itu balik ke belakang seraya berkata: “Sesungguhnya saya berlepas diri daripada kamu, sesungguhnya saya dapat melihat apa yang kamu sekalian tidak dapat melihat; sesungguhnya saya takut kepada Allah. Dan Allah sangat keras siksa-Nya.

Fakta yang tak kalah menarik dalam karya Syekh Badruddin yang bercorak hadis tekstual ini ialah, aktivitas jin pada dasarnya serupa dengan manusia. Mereka makan, minum, tidur, dan beranak-pinak. Kendati para ulama tidak satu pendapat, ihwal apa jenis makanan mereka. Ada yang mengatakan, di antara makanan jin adalah segala hal yang tidak disembelih dengan asma Allah.

Ada pula yang mengatakan, menu favorit jin adalah tulang belulang. Berbeda dengan manusia dan tuntunan yang diajarkan Rasulullah SAW, bangsa jin makan dan minum menggunakan tangan kiri. Sementara kita, umat Islam diajarkan menggunakan tangan kanan untuk kedua aktivitas tersebut.

Kesamaan tersebut bukan hanya soal kebutuhan biologis sehari-hari, melainkan soal aspek ritual, pada dasarnya bangsa jin juga mendapat perintah yang sama, yaitu beribadah kepada Allah SWT, seperti manusia. Mereka juga mendapat perintah dan larangan. Tidak menyekutukan Allah misalnya, dan perintah berbuat baik serta larangan melakukan maksiat. Kendati demikian, ulama sepakat, Allah tidak pernah mengutus rasul dari bangsa jin. Para rasul hanya berasal dari bangsa manusia.

Katakanlah (hai Muhammad): “Telah diwahyukan kepadamu bahwasanya: telah mendengarkan sekumpulan jin (akan Alquran), lalu mereka berkata: Sesungguhnya kami telah mendengarkan Alquran yang menakjubkan, (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seseorang pun dengan Tuhan kami. (QS al-Jin [72]: 1-2).

Aura mistis begitu melekat begitu bersinggungan atau sekadar membahas jin, setan, makluk halus, atau mereka yang sejenis. Bahkan,  sering kali kita manusia dibuat takut dan tak berani bertatap muka.

Padahal, tahukah Anda, jika ternyata makhluk halus dari bangsa jin itu justru takut dengan kita, umat manusia. Ini dengan catatan bila kita memiliki keberanian yang ditopang dengan iman kuat terhadap Allah SWT.

Kisah Mujahid bin Jabir, tokoh terkemuka generasi tabiin ini menegaskan fakta tersebut. Cerita ini seperti dinukilkan dari kitab Gharaib wa ‘Ajaib al-Jin karangan Dalam kitab tersebut, seperti diriwayatkan dari Ibn Abi ad-Dunya, Mujahid mengisahkan, suatu ketika ia hendak melaksanakan shalat pada pertengahan malam.

Belum juga melakukan takbiratul ihram, tiba-tiba sosok misterius seusia anak remaja muncul tepat di depannya. Spontan, Mujahid bergegas hendak menangkapnya.

Namun, sosok yang ternyata adalah jin tersebut berdiri lalu loncat. Saat hendak kabur itulah, ia terjatuh di belakang dinding, hingga suaranya terdengar keras. Ketika itu juga ia tidak kembali lagi, ujar Mujahid.

Ketahuilah mereka itu sebenarnya takut kalian, sebagaimana kalian takut mereka, kata Mujahid lagi.

Penegasan lain juga disampaikan Yahya bin al-Jazzar. Ia melihat Abu Syur’ah takut memasuki toilet yang berada di luar rumah pada tengah malam. Yahya pun memintanya agar tak takut. Sesungguhnya yang engkau takuti itu lebih terbirit-birit (ketika melihatmu), kata Yahya.

Mujahid pun kembali berpesan, ketika kita melihat bangsa jin (setan, memedi, makhluk halus, dll), janganlah kalian lari tunggang-langgang yang membuat kalian sendiri trauma. Tetapi, hadapilah dia akan pergi sendiri, ujarnya berpesan. Bagaimana, Anda berani berhadap-hadapan dengan setan? (rep)

Baca Juga:

Aktivis Islam Ditahan Polisi Akibat Terbongkarnya Kasus Prostitusi Terbesar

Sejarah Masjid Al-Jinn

5 Fakta Tentang Jin yang Salah Kaprah di Masyarakat