Dari Kasus Penistaan Agama Menjadi Krisis Kepemimpinan

Opini9 Views

kabarin.co – RIO de Jeneiro, Jumat dini hari 21 Juni 2013, demonstran yang menuntut perbaikan ekonomi dan polisi bentrok di beberapa kota. Setidaknya satu demonstran tewas di negara bagian São Paulo ketika seorang pengendara mobil tampaknya menjadi emosi karena tidak dapat melanjutkan perjalanan dan menerobos ke arah sekelompok demonstran.

Media-media Brasil mengkritik keras Presiden Rousseff dan para pemimpin lainnya karena kebingungan mereka merespon aksi protes tersebut.

Awalnya demonstran beraksi damai, dan orang banyak meneriakkan “Tidak ada kekerasan! Tidak ada kekerasan!”. Ketika Presiden Rouseff tidak mau menemui para demonstran, kelompok-kelompok kecil telah bersiap untuk melakukan aksi bakar dan pengrusakan. Para demonstran yang garang merubah malam itu menjadi malam yang mengenaskan.

Meskipun akhirnya Ppresiden Brazil menemui para demonstran, kerusuhan sudah melebar ke beberapa kota. Di Rio de Janeiro, dimana diperkirakan 300.000 demonstran tumpah ke pusat kota pantai ini, bentrokan terjadi antara polisi anti huru hara dan sekelompok anak-anak muda dengan T-shirt melilit wajah mereka. Namun pengunjuk rasa damai juga terjebak dalam keributan tersebut, juga karena polisi menembakkan gas airmata ke tengah-tengah mereka dan suatu waktu menggunakan semprotan merica.

Apa yang terjadi di Brazil itu kini terjadi lagi di Jakarta Jumat malam 4 November. Lautan manusia yang melakukan unjuk rasa di depan Istana Merdeka, datang dari berbagai golongan, berbagai organisasi, berbagai daerah, tua-muda dan pria-wanita, berkumpul karena panggilan hati yaitu untuk meminta keadilan dan ketegasan Presiden Jokowi atas proses hukum dalam kasus penistaan agama yang dilakukan Gubernur Jakarta Ahok.

Para pengunjuk rasa yang bertekad bulat untuk bertemu dengan Presiden akhirnya mendapatkan rasa kecewa yang mendalam. Rasa lelah dalam penantian diterima dan bertemu Presiden, ternyata mereka hanya bisa bertemu dengan perwakilan presiden yaitu Menko Polhukam Wiranto dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Padahal beberapa hari sebelumnya Jokowi beserta jajarannya telah meminta aksi unjuk rasa 4 November berlangsung damai dan tidak disusupi oleh provokator. Lalu ketika para pengunjuk rasa telah demikian kuatnya berusaha menjaga kemurnian dan ketertiban unjuk rasa sejak pagi hingga pukul 6 sore sebagai batas waktu akhir unjuk rasa, mengapa Jokowi tidak mau menemui perwakilan pengunjuk rasa? Padahal sudah menjadi kewajiban Presiden untuk mau mendengar dan menerima keluhan dan pengaduan dari rakyatnya sendiri, siapapun dan darimanapun mereka. Apalagi ini disampaikan secara langsung, bukan lewat sosmed.

Dari peristiwa ini publik melihat bahwa telah terjadi krisis kepemimpinan dari Presiden. Setidaknya ada lima sikap Jokowi yang menunjukkan adanya krisis leadership.

1. Jokowi tidak menunjukkan sikap untuk memecahkan masalah segera tetapi justru menimbulkan masalah baru. Yaitu publik semakin yakin atas dugaan perlindungan yang diberikan Jokowi terhadap Ahok, dalam bentuk intervensi pada proses hukum yang seharusnya dilakukan Polri.

2. Jokowi tidak mempunyai kepekaan atas harapan publik yang sangat tinggi untuk membuktikan tidak ada seorangpun yang kebal hukum di NKRI. Ketidakpekaan ini lah yang dilihat publik sebagai melecehkan “kedatangan” rakyat sebagai tamu ke Istana negara. Seharusnya rakyat sebagai tamu berhak mendapatkan penerimaan yang semestinya.

3. Ketidakpekaan ini juga dilihat sebagai ketidakmampuan memahami suasana bathin dan psikologis massa aksi. Sehingga kerusuhan di sekitar lokasi unjuk rasa sesungguhnya merupakan reaksi (bukan aksi) atas provokasi psikologis kepada pengunjuk rasa yang sangat lelah menanti bertemu Presiden.

4. Presiden menugaskan wakil dan pembantunya untuk menghadapi persoalan yang berat dan lebih memilih pergi melihat proyek di Bandara Soetta menunjukkan ketidakmampuan melihat prioritas dan urgensi suatu masalah. Sikap ini sangat kontras dengan manuver politik Jokowi yang gencar menemui sejumlah tokoh pada hari-hari sebelumnya. Alangkah lebih bijak jika pembagian tugas negara dilakukan sebaliknya.

5. Pandangan Jokowi setelah unjuk rasa yang menyebutkan adanya aktor intelektual yang memanfaatkan situasi juga tidak menjawab substansi masalah yang jadi penyebab adanya unjuk rasa. Bahasa-bahasa simbolik yang sangat elitis bagaikan komunikasi ini ditujukan kepada rival elit lain, bukan komunikasi dengan bahasa sederhana yang ditujukan kepada masyarakat luas. Sepertinya para pembisik di sekitar presiden telah menyisipkan teks perang urat syaraf yang hanya dimengerti oleh elit yang dituju.

Bagaimana kelanjutan aksi unjuk rasa penistaan agama?

Para inisiator dan seluruh pengunjuk rasa penistaan agama telah mengikuti prosedur yang sesuai dengan hukum dan derajat kelembagaan. Diawali dengan bertemu Bareskrim dan Kapolri untuk melaporkan dan mendesak segera diproses, lalu ingin menemui Presiden ketika melihat proses hukum berjalan lambat. Maka ketika Presiden tidak mau menemui mereka, jalan selanjutnya adalah mencari keadilan ke DPR.

Di sini lah titik kritis dari gerakan rakyat untuk menuntut penegakan hukum yang adil. Jangan sampai para demonstran mewujudkan kebingungan dan kurangnya kemampuan kepemimpinan politisi-politisi partai dalam mendukung isu penistaan agama dalam bentuk gerakan yang lebih besar lagi tapi tak terkendali. Banyak demonstran mengatakan mereka tidak yakin bagaimana gerakan ini akan memenangkan tuntutan penegakan hukum pada Ahok. Dipastikan kemarahan rakyat justru malah semakin intensif dan meluas ke berbagai daerah. Bukan tidak mungkin, pimpinan MPR yang mempersilahkan pengunjuk rasa menginap di MPR Akan menciptakan “penginapan sebulan” bagi gerakan rakyat.

Jika memang ini yang akan terjadi, maka saatnya zaman melahirkan para tokoh pemimpin baru yang lahir dari rakyat. Suka atau tidak suka, merekalah yang konsisten dan berani menegakkan keadilan di masa lalu maupun sekarang. Dan mereka pulalah yang akan memimpin perubahan sosial yang nyata di depan mata. [***]

Depan gerbang DPR, menjelang subuh
5 November 2016

Gde Siriana
Direktur Eksekutif Leskeppda Institute, Lembaga Studi Kebijakan Pembangunan dan Pemerintahan Daerah