Dekap Alquran saat Kecelakaan Maut, Dayat Selamat tapi Masih Trauma Berat

kabarin.co – Kecelakaan maut di jalan raya kawasan Hutan Panginuman, Gilimanuk, Bali pada Sabtu (17/6) malam lalu, masih menyisakan beragam kisah. Salah satunya adalah cerita dari Taufik Hidayat, satu dari lima korban selamat.

Seperti diwartakan radar jember, Dayat -sapaan akrab Taufik Hidayat- masih terlihat shocked berat. Pria 20 tahun itu kini seolah menjadi pendiam dengan tatapan mata kosong.

Saat wartawan menyambangi Dayat di rumahnya di Desa Kemiri, Kecamatan Panti, Jember, dia lebih banyak diam. Justru ibunya, Sunarsih yang sering membantu memberikan jawaban atas pertanyaan wartawan.

Sunarsih memang banyak tahu soal peristiwa yang menimpa putranya. Sebab, Dayat jelang kecelakaan hingga dirawat di Rumah Sakit Umum (RSU) terus mengabari Sunarsih.“Dayat memberi kabar kecelakaannya jam sembilan malam, (pukul 22.00 waktu Indonesia tengah, red),” tutur Sunarsih membuaka cerita.

Sejak awal Sunarsih tidak setuju ketika anaknya akan pulang pada Sabtu lalu. Meski demikian, dia mengaku tidak punya alasan kuat melarang anaknya yang pengin pulang kampung untuk berlebaran. “Seperti ada yang mbisiki, ‘jangan boleh anaknya pulang. Begitu’,” tutur Sunarsih.

Karenanya, Sunarsih mencari alasan. Yakni agar Dayat menunda kepulangannya karena khawatir akan berbuka di jalan. Namun, Dayat terus memaksa. “Tapi Dayat terus punya jawaban. Berangkat sore supaya bisa makan sahur di rumah Kemiri,” katanya.

Ibu dua orang anak itu semakin was-was karena sudah punya firasat buruk, namun anaknya tetap berangkat. Karenanya, Sunarsih memina Dayat membawa pulang Alquran yang dibawa dari kampung halamannya.

Selama perjalanan, Hidayat memeluk Alquran sesuai permintaan ibunya. Saat tertidur di dalam Isuzu Elf pun Dayat terus memeluk Alquran.

Dia duduk di barisan kursi paling belakang. Sampai akhirnya mobil yang ditumpangi 13 orang itu tabrakan dengan truk pengangkut semen. Alquran pun terlepas dari dekapan Dayat. Dia dievakuasi keluar mobil oleh orang-orang yang menolongnya.

Beberapa jam kemudian, Dayat sudah ikut menyalati jenazah rekannya, Suwari yang meninggal dunia akibat kecelakaan itu. Dayat memang sudah bisa bercerita, tapi tidak begitu lancar.

Dia mengaku memaksa ikut rombongan mobil yang menuju Jember itu karena ongkosnya lebih murah. Selain itu, mobil yang disopiri Subagiyo itu juga lebih praktis karena menjemput dan mengantar penumpangnya hingga rumah rumah. Modelnya persis sistem travel.

Setiap penumpang dipungut ongkos Rp 130 ribu. Satu mobil ada 11 penumpang ditambah seorang sopir dan sopir cadangan.

Selain lebih murah dan praktis, kedua sopir mobil rombongan itu juga tetangga mereka.“Saya ikut supaya kompak,” katanya.

Memang, kehidupan anak rantau asal Panti di Bali selalu mengedepankan kekompakan. Dayat meski umurnya paling muda di antara teman-temannya, namun dia tidak pernah merasa di-bully.

Dayat bekerja dengan rekan-rekan seperantauan untuk membangun vila di Bali. Per hari, Dayat dibayar Rp 0 ribu. Di luar itu masih ada honor lembur.

Terakhir, Dayat dan rekan-rekannya membangun vila di daerah Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Bali. Namun, setelah kejadian tersebut, ayahanda Hidayat, Sunaryo, tidak akan mengizinkan anaknya merantau lagi sampai ke luar daerah.

“Sudah. Saya trauma. Biarkan nanti Dayat ngurus sawah saja di rumah,” kata Sunaryo.(*/rj)