Jatuhnya Penguasa, Pelajaran Bagi Rezim yang Berkuasa

Opini20 Views

kabarin.co – Jakarta, 21 tahun yang lalu tepatnya tanggal 21 Mei 1998, Soeharto lengser dari jabatannya sebagai Presiden Indonesia. Mundurnya Soeharto itu menandai berakhirnya pemerintah era orde baru (Orba) yang sudah bekuasa 32 tahun lamanya.

Sebelum dia mundur, Indonesia mengalami krisis politik dan ekonomi dalam 6 sampai 12 bulan sebelumnya. Ini merupakan salah satu momen penting dalam sejarah Indonesia. Dimana masyarakat Indonesia menyebutnya sebagai era Reformasi dan lengsernya kekuasaan rezim Orba.

Jatuhnya Penguasa, Pelajaran Bagi Rezim yang Berkuasa

Kejatuhan Soeharto saat itu seolah-olah melengkapi peristiwa pergantian pucuk kepemimpinan nasional yang tidak berjalan mulus karena menyisakan luka. Sebelumnya Presiden Indonesia pertama yaitu Soekarno juga jatuh diawali dengan meletusnya peristiwa G 30 S PKI tahun 1965.

Mengapa 2 pemimpin besar Indonesia itu dilengserkan dari kursi kekuasaannya ?, Pelajaran apa yang bisa dipetik oleh Jokowi sebagai Presiden yang sekarang berkuasa di Indonesia ?

Kejatuhan Soekarno dan Soeharto

Situasi politik Indonesia pada tahun 1965 itu menjadi tidak menentu setelah enam jenderal dibunuh dalam peristiwa yang dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September atau G30S PKI yang jenazahnya kemudian ditemukan di lubang buaya.

Pelaku sesungguhnya dari peristiwa tersebut sampai sekarang masih merupakan kontroversi walaupun PKI dituduh terlibat di dalamnya. Akibatnya beberapa elemen masyarakat seperti massa dari KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) melakukan aksi demonstrasi dan menyampaikan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) yang salah satu isinya meminta agar PKI dibubarkan dari bumi Indonesia.

Namun, Soekarno menolak untuk membubarkan PKI karena dianggap bertentangan dengan pandangan Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme), ideologi yang diusungnya. Sikap Soekarno yang menolak membubarkan PKI kemudian melemahkan posisi politiknya.

Lima bulan kemudian, Soekarno menandatangani Surat Perintah Sebelas Maret yang ditujukan kepada Soeharto yang isinya perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk mengambil tindakan yang perlu guna menjaga keamanan pemerintahan dan keselamatan pribadi Presiden Indonesia.

Surat tersebut lalu digunakan oleh Soeharto yang telah diangkat menjadi Panglima Angkatan Darat untuk membubarkan PKI dan menyatakannya sebagai organisasi terlarang di Indonesia.

Kemudian MPRS pun mengeluarkan dua Ketetapannya, yaitu TAP No. IX/1966 tentang pengukuhan Supersemar menjadi TAP MPRS dan TAP No. XV/1966 yang memberikan jaminan kepada Soeharto sebagai pemegang Supersemar untuk setiap saat menjadi presiden apabila presiden berhalangan dalam menjalankan tugasnya.

Soekarno kemudian membawakan pidato pertanggungjawaban mengenai sikapnya terhadap peristiwa G30S pada Sidang Umum ke-IV MPRS tanggal 22 Juni 1966. Pidato tersebut berjudul “Nawaksara”.

MPRS kemudian meminta Soekarno untuk melengkapi pidato tersebut. Pidato “Pelengkap Nawaksara” pun disampaikan oleh Soekarno pada 10 Januari 1967 namun kemudian ditolak oleh MPRS pada 16 Februari tahun yang sama.

Hingga akhirnya pada 20 Februari 1967 Soekarno menandatangani Surat Pernyataan Penyerahan Kekuasaan di Istana Merdeka. Dengan ditandatanganinya surat tersebut maka Soeharto de facto menjadi kepala pemerintahan Indonesia.

Setelah melakukan Sidang Istimewa maka MPRS pun mencabut kekuasaan Presiden Soekarno, mencabut gelar Pemimpin Besar Revolusi dan mengangkat Soeharto sebagai Presiden RI hingga diselenggarakan pemilihan umum berikutnya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penyebab jatuhnya Presiden Soekarno karena dianggap gagal menangani peristiwa Gerakan 30 September dan dampak-dampaknya.

Peristiwa Gerakan 30 September menyebabkan terbunuhnya perwira di TNI AD, dan menimbulkan krisis politik, membuat MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) melakukan Sidang Istimewa.

Demikianlah catatan sejarah yang biasa kita temukan dalam peristiwa jatuhnya Soekarno atau tumbangnya orde lama. Kiranya banyak versi cerita yang kadang kadang membuat kita bingung juga menyikapinya.

Menurut putri Bung Karno, Megawati Soekarnoputri, ayahandanya dilengserkan oleh Soeharto yang kemudian menjadi presiden kedua Indonesia. Ketum PDIP ini pun mempertanyakan mengapa belum adanya tim khusus yang menginvestigasi pelengseran ayahnya.

“Saya heran kenapa tidak ada yang melakukan penelitian kenapa ayah saya dijatuhkan. Itu karena kepentingan asing ingin masuk dan tidak bisa masuk. Pada waktu itu tak ada jalan lain selain Bung Karno harus dilengserkan,” ujar Megawati di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara, sebagaimana dikutip merdeka.com Selasa (27/5).

Usai Bung Karno lengser, lanjut Megawati, pihak asing pun dengan leluasa masuk dengan kepentingannya. Megawati menyayangkan sikap Soeharto yang menerima pihak asing tanpa memikirkan akibatnya.

Kini ditengah-tengah orang mengenang 21 tahun tumbangnya Orba, terbit sebuah buku yang cukup menghebohkan dunia. Buku itu antara lain menyinggung soal penggulingan Soekarno oleh penguasa Orba yang diduga diarsiteki oleh Amerika.

Buku yang baru terbit pada 19 Mei 2020 lalu itu juga merekam bagaimana kaum kiri di Asia dan Amerika Latin bereaksi terhadap pembantaian 1965 di Indonesia. Buku The Jakarta Method: Washington`s Anticommunist Crusade and the Mass Murder Program that Shaped Our World karya Vincent Bevins menguak asal-usul penggulingan rejim-rejim yang oleh Amerika dinilai pro komunis sehingga harus ditumbangkan keberadaannya.

Vincent Bevins adalah koresponden New York Times, The Atlantic, The Economist, The Guardian, Foreign Policy, New Yorker, dan Folha de S. Paulo. Model penggulingan pemerintahan yang dianggap pro komunis ala Indonesia ini kemudian di praktekkan di negara-negara lain di dunia. Sebagai contoh Pada 11 September 1973, Salvador Allende, presiden sosialis Chili yang terpilih secara demokratis, digulingkan dalam sebuah kudeta militer sayap kanan.

Ribuan pendukungnya dipenjara, dihilangkan, dan dibunuh. Pimpinan kudeta Augusto Pinochet menyatakan bahwa Angkatan Bersenjata telah “bertindak menyelamatkan negara dari kekacauan besar” yang diciptakan pemerintahan Marxis Salvador Allende”. Menjelang kudeta, santer terdengar rumor bahwa “Jakarta akan datang” ke Chili.

Kudeta Allende memiliki pola yang sama dengan penggulingan Sukarno di Indonesia pada pertengahan 1960-an. Kedua presiden didukung partai komunis. Keduanya disikat kaum kanan yang disokong Paman Sam.

Sejak pembantaian massal 1965-1966, “Jakarta” menjadi metafor dan kode untuk pemberantasan kaum komunis dan penggulingan pemerintahan kiri populis di seluruh dunia.

Apakah benar Amerika memang “bermain” di Indonesia di era tahun 1960 itu, penulis buku ini mengaku pernah menelepon CIA dan menanyakan apa yang mereka lakukan di Indonesia pada 1960-an tetapi mereka tidak mau menjawab atau memberitahu yang sebenarnya.

Selain Vincent Bevins, Indonesianis asal Australia Greg Poulgrain juga menilai pergolakan politik di Indonesia pada era 1950-1960-an tak lepas dari campur tangan badan intelijen Amerika (CIA). Dalam buku “The Incubus of Intervention, Conflicting Indonesia Strategies of John F Kennedy and Allen Dulles” yang dibedah di LIPI beberapa waktu lalu, Poulgrain antara lain menyebut pemberontakan PRRI di Sumatera dan Permesta di Sulawesi sebagai bagian dari taktik CIA untuk memperkuat militer pusat di Indonesia untuk pada waktunya menghancurkan PKI dan Sukarno.

Jika Soekarno jatuh karena diduga ada campur tangan Amerika di dalamnya, lalu bagaimana dengan kejatuhan Soeharto, tokoh yang menggantikan presiden Indonesia pertama ?

Sebagai orang kuat Indonesia yang sudah berkuasa selama 32 tahun lamanya, akhirnya Soeharto tumbang juga. Tumbangnya Soeharto melalui proses panjang setelah rakyat memendam rasa kecewa karena sepak terjangnya.

Banyak nyawa yang melayang semasa ia bekuasa. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat beberapa dari peristiwa tersebut. Diantaranya adalah petrus atau penembakan misterius terkait dengan aksi kriminal (1981-1984), DOM Papua (1969-1998), kasus Talangsari (1989), peristiwa Tanjung Priok (1984), penembakan warga dalam pembangunan Waduk Nipah Madura (1993). hingga korban penculikan aktivis dan kerusuhan pada Mei 1998.

Saat rezim orde baru berkuasa, ada banyak hak rakyat yang ditindas dan diambil secara paksa. Peristiwa tersebut meliputi perampasan tanah rakyat Kedung Ombo (1985-1989), pengambilan tanah rakyat atas nama PT Perkebunan Nusantara (PTPN), kasus pengambil alihan tanah masyarakat adat Dongi Sulawesi Selatan untuk perusahaan Nikel, penggusuran rumah warga Bulukumba oleh PT Lonsum.

Lalu pencemaran dan kekerasan yang dilakukan oleh Indorayon di Porsea Sumatera Utara, peristiwa pembakaran rumah warga, dan kekerasan seksual yang dilakukan oleh PT Kelian Equal Mining di Kalimantan Timur. Semuanya terjadi saat Presiden Soeharto masih berkuasa

Pada masa Orba pula keberadaan media dan organisasi kemasyarakatan diawasi ketat oleh rezim orde baru. Tak hanya geraknya dibatasi, media yang nekat melawan kehendak pemerintah bakal dibredel.

Alhasil, munculah kebijakan seperti larangan berorganisasi penetapan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan koordinasi Kemahasiswaan (1978), dan pemberangusan organisasi kemasyarakatan dengan UU Nomor 5 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Selain itu pada zaman Orba, korupsi diduga ikut merajalela. Presiden Soeharto melakukan korupsi pada penggunaan Dana Reboisasi Departemen Kehutanan dan pos bantuan presiden.

Uang tersebut digunakan untuk membiayai tujuh yayasan milik Soeharto, yakni Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial, Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti, Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan dan Yayasan Trikora. Hasil temuan Transparency International pada 2004 silam memperkirakan, ada sekitar 15-25 miliar dolar AS yang telah dinikmati secara ilegal.

Akumulasi dari penyimpangan-penyimpangan itu akhirnya mendapatkan momentumnya ketika terjadi krisis moneter 1998 yang menjadi faktor utama kejatuhan ekonomi Indonesia juga berperan menjadi alasan lengsernya Soeharto.

Krisis finansial yang menghantam wilayah Asia, khususnya Indonesia, menjadi tonggak bagi rakyat untuk mengganti pemimpin mereka. Daya beli menurun, harga barang yang melonjak, membuat masyarakat berteriak menyuarakan reformasi. Digeruduk oleh gerakan massa yang begitu besarnya, Presiden Soeharto pun akhirnya menyatakan diri berhenti dari jabatan sebagai kepala negara.

Adapun lima tuntutan reformasi yang disuarakan oleh mahasiswa saat itu adalah :

Adili Soeharto dan kroni-kroninya
Laksanakan amandemen UU 1945
Hapuskan Dwi Fungsi ABRI
Pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya
Tegakkan supremasi hukum
Ciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN
Diantara enam tuntutan reformasi itu ada yang sudah dianggap berhasil tapi sebagian masih dalam bentuk wacana. Keinginan untuk mengadili Soeharto belum tuntas dilaksanakan karena yang bersangkutan sudah keburu meninggal dunia.

Demikian pula pengadilan terhadap kroni-kroninya belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Sebagian malah hengkang ke mancanegara membawa semua hasil jarahannya.

Tuntutan untuk amandemen UUD 1945 sudah berhasil dilaksanakan oleh MPR tapi justru belakangan malah ada nuansa penyesalan karena sebagian amandemen itu justru mengarah ke semangat liberal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan cita-cita bangsa.

Keinginan menghapus Dwi Fungsi ABRI sudah pula terlaksana meskipun kemudian muncul juga dampak plus dan minusnya. Diantaranya setelah Polri lepas dari ABRI dinilai makin merajalela perannya terutama di dunia politik yang semula menjadi lahan yang tabu untuk dimasukinya.

Tuntutan otonomi daerah juga telah dilaksanakan meskipun ada juga dampak minusnya seperti lahirnya raja-raja kecil di beberapa daerah karena merasa mempunyai kewenangan yang besar dalam mengatur daerahnya.

Dari enam tuntutan reformasi itu, agenda untuk penegakan supremasi hukum dan upaya penciptaan pemerintah yang bersih dari KKN kiranya yang paling sial pelaksanaannya. Faktanya penegakan hukum masih tebang pilih dan upaya penciptaan pemerintah yang bersih dari KKN baru sekedar utopia belaka.

Belajar dari kejatuhan Soekarno dan Soeharto ada kemiripan antara keduanya. Kedua-duanya oleh mereka yang menuntut mundur sama-sama dianggap bersalah dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Tetapi sejauh ini tidak ada kepastian mengenai status hukumnya. Karena setelah lengser memang tidak ada proses peradilan yang kemudian menentukan status hukumnya. Akhirnya kesalahan-kesalahan selama berkuasa hanya menjadi bahan perdebatan sesuai sudut pandang pihak pihak yang mempersoalkannya.

Korban Anak Bangsa

Pergantian kepemimpinan nasional baik yang terjadi pada Soekarno maupun Soeharto selalu diwarnai oleh jatuhnya korban jiwa. Dalam buku The Jakarta Method: Washington`s Anticommunist Crusade and the Mass Murder Program that Shaped Our World karya Vincent Bevins juga disingung soal kasus pembantaian atau genosida di Indonesia pada tahun 1965 pasca pembubaran PKI, dimana sampai sekarang tidak jelas bagaimana status penegakan hukumnya.

Fenomena tersebut menurut sang penulis benar-benar mengejutkan orang-orang di belahan dunia barat sana. Karena di Amerika Latin, negara telah meminta maaf kepada para korban setelah diadakan rekonsiliasi nasional, bahkan ketika tokoh-tokoh baru sayap kanan membenci proses semacam itu.

Mereka kaget ketika tahu korban di Indonesia tidak mendapat perlakuan yang sama. Bahkan Pemerintah Indonesia digambarkan selalu menyangkal setiap upaya pengungkapan kebenaran berdasarkan fakta-fakta yang ada.

Terkait dengan korban jiwa dalam peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto, yang lebih banyak di ekspose adalah meningggalnya para mahasiswa yang berdemonstrasi menentang Soekarno seperti mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) Arief Rachman Hakim dan Hasanuddin HM, mahasiswa Unversitas Lambung Mangkurat (Unlam Banjarmasin) yang tertembak dan meninggal dunia.

Tidak lama kemudian melalui ketetapan MPRS no XXIX tanggal 5 Juli 1966, Arif Rachman Hakim ditetapkan sebagai Pahlawan Ampera dan kemudian menjadi salah satu nama jalan di Kota Depok.

Sementara itu korban genocida 1965 pasca tumbangnya orde lama dianggap tabu untuk dibicarakan secara terbuka. Rasanya kini tidak ada salahnya kalau Negara secara berani dan jujur mengakui bahwa telah terjadi pelanggaran HAM, kejahatan kemanusiaan, dan pembunuhan massal yang jumlahnya 500 ribu hingga 3 juta jiwa pada sekitar tahun 1965.

Untuk keadilan, Pemerintah ada baiknya menggelar pengadilan ad-hoc guna mengungkap kebenaran dan mengadili pelaku pelanggaran HAM masa lalu. Pengadilan ini penting untuk mencegah pengulangan di masa depan.

Setelah proses tersebut, barulah rekonsiliasi dilakukan demi terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa sehingga diharapkan tidak tersimpan dendam masa lalu yang menjadi beban sejarah anak cucu yang akan lahir kemudian.

Sejauh ini pemerintah tentu sudah mendapat banyak laporan terkait peristiwa tersebut. Seharusnya pemerintah mau menindaklanjuti penyelidikan Komnas HAM, laporan IPT `65, serta kajian masyarakat sipil dalam sebuah lembaga resmi untuk pengungkapan kebenaran, pengakuan sejarah, dan keadilan. Kiranya Pemerintah perlu memikirkan upaya pemulihan, dan rehabilitasi bagi korban dan keluarganya.

Selanjutnya pada saat menjelang kejatuhan Soeharto, terjadi peristiwa kerusuhan Mei 1998, ketika ratusan nyawa menjadi tumbal reformasi. Saat terjadi kerusuhan Presiden Soeharto sedang berada di Kairo Mesir. Pemimpin Orde Baru itu menghadiri pertemuan KTT G-15. Sehari sebelumnya, 4 mahasiswa Universitas Trisakti meregang nyawa terkena peluru aparat.

Dalam laporan akhirnya, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa 13-15 Mei 1998 yang dibentuk pemerintah menemukan, “Titik picu paling awal kerusuhan di Jakarta terletak di wilayah Jakarta Barat, tepatnya wilayah seputar Universitas Trisakti pada tanggal 13 Mei 1998.”

TGPF menyatakan, para pelaku kerusuhan bisa dibedakan dalam 2 golongan yakni, pertama, massa pasif yang karena diprovokasi berubah menjadi massa aktif. Kedua, provokator.

Golongan ini umumnya bukan dari wilayah setempat, secara fisik tampak terlatih, sebagian memakai seragam sekolah seadanya (tidak lengkap), tidak ikut menjarah, dan segera meninggalkan lokasi setelah gedung atau barang terbakar.

Semua berlanjut keesokan harinya, 14 Mei 1998. Penjarahan terjadi di beberapa pusat perbelanjaan di Jabotabek. Sejumlah bangunan dirusak dan dibakar. Jakarta sungguh mencekam.

Kerusuhan ini bernuansa kebencian rasial. Banyak sasaran perusakan adalah milik etnis Tionghoa. Lebih jauh, juga ditemukan sejumlah kasus kekerasan seksual yang dialami perempuan Tionghoa.

Perihal korban yang tewas dan luka-luka, TGPF menemukan variasi jumlah. “Data Tim Relawan 1190 orang meninggal akibat terbakar/dibakar, 27 orang akibat senjata/dan lainnya, 91 luka-luka; data Polda 451 orang meninggal, korban luka-luka tidak tercatat…” tulis TGPF.

Kini 21 tahun rentang waktu berlalu yang merupakan sebuah anomalitas untuk menyelesaikan sebuah kasus pelanggaran hukum. Jangka waktu yang demikian cukup panjang, menjadi bukti bahwa negara benar-benar secara sengaja mengabaikan darah yang telah menjadi korban dalam perjuangan mencapai reformasi pada 1998 silam.

Kejadian yang terjadi pada 13-15 Mei tahun 1998 tersebut menelan korban sejumlah 1.190 jiwa, 85 perempuan-khususnya etnis Tionghoa menjadi korban perkosaan secara berkelompok [gang rape], dan ratusan property [gedung-gedung] dirusak dan dibakar.

Tindakan brutalitas yang tergorganisir itu terjadi setidaknya di 88 lokasi diseluruh wilayah Jakarta, Bekasi, Tanggerang, serta beberapa tempat di Bandung, Solo, Klaten, Boyolali, Surabaya, Medan, Deli, Simalungun, Palembang, Padang.

Di awal reformasi pada pemerintahan B.J. Habibie telah dilakukan usaha penyelesaikan Tragedi Mei 1998 seperti pembentukan Komisi Nasional untuk Perempuan, pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta [TGPF] yang bertugas melakukan penyelidikan pengungkapan kebenaran dan kehendak agar dapat menjadi katarsis bagi korban dalam memperoleh rasa keadilan.

Hasil penyeldikan TGPF adalah; pertama, adanya laporan akhir yang menyebutkan adanya dugaan peran perwira tinggi militer sebagai dalang kerusuhan dan seharusnya bertanggungjawab atas peristiwa ini; Kedua, Komnas HAM telah membentuk Komisi Penyeldikan Peristiwa Pelanggaran HAM Berat untuk kasus Kerusuhan Mei 1998 dan berhasil menemukan bukti bahwa diduga telah terjadi suatu peristiwa pelanggaran HAM yang berat dan kemudian telah menyerahkan hasil penyelidikannya kepada Jaksa Agung pada tahun 2003.

Namun usaha dan progres yang telah dilakukan tersebut kini menjadi lelucon politik bagi para penguasa. Bukti-bukti tersebut harus kandas ditangan Kejaksaan Agung dengan berulangkali mengembalikan dokumen hasil penyelidikan kepada Komnas HAM yang terakhir terjadi pada tahun 2018.

Proses tersebut terus berulang akibat dari menguatnya impunitas pelaku kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Relatif selama dua dekade peristiwa itu berlangsung tidak ada kemajuan dan kepastian kapan impunitas akan berakhir. Selama rentang waktu itu pula para korban dan keluarganya harus menanggung penyiksaan batin dan fisik akibat belum adanya pertanggungjawaban negara untuk mengakui secara resmi, memulihkan martabat dan hak-hak korban serta menegakkan supremasi hukum. Sampai Kapan ? Hanya Good Will rejim kekuasaan Jokowi yang bisa menjawabnya.

Pelajaran Bagi Penguasa

Rata-rata seorang presiden bisa jatuh karena kebijakan-kebijakannya yang tidak sesuai dengan harapan rakyatnya kemudian menimbulkan krisis kepercayaan sehingga kehilangan kursinya. Saat ini ditengah tengah momen mengenang 21 tahun reformasi dan tumbangnya Orba mestinya bisa menjadi bahan instropeksi bagi penguasa untuk memperbaiki kinerjanya.

Apalagi ditengah badai corona, banyak amunisi bisa diledakkan untuk menggerogoti kewibaaan pemerintah yang mengarah pada upaya pemakzulannya. Salah satu amunisi yang bisa digunakan adalah peristiwa yang terkait dengan peristiwa demonstrasi berujung kerusuhan pada Mei 2019.

Sebgaimana diketahui, telah terjadi demonstrasi yang diwarnai kekerasan pada 21-23 Mei 2019 di sejumlah daerah, seperti Jakarta dan Pontianak yang telah menimbulkan korban jiwa. Hasil investigasi yang dilakukan Komnas HAM menyimpulkan demonstrasi itu buntut dari protes sebagian kelompok masyarakat yang menolak hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pada April 2019 lalu.

Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara mengatakan dalam peristiwa itu menelan 10 korban jiwa yakni 9 tertembak peluru tajam dan 1 diduga mengalami Kekerasan. Selain itu, 465 orang ditangkap, 74 diantaranya berusia anak dan informasi hilang 32 orang.

Beka menegaskan adanya 10 Korban tewas itu dapat disebut sebagai pembunuhan tanpa alasan hukum yang sah dan ini merupakan pelanggaran pidana. Ironisnya, dari 10 korban meninggal itu, 4 diantaranya merupakan anak-anak dan sampai sekarang kepolisian belum menemukan identitas pelaku penembakan.

Menurut Beka, penembakan terhadap 9 warga sipil diduga dilakukan orang terlatih dan sudah direncanakan sebelumnya dengan memanfaatkan situasi chaos pada 22 Mei 2019. Karena itu, Polri wajib menuntaskan penyelidikan dan penyidikan atas jatuhnya 10 korban meninggal itu.

“Pelaku intelektual dan pelaku lapangan harus diproses secara hukum,” kata Beka dalam jumpa pers di kantor Komnas HAM Jakarta, Senin (28/10/2019) yang lalu. Begitu pula tindakan sewenang-wenang yang dilakukan anggota Polri, menurut Beka harus ada tindakan yang tegas. Tindakan Kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian tidak dapat dibenarkan.

Selain mendorong proses disiplin, Komnas HAM juga meminta penyelesaiannya dibawa ke ranah hukum pidana. Penggunaan kekerasan dan tindakan berlebihan seperti itu melanggar sejumlah aturan seperti UU HAM dan Perkap No.8 Tahun 2009.

Guna menciptakan kondisi yang kondusif bagi pemajuan, perlindungan, penegakan HAM, serta memastikan agar peristiwa serupa tidak terulang lagi, Komnas HAM telah menyampaikan rekomendasi antara lain meminta Presiden Joko Widodo agar mengambil langkah strategis untuk mencegah agar peristiwa serupa tidak terjadi lagi dengan cara memastikan Polri melakukan proses hukum terhadap pelaku kekerasan dalam peristiwa 21-23 Mei 2019.

Selain itu meminta Kapolri mengungkap pelaku utama yang merancang dan bertanggung jawab atas terjadinya kekerasan. Melanjutkan penyelidikan dan penyidikan atas tewasnya 10 korban.

Ini penting untuk mencegah berkeliarannya pemegang senjata api gelap di masyarakat. Menjatuhkan sanksi kepada anggota Polri yang melakukan kekerasan dan meningkatkan kapasitas anggota Polri dalam menangani demonstrasi dan kerusuhan, sehingga mampu mencegah pelanggaran HAM.

Rekomendasi dari Komnas HAM ini seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah sebagai bagian dari kewajibannya untuk menegakkan hukum sebagai bagian dari amanat reformasi.

Jika rekomendasi ini dilaksanakan bisa menutup salah satu peluang sasaran tembak upaya oposisi yang ingin merongrong kewibawaan pemerintah. Selain persoalan tersebut tentu masih banyak peluang untuk memperbaiki kinerja pemerintahan untuk meningkatkan citranya dimata rakyat.

Ditengah-tengah pandemi virus corona ini agaknya Presiden perlu meningkatkan kewaspadaan pada perilaku yang ditunjukkan oleh orang-orang dekat tukang bisiknya dan para pembantunya.

Para menteri yang suka menganulir kebijakan Presiden perlu diwaspadai motif dan tujuannya. Karena seringkali seorang pemimpin bisa jatuh karena ulah orang-orang dekatnya. Jangan-jangan mereka itu sengaja melakukan upaya pembusukan dari dalam yang berujung pada jatuhnya nama Presiden dimata rakyatnya.

Yang lagi hangat akhir-akhir ini seperti keputusan Presiden untuk menaikkan iuran BPJS. Keputusan ini jelas-jelas melanggar hukum karena MA telah membatalkannya tapi orang-orang dekat istana yang ahli hukum seperti Mahfud MD atau Yasonna Laoly terkesan membiarkannya.

Demikian juga munculnya skandal kartu pra kerja yang diduga melibatkan staf khusus presiden, terkesan anak-anak muda itu telah “mengibuli” bosnya karena menyalahgunakan kewenangannya. Kasus kartu pra kerja ini sangat mungkin akan meledak menjadi skandal nantinya.

Sementara itu ditengah pandemi virus corona ada menteri yang ngotot mendatangkan TKA asing asal China padahal masalah ini sangat sensitif karena sedang diberlakukan PSBB bagi warga negara Indonesia untuk mengerem penyebaran virus corona.

Kebijakan-kebijakan yang tidak popular di mata rakyat ini tentu sangat berpengaruh pada kewibawaan pemerintah yang sekarang berkuasa. Oleh karena itu sebagai pemimpin tertinggi di republik Indonesia, Presiden Jokowi perlu mewaspadainya. Jadikan kompas kebangsaan yaitu Pancasila dan UUD 1945 sebagai pedoman dalam bekerja.

Sebagai Presiden hasil reformasi, tentu rakyat berharap Jokowi istiqomah menjalankan amanat reformasi yang telah menelan banyak korban nyawa anak-anak bangsa. Bukan malah terlena melaksanakan agenda terselubung para pemilik modal dan pengkhianat bangsa. Sebab kalau masih terus terlena dengan kondisi bangsa maka menjadi sia-sialah upaya perjuangan melengserkan Orba. Sehingga menjadi tidak ada bedanya antara pemerintahan Orba yang direformasi dengan pemerintah penggantinya.

Harus diakui segala kesemrawutan dan kegaduhan yang terjadi saat ini dalam pengambilan kebijakan di pemerintahan sudah pasti ada sebabnya. Kita tidak tahu pasti apa yang menjadi penyebabnya.

Apakah karena kebijakan presiden banyak di intervensi oleh orang-orang “kuat” disekitarnya atau presiden merasa kurang percaya diri atau tidak tahu bagaimana menjalankan kewenangan besar yang dimiliki untuk kepentingan rakyatnya.

Dalam kasus kenaikan iuran BPJS misalnya, bisa jadi orang seperti Mahfud MD atau Yasonna Laoly sudah mengingatkan presiden yang keliru langkahnya kemudian presiden tidak menghiraukannya. Tapi bisa jadi para menteri itu memang sengaja melakukan pembiaran karena merasa bukan menjadi tanggungjawabnya.

Kita yang berada diluar pagar tidak tahu persis suasana kebatinan yang terjadi dalam sana. Kita hanya bisa menduga-duga saja. Yang jelas terlalu mahal rasanya kalau nasib bangsa ini dipertaruhkan melalui suatu kebijakan yang bersifat amatiran atau sekadar coba-coba.

Diakui atau tidak pemerintah saat ini memang sedang mendapatkan ujian yang cukup berat ditengah badai corona. Banyak keluhan masyarakat, kritik bahkan hujatan ditujukan kepada pemerintah dan jajarannya. Semua mesti diterima dengan lapang dada karena berani berkuasa harus berani juga menanggung konsekuensinya.

Tetapi kalau memang para penguasa sudah merasa lelah, jenuh serta tidak sanggup mengemban amanah rakyat, ada baiknya mempertimbangkan saran dari Mahfud MD yang sekarang menjadi penghuni istana. Dalam video berdurasi satu menit, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof Dr Mohammad Mahfud MD, SH, SU, yang tampil dalam forum diskusi di televisi pernah menyinggung soal hakekat kepemimpinan. Menurutnya seorang pemimpin seyogyanya harus mundur kalau tidak bisa menegakkan keadilan.

“Negara itu akan berjalan dengan baik kalau diperintah dengan adil. Sebaliknya Negara itu akan hancur karena ketidakadilan. Oleh karena itu kalau seorang pemimpin sudah mendapat cemoohan masyarakat, kata TAP MPR nomor 6 tahun 2000, seorang pemimpin kalau sudah tidak dipercaya masyarakat, kebijakannya dicurigai menimbulkan kontroversi karena tingkah lakunya, nda usah bilang menurut hukum saya belum salah, mundur!, begitu katanya. Kalau memang sudah begitu “fatwanya”, lalu bagaimana sebaiknya ? Sama-sama kita tunggu respon rakyat yang akan menjadi “snow ball” atau adem ayem saja. (Law)