Features: Ketika Sepakbola Sumbar Dicambuk Rasa Malu

Penulis: Rizal Marajo

Kalau tidak salah dengar, munculnya ide menggelar turnamen antar kecamatan di Sumatra Barat, salah satunya karena rasa malu. Malu?  Ya, martilnya adalah saat Tim sepakbola PON Sumbar, tak lolos ke PON XIX 2016 di Jawa Barat.

Bertarung di Porwil Sumatra 2015 di Bangka Belitung, Tim Sumbar tak berkutik sama sekali, dan “membiarkan” begitu saja Sumatra Utara, Sumatra Selatan, bahkan Bangka Belitung lolos ke Jawa Barat.

Kegagalan itu menambah catatan pahit sepakbola Sumbar di ajang PON. Empat tahun sebelumnya di PON 2012 Riau, Sumbar memang masih mampu lolos, tapi hasilnya? Tim Sumbar sudah tersingkir dan pulang, saat PON belum lagi resmi dibuka!

Dua edisi PON yang memilukan dan mamalukan bagi sepakbola Sumbar. Memalukan bagi daerah yang sedang jadi buah bibir karena memiliki pelatih-pelatih hebat yang terus bermunculan. sebutlah misalnya Nilmaizar, Indra Sjafri, Jafri Sastra, Delfi Adri, ataupun Welliansyah, dan dilengkapi  dengan sosok instruktur sepakbola yang tak ada duanya di Indonesia, Emral Abus.

Belum cukup, Sumbar salah satu daerah yang menyimpan pelatih Lisensi A AFC terbanyak di Indonesia. Lisensi tertinggi yang dimiliki pelatih-pelatih lokal Indonesia.

Tapi dengan SDM pelatih sementereng itu, ditambah sebagai salah satu daerah yang secara historis termasuk penghasil bibit-bibit sepakbola yang bagus di negeri ini, tapi tak memiliki satu tim yang cukup layak untuk berlaga di ajang sekelas PON. Malu?

Tentu saja, kemana saja kita selama ini?

Bertolak dari kondisi itu, lahir ide mengadakan turnamen antar kecamatan yang digagas Spartan Enterprise. Wujudnya adalah Irman Gusman Cup 2016 dan edisi kedua bernama Minangkabau Cup 2017 yang sedang berjalan. Dengan tagline Bakti untuk Nagari, ada terselip niat baik untuk menghapus rasa malu itu.

Rasa malu, sesungguhnya juga bisa menjadi kekuatan besar dan menjadi pelecut untuk mau bangkit dan bekerja keras untuk menebusnya. Pastinya tidak ada yang ingin atau betah menahan rasa malu berlama-lama.

Bicara soal malu yang jadi cambuk untuk berubah, salah satu contoh terbaik dan terbukti ampuh tidak ada salahnya melihat sejenak sepakbola Jerman. Sebagai juara dunia tiga kali, plus tiga mahkota juara Eropa saat itu, Timnas Jerman terpuruk di Euro 2000 di Belanda-Belgia.

“Tim panser” pulang cepat dengan status juru kunci Grup A, setelah dikangkangi Portugal, Rumania, dan Inggris. Hasil yang benar-benar membuat sepakbola Jerman malu besar. Tak hanya itu,  hasil buruk tersebut membuat Timnas Jerman disiksa habis-habisan oleh pers negara mereka.

Hal yang paling dikecam adalah skuad Jerman masih bertabur bintang-bintang gaek semacam Thomas Hassler, Thomas Linke, Ulf Kirsten, ataupun Oliver Bierhoff.  Bahkan seorang veteran Lothar Mathaeus yang sudah berumur 40 tahun masih menjadi starter di jantung pertahanan.

Kegagalan di EURO 2000 adalah puncak kemunduran sepakbola Jerman. Dua tahun sebelumnya di ajang Piala dunia 1998 Prancis, Jerman dengan “panser tua”-nya hanya sampai perempatfinal, setelah dihajar “anak baru” Eropa, yakni Kroasia dengan skor 3-0 di Lyon.

Dua kali dipermalukan secara beruntun di turnamen besar, membuat Jerman cepat bertindak. Maka lahirlah sebuah program bernama Das Talentfoerderprogramm atau Program Pengembangan Bakat. Jerman menyadari, mereka sudah membuat kesalahan besar telah mengabaikan dan melupakan bakat-bakat muda mereka.

Gerak cepat mengembalikan harga diri ditunjukan Jerman dengan dengan sungguh-sungguh. Yang paling fenomenal adalah membangun fasilitas latihan yang sangat representatif di 390 tempat di seluruh Jerman, yang diperuntukan untuk pemain-pemain muda belia.

Fasilitas latihan dilengkapi dengan menerjunkan pelatih-pelatih dengan lisensi B UEFA. Jerman menyadari, bakat bagus itu baru akan berkembang jika dilatih oleh pelatih yang punya kompetensi tinggi, ditunjang sarana dan prasarana latihan yang memadai.

Satu lagi, disemua tempat latihan itu, DBF atau PSSI-nya Jerman memperlakukan semacam kurikulum sepakbola yang sama. Hal yang dibidik Jerman dari kurikulum ini, keseragaman akan membuat para pemain akan mudah melakukan interaksi dan adaptasi, jika satu saat mereka sama-sama dipanggil ke Timnas Jerman.

Tak menunggu terlalu lama, dari program itulah bermunculan pemain-pemain yang kemudian menjadi era dan generasi baru yang menjadi tulang punggung Timnas Jerman, sebut saja Mesut Oezil, Matt Hummels, Manuel Neuer, Jerome Boateng, Mario Goetze, Toni Kroos, Andre Schurlee, Thomas Muller, dan lain-lainnya.

Generasi yang lahir dari rasa malu inilah kemudian yang setahap-demi setahap mulai menebus rasa malu Jerman. Puncaknya, mereka berjaya di Stadion Maracana Rio de Janeiro Brasil, dengan mengangkat Piala Dunia Brasil 2014. Hanya butuh sepuluh tahun bagi Jerman untuk menghapus tuntas rasa malu mereka. Itulah cara Jerman membangun sepakbola mereka setelah terpuruk.

Well, tapi tentunya tak relevan membandingkan atau coba-coba menerapkan cara Jerman di sepakbola Sumatra Barat. Jangankan Sumbar yang hanya sebuah Provinsi, Indonesia saja masih teramat jauh jika mau mengadopsi cara kerja Jerman tersebut.

Jerman jelas punya segalanya, mulai dari Sumber Daya Manusia (SDM), finansial, teknologi, fasilitas, sport sciance, dan etos kerja. Semua itu ditunjang dengan konsep yang terencana rapi, detail dan jelas tujuannya apa dan hendak dibawa kemana.

Satu-satunya mungkin yang relevan dengan sepakbola Sumbar, dan bisa dicontek dari cara Jerman itu, adalah mencoba bangkit dari rasa malu. Sekali lagi, pesan terpentingnya adalah menjadikan rasa malu untuk membuat kita mau merubah diri, mau bekerja keras, dan mau berfikir lebih maju.

Memang mustahil dan tak masuk akal, jika kita juga bermimpi bisa bulat-bulat berbuat seperti yang dilakukan Jerman, tetapi setidaknya kita mau berubah disesuaikan skala, kondisi, dan dengan segala keterbatasan kita.

Tak perlu bermimpi punya fasilitas latihan representatif dan modern yang jumlahnya ratusan, ketika kita masih berkutat dengan terbatasnya jumlah lapangan sepakbola, dan sebagian besar jauh dari layak.

Tak perlu juga berangan-angan talenta-telenta muda kita ditangani pelatih yang berkompetensi tinggi, ketika kita dihadapkan pada kenyataan bahwa pelatih berlisensi adalah sosok langka di daerah ini. Jumlahnya mungkin tidak sampai angka tiga digit.

Kita lebih banyak punya pelatih-pelatih alam, yang “nekad” melatih hanya karena pernah tercatat sebagai pemain bola, atau sekadar meniru dan mencontek gaya dan cara kerja seorang pelatih. Atau, pernah mengikuti coaching clinic yang durasinya hanya dua jam.

Tapi dengan keterbatasan seperti itu mereka berani melatih, tanpa dibekali dasar-dasar ilmu kepelatihan yang memadai. Sulit  berharap nantinya akan muncul  pemain yang berkualitas, kalau sejak dari dasar sudah tidak berjalan di rel kepelatihan yang seharusnya.

Niat mulia yang diusung Spartan Enterprise dengan turnamen antar kecamatannya, dan program-program pendukungnya seperti mengumpulkan talenta-telenta muda yang bagus untuk dibina untuk masa depan sepakbola Sumbar, mungkin bisa salah satu jalan pembuka menuju kesana.

Bukan glamournya turnamen yang terpenting, tapi bagaimana agar turnamen itu bisa berbuah dan dipetik manfaatnya. Buah turnamen tentu saja pemain-pemain berbakat yang muncul dari hasil pantauan tim talent scout yang sudah dipersiapkan.

Cuma pertanyaannya, setelah ada buah, kemudian dipetik, lalu mau diapakan buah tersebut? Pastinya tak cukup dengan pantun seorang Gubernur: “Main bola rajinlah berlatih, sekian terima kasih.”

Setelah itu apa?(*)