Didi Kempot Dan Musik Campursari

Selebriti17 Views

kabarin.co, Jakarta – Maestro campursari Didi Kempot meninggal dunia pada Selasa (5/5) pukul 07.25 WIB karena penyakit jantung di Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo. Banyak orang merasa kehilangan, tak hanya SadBoys dan SadGirls yang merasa sad (sedih) berkepanjangan kehilangan pujaan.

Didi Kempot memang sudah masuk-merasuk dalam kehidupan masyarakat. Tidak hanya di Jawa, Jakarta, dan Indonesia, namun hingga ke mancanegara. Di Belanda, Suriname bahkan Amerika, Didi Kempot tak hanya mendendangkan liris nada dalam langgam campursarinya, tapi lebih dari itu, ia menyuarakan “rasa” (sesuatu yang lebih dari perasaan): tentang campursari sebagai musik dan ekspresi artistik, tentang (budaya) Jawa dan Indonesia, tentang peristiwa personal dan sosial, bahkan lebih jauh tentang pertarungan identitas, problem-problem komunal hingga toponimi, geografi, bahkan tata kota.

Didi Kempot Dan Musik Campursari

Tengok saja kisah hidupnya sebagai bekas musisi jalanan yang memperjuangkan nasib di jalanan ibu kota serta refleksinya atas cinta, kehilangan, dan harapan dalam lagu-lagu Layang KangenAmbyarBanyu Langit, hingga representasi kondisi sosial masyarakatnya lewat Sewu KuthaStasiun BalapanTanjung Mas Ninggal Janji. Melalui campursari, lagu berbahasa Jawa yang dibawakannya, ia mengajak orang menerjemahkan ulang terminologi identitas budaya di dalam hingga luar negeri.

Dan, kehadirannya pula yang mengingatkan kita pada kontekstualitas permasalahan pandemi global lewat lagu terakhir dan juga konser amal yang diadakannya untuk memberi semangat dan pemahaman yang lebih bijak kepada para perantau yang tidak bisa kembali ke kampung halamannya.

Semuanya itu dirayakan oleh penggemarnya dengan buncahan emosi yang menggelora, ungkapan rasa yang tak berkesudahan, bagai sebuah ekstase yang berkepanjangan. Lagu-lagunya disuarakan dengan keras dan berulang, tak peduli tentang kesedihan maupun perpisahan. Ia bagai doa-doa yang terus digumamkan untuk mencapai pelepasan rasa yang begitu ekspresif: ambyar! Hal ini yang menahbiskannya sebagai Lord of Broken Heart.

Didi Kempot dianggap mengerti seluk-beluk masalah hati yang tercermin lewat lirik lagunya. Maka bisa kita lihat bagaimana para penggemarnya yang berteriak histeris sambil menyanyikan lagu Layang Kangen dan pada saat yang sama bergerak bersama dengan motion keras ala “cendol dawet”. Semuanya karena kekuatan musiknya.

Melalui campursari, Didi Kempot bernyanyi. Di tangannya, campursari tak semata urusan bunyi gamelan yang berpadu dengan unsur musikalitas lainnya. Campursari tak semata Jawa dan juga bukan representasi general sebuah identitas kultural tertentu dengan berbagai stereotipnya.

Seturut Fauzanafi (2020), campursari tidak hanya campuran antara sentuhan serupa gamelan, musik diatonis barat dari keyboard dan gitar, juga instrumen ‘nasional’ seperti gendang dangdut dan ukulele keroncong. Dan karena pengaruh langgam keroncong ini, ia membawa sentimen inderawi yang disebut sebagai ‘sensibilia’.

Sensibilia adalah sentimen inderawi yang dibangkitkan oleh totalitas suara dan imaji yang melingkupi sebuah lagu, dan juga dipicu oleh aktivitas dalam pembuatan musik yang bertujuan untuk membuat orang ‘bergerak’. Sementara perasaan ambyar; sedih karena merasa kehilangan, dibangkitkan oleh bunyi bernuansa keroncong, ‘gerak’ dalam arti ‘bergoyang bersama’ dipicu oleh ketukan gendang dangdut.

Sensibilia seperti ini menjelma emosi yang ironis dari perasaan cinta dan kerinduan akan cinta yang hilang dan ditemukan. Ini adalah perasaan khas manusia dalam sejarah urban; sebuah nostalgia akan masa lalu dan kehidupan pedesaan yang sudah hilang. Nostalgia akan desa atau kampung halaman juga dipicu oleh suara bernuansa gamelan dalam musik campursari Didi Kempot.

Campursari menjadi kendaraan imajinasi dalam usaha merayakan kesedihan. Lebih lanjut dikatakan Fauzanafi bahwa sensibilia ambyar di sini bukan semata-mata dipicu oleh syair lagu-lagu Didi Kempot yang memang menceritakan mengenai seorang lelaki yang kehilangan kekasih, lelaki yang rindu karena sang terkasih berada di tempat yang jauh, atau lelaki yang terluka hatinya karena ditinggal sang kekasih.

Lebih jauh dari itu, dipicu oleh suara, bunyi, atau musik yang tertangkap indera pendengaran lalu memicu koneksi dengan indera lain (tubuh) dan memori. Sebab tidak semua penikmat lagu Didi Kempot sebenarnya benar-benar kehilangan atau rindu pada sang kekasih; sebagian hanya “merasa kehilangan sesuatu” tanpa ada yang benar-benar hilang. Perasaan kehilangan ini yang kemudian menyatukan para penggemar Didi Kempot untuk berjoget dan bernyanyi bersama melaras kesedihan.

Dalam hal ini, aksi strategis dan taktis dari aksi mencipta suara dan sentimen berusaha mencari rekognisi sebuah “komunitas estetis”, dan relasi sosial yang terbentuk sekitar dan atau oleh rasa sedih karena kehilangan yang dicintai.

Maka campursari di tangan Didi Kempot menjadi bunyi yang bukan semata urusan asmara, namun juga untaian doa, kenangan tentang ikon-ikon penanda kota (terminal, stasiun, pelabuhan, taman dan lainnya), penghormatan dan pengorbanan, serta dinamika sosial (tentang kebiasaan menulis surat atau pengetahuan geologis tentang lanskap alam Merapi purba).

Dalam lirik-liriknya, Didi Kempot banyak berkisah tentang jejak sejarah peradaban sebuah bangsa bernama Indonesia. Tak ada panggung musik negeri ini yang tak menyanyikan lagu-lagunya.

Momentum yang Pas

Kehadirannya di panggung musik Indonesia memang terjadi dalam momentum yang pas. Didi Kempot muncul dengan lagunya di kala masyarakat mulai bosan dan merindukan nuansa ekspresi artistik yang jauh dari impian-impian modernisme yang gebyar, hedonis, dan jauh tak terjangkau ke impian-impian masa lalu yang memang kadang getir, menyakitkan, tapi realistis.

Didi Kempot mampu mengakomodasi citra lagu yang menggambarkan harapan dan cita-cita masyarakat dengan lebih realis dan tak muluk-muluk. Lewat campursari Didi Kempot, masyarakat seolah menemukan oase yang menyegarkan dalam mengisahkan dinamika kehidupan. Gambaran ini semakin lengkap dengan kematangan hidupnya sebagai bekas musisi jalanan.

Kisah Didi Kempot adalah kisah campursari. Lewat kuasa dalam memainkan tema dan kata-kata, Didi Kempot mampu merepresentasikan kekuatan kultural dalam ramuan modernitas, kontekstualitas, dan selera zaman yang mengkini: bersama merayakan kesedihan.

Pilihan artistik ini menjadi langkah jitu, jika tidak disebut frontal, dan tidak terjadi dalam musik-musik sealiran dan sezamannya. Campursari ala Didi Kempot juga mengisahkan kontekstualitas. Pada saat pandemi melanda, hatinya tergerak untuk ikut berpartisipasi memutus penyebaran virus. Dengan lirik lagunya, dia mengajak semua untuk sadar tinggal di rumah, tidak pulang kampung. Semuanya dalam kesadaran demi kepentingan bersama, tidak semata bersandar pada popularitas yang dimilikinya.

Hal ini yang menjadikannya meneguhkan eksistensinya sebagai seorang seniman yang manusiawi. Didi Kempot mengingatkan kita ketika absurditas kenyataan hidup begitu deras menerjang, kita sebagai manusia harus dapat menciptakan makna yang berbeda, lebih bermanfaat, dan kontekstual. Patah hati, kehilangan, kesedihan adalah bumbu yang akan menegaskan kekuatan batin dan jiwa kita dalam memaknai, mengalahkan, dan membalikkannya menjadi sebuah energi untuk melanjutkan hidup.

Didi Kempot mengingatkan kita untuk mampu merawat dan meruwat manajemen ingatan sejarah dalam mengatasi banyak problem kehidupan. Sugeng kondur, my Lord of Broken Heart!

Purnawan Andra peminat kajian sosial budaya, bekerja di Direktorat Pengembangan & Pemanfaatan Ditjen Kebudayaan Kemendikbud.(detik)