Mengejar Infrastruktur, Melepas Kedaulatan Rakyat

Opini0 Views

kabarin.co, Tulisan ini dibuat setelah saya melihat berita di media nasional bahwa Jokowi akan menggunakan mata uang China Yuan sebagai acuan kurs mata uang Rupiah. Pernyataan Jokowi tidak mengejutkan saya karena sudah terlihat fenomena kerjasama perdagangan dan investasi asing di Indonesia semakin condong ke China.

Kebijakan pembangunan infrastruktur melalui pembiayaan China sudah nampak sejak Jokowi mengawali tugasnya sebagai Presiden. Tetapi bayangan lebih menyeramkan terlintas di benak saya, apakah Indonesia akan menjadi Zimbabwe dan Angola berikutnya? Zimbabwe telah mengganti mata uangnya dengan Yuan yang tentunya bukan secara sukarela, tetapi ada tekanan politik dan ekonomi dari China. Hal yang sama bisa juga terjadi dengan Indonesia, dan tanda-tanda itu dimulai dengan menjadikan Yuan sebagai acuan kurs Rupiah.

Terbersit kekhawatiran Rupiah akan digantikan Yuan akibat dari resiko perdagangan dan investasi China di Indonesia. Jika terjadi demikian, apakah Rupiah hanya dipandang sebagai nilai ekonomis saja? Apakah Rupiah tidak dilihat dari sisi kedaulatan dan kemandirian ekonomi bangsa Indonesia?

Zimbabwe dan Angola terjebak dalam hutang (Debt-trap) yang diberikan China baik itu pinjaman melalui kerja sama Pemerintah China maupun sektor privat yang berafiliasi dengan China. Ekonomi Zimbabwe dan Angola dikuasai oleh China karena hutang yang tinggi kepada China untuk pembangunan infrastruktur besar-besaran dan juga akibat banyak mengimpor produk-produk dari China. Kondisi ini bisa terjadi karena kuatnya pengaruh para taipan China overseas pada birokrasi negara tersebut dalam perjanjian kerjasama perdagangan dengan Pemerintah China.

Akibat hutang senilai US$40 juta yang tidak terbayar maka pada tanggal 1 Januari 2016 Pemerintah Zimbabwe harus menggunakan mata uang China sebagai ganti dari penghapusan hutangnya kepada China. Zimbabwe terpaksa meminjam dari China, baik melalui bank Pemerintah China ataupun melalui sektor publik-privat China, karena sudah diisolasi oleh negara-negara Barat yang menuduh telah terjadi pelanggaran HAM di negara tersebut.

Dalam waktu singkat hanya 9 tahun, Zimbabwe ditaklukkan oleh Yuan.

Tahun 2007, Zimbabwe mendapatkan pinjaman besar dari China, tahun 2014 elit militernya di bawah pengaruh China, dan awal tahun 2016 mata uangnya dikudeta Yuan. Amat tragis apa yang dialami oleh Zimbabwe sebagai sebuah negara yang merdeka. Tanpa mengerahkan pasukan militer dengan senjata berat China berjaya dalam menguasai negara-negara Afrika.

Angola memang belum mengubah mata uangnya menjadi Yuan, tetapi ekonominya sudah dikuasi China dan sangat mungkin dalam waktu singkat akan mengikuti Zimbabwe mengganti mata uangnya jika tidak mampu membayar hutangnya kepada China. Suplai minyak Angola ke China kini menempati posisi pertama menggantikan ketergantungan China pada Arab Saudi. China tentunya ingin menguasai Angola sepenuhnya karena nilai strategisnya itu.

Dalam rangka penguasaan minyak sebagai sumber energi, Afrika memang sedang diperebutkan oleh Cina, Uni Eropa, AS dan Jepang. Namun dalam strategi semua pihak yang berusaha memperkuat pengaruhnya di Afrika, China menggunakan cara yang berbeda. Jika Amerika Serikat dengan kebijakan memerangi teroris, mensyaratkan pemberantasan korupsi birokrasi, peningkatan kehidupan buruh dan penegakan HAM, maka China menerapkan kebijakan yang tidak ikut campur dalam kebijakan internal negara-negara Afrika seperti pada korupsi birokrasi dan pelaksanaan upah minimum.

Itulah mengapa pendekatan China untuk kebijakan pinjaman dapat diterima oleh birokrasi di negara-negara Afrika yang masih tinggi korupsinya. Tentu saja pendekatan bilateral seperti itu membuat jengkel AS sehingga menyebut China, yang terungkap dalam bocoran Wikileaks, sebagai ”pesaing ekonomi yang sangat agresif dan merusak, tanpa moral”.

Selain strategi pendekatan, China juga menerapkan strategi investasi yang agresif di Afrika. Data Bank Dunia menunjukkan bahwa Afrika membutuhkan dana investasi 93 miliar dollar AS per tahun selama 10 tahun ke depan untuk infrastruktur. China mengambil peluang itu lewat kerja sama dengan beberapa pemerintah di Afrika. Para taipan baik yang merupakan WN China ataupun yang sudah menjadi warga negara Afrika (China Overseas) dihimpun untuk melakukan banyak investasi di bidang infrastruktur jalan, pengadaan air bersih, listrik, hingga sektor kebutuhan dasar.

Tugas taipan China overseas ini agar dapat menjalankan bisnis di negara-negara Afrika sesuai kepentingan ekonomi China adalah melakukan pendekatan pada elit birokrasi. Salah satunya adalah Sam Pa, pemilik Sonagol – perusahaan pemegang izin eksplorasi minyak dan gas di Republik Angola, yang memiliki kewarganegaraan ganda yakni Inggris dan Angola. Sam Pa adalah kunci yang membuka pintu hubungan China dengan negara-negara Afrika. Sam Pa memberikan fee pada birokrasi Angola untuk menjalankan diplomasi minyak. Maka tidak heran bagi Sam Pa, untuk menggaet kontrak-kontrak migas dengan nilai jumbo yang berasal dari Angola.

Perjanjian dagang China dengan Afrika juga disertai kerja sama militer. Bantuan persenjataan dan latihan militer disepakati setelah perusahaan minyak China melobi para elit militer negara-negara Afrika. Selain untuk mengamankan investasi dan meningkatkan perdagangan senjata, China yang telah memiliki fondasi kekuatan ekonomi di Afrika juga ingin memperluas kemampuan militernya di luar kawasan Asia-Pasifik. Untuk itu China menandatangani kontrak 10 tahun dengan negara Afrika Djibouti, sebuah negara kecil di Afrika Timur, untuk membangun pangkalan militer di sana – pangkalan militer pertama China di benua itu.

Setelah menganalisis apa yang telah dilakukan oleh kebijakan kerja sama ekonomi Cina di Afrika, maka dapat dipahami beberapa tahapan strategis sebagai berikut:

1. Tahap pertama, China menawarkan kebijakan pinjaman kepada negara-negara Afrika dengan berbagai model. Birokrasi pemerintah negara-negara Afrika pun ikut mendukung karena tidak mengkaitkan pinjaman dengan praktik politik dan pemerintahan negara-negara Afrika. Juga adanya dukungan lobi para taipan China overseas pada Pemerintah.

2. Tahap kedua, China mengkaitkan pinjaman itu dengan kebijakan pembangunan infrastruktur, baik itu jalan, listrik, pengadaan air bersih, kereta api, bangunan rumah sakit dan sekolah, hingga sektor kebutuhan dasar.

Kedua tahap awal ini untuk mendapatkan kepercayaan awal dari negara-negara Afrika untuk menerima masuknya produk China ke Afrika.

3. Tahap ketiga adalah kebijakan minyak, yaitu aliran sumber daya energi dan sumber daya alam lainnya dari Afrika ke China untuk mendorong produksi dalam negeri Cina dan mengurangi ketergantungan China pada sumber daya energi di Timur Tengah.

4. Tahap keempat adalah mempengaruhi kekuatan militer (melobi elit militer) dengan bantuan senjata dan pelatihan. Selain membuat militer Afrika sebagai pembeli produk senjata Cina juga untuk mengamankan investasi dari risiko nasionalisasi di kemudian hari. Hasil keuntungan dari operasi perusahaan minyak China di Afrika dapat digunakan untuk membangun hubungan intensif dalam rangka melobi para penguasa militer di negara-negara Afrika.

Dalam jangka panjang semua tahapan strategis itu untuk memenuhi kebutuhan strategis Cina:

1. Menjadikan benua Afrika sebagai daerah pasar yang berkelanjutan untuk produksi dalam negeri Cina, di mana nilai tambah dari perdagangan jangka panjang ini memadai untuk mengembalikan nilai investasi pada tahap awal.

2. Secara geopolitik, China memiliki mitra politik strategis dalam mengimbangi pengaruh Amerika Serikat di kawasan dan juga dapat digunakan dalam lobi lembaga internasional seperti PBB dengan metode satu negara satu suara.

Apa yang akan terjadi dengan Indonesia akibat penerapan paradigma pembangunan infrastruktur saat ini? Dengan ketergantungan pembiayaan dari sektor privat-publik China sesungguhnya lebih tepat disebut paradigma “Mengejar Infrastrukur, Melepas Kedaulatan Rakyat”.

Dalam pernyataan yang dikeluarkan JubileeDebt.org.uk bahwa pembiayaan infrastruktur melalui sektor publik-privat yang dijamin oleh Pemerintah dalam bentuk apapun, sesungguhnya menambah hutang-hutang Pemerintah, meskipun dalam neraca pemerintah tidak terlihat. Dari sisi cost, riset membuktikan bahwa pembiayaan infrastruktur melalui sektor publik-privat adalah cara yang termahal, bahkan lebih dari dua kali lipat jika Pemerintah membangun sendiri infrastruktur melalui pinjaman bank lokal dan menerbitkan obligasi.

Hal ini dapat dipahami karena sektor publik-privat mendapatkan bunga pinjaman yang tinggi dan kontraktor privat menargetkan profit yang tinggi. Bahkan proses negosiasi proyek pun dimasukkan sebagai biaya. Dalam jangka panjang, beban Pemerintah mempunyai resiko tinggi, meskipun jumlah kewajiban disembunyikan dari neraca sehingga seakan-akan hutang-hutang Pemerintah lebih rendah dari kenyataannya.

Tetapi dari itu semua, yang perlu diperhatikan kita semua adalah bahwa dari negara-negara yang sangat bergantung pada hutang-hutang luar negeri untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi ternyata itu tidak membuat perubahan yang signifikan pada struktur ekonomi. Tingginya hutang LN mengurangi elastisitas ekonomi ketika terjadi guncangan eksternal yang menciptakan krisis hutang baru. Selanjutnya yang terjadi adalah Pemerintah terpaksa mengurangi anggaran untuk pelayanan publik seperti kesehatan dan pendidikan. Tidak heran jika pada negara-negara yang bergantung pada hutang LN masih banyak kemiskinan di balik pertumbuhan ekonominya.

Dari aspek sosial juga akan terjadi konflik yang meluas antara tenaga kerja China dan masyarakat lokal. Juga antara masyarakat lokal melawan kebijakan Pemerintah. Konflik ini telah terjadi di Cabinda, Angola, satu kawasan kantong kaya minyak, ketika Front Pembebasan Daerah Cabinda (FLEC) bertempur melawan tentara Pemerintah yang sudah menewaskan 40 orang. FLEC menuntut Pemerintah China menarik semua warga negaranya di Cabinda karena mereka dianggap memprovokasi penduduk lokal.

Di Indonesia sendiri sikap curiga dan kecemburuan sosial sudah terjadi dengan tenaga kerja asal China dalam proyek-proyek infrastruktur. Kecurigaan bahwa tenaga kerja tersebut masuk secara ilegal atau menyalahi izin kunjungan bahkan sampai kepada dugaan bahwa mereka adalah Tentara Pembebasan Rakyat PKC (PLA). Kecemburuan sosial timbul karena di saat masih banyak rakyat yang membutuhkan lapangan kerja, justru Pemerintah membiarkan tenaga kerja asing mengambil peluang kerja yang tersedia dari pembangunan infrastruktur.

Secara kultur pun kedatangan jumlah banyak tenaga kerja asal China menimbulkan gesekan dengan masyarakat di berbagai daerah di mana proyek itu dikerjakan karena cara hidup mereka yang eksklusif dan dianggap menginjak-injak kedaulatan penduduk lokal. Contohnya penggunaan huruf-huruf kanji dan bahasa mereka digunakan dalam operasi dan kegiatan pada proyek-proyek yang semestinya menggunakan petunjuk bahasa Indonesia. Singkatnya secara mencolok, mereka mempertontonkan bahwa mereka adalah tuan di negeri orang.

Indonesia yang menjadi target China untuk menjadi daerah pemasaran produk China dalam jangka panjang, sepertinya terus didorong oleh kepentingan-kepentingan China yang direpresentasikan oleh proxy China di Indonesia baik itu taipan, pengusaha pribumi maupun pejabat untuk mendukung kebijakan OBOR (One Belt One Road) For One China. Indonesia kini menjadi salah satu negara mitra strategis di Asia bagi kepentingan ekonomi China melalui kebijakan Jalur Sutera Maritim. Tetapi jika melihat apa yang terjadi di Afrika, bahwa apa yang diberikan China di awal dilihat sebagai kebaikan dalam bentuk bantuan pinjaman dan investasi untuk pembangunan Infrastrukur, pada akhirnya Indonesia bukanlah sebagai mitra dagang yang seimbang dan saling menguntungkan, tetapi lebih menjadi korban atas imperialisme baru China yang kini telah menjadi negara yang mampu mengimbangi pengaruh dan kekuatan Amerika Serikat.

Saya meyakini, jika kecondongan Indonesia kepada China tidak dikembalikan ke posisi semula dengan alasan pembangunan infrastruktur yang dibiayai China, maka dalam waktu 10-20 tahun ke depan, ekonomi Indonesia dan berbagai aspek kehidupannya akan dikuasai China sepenuhnya. Dan pertanda kuat ke arah itu adalah ancaman kudeta Yuan atas Rupiah sebagai simbol kedaulatan ekonomi bangsa Indonesia. Demi mengejar infrastruktur, pantaskah kita melepaskan kedaulatan rakyat?

Penulis : Gde Siriana (Soekarno Institute For Leadership)

Baca Juga:

Tsunami Politik dan Air Mata Ahok