Ketika Keindahan Puncak “Si Kembar” Marapi dan Singgalang Tertangkap Kamera

Dari mano asal nyo palito,
dari telong nan ba tali
Dari mano asal niniak kito,
dari puncak gunuang Marapi

Pantun diatas adalah pantun kebanggaan orang Minang, yang berbicara tentang garis keturunan atau asal usul mereka. Kata kuncinya adalah Gunuang (Gunung) Marapi, yang menurut tambo (sejarah) mereka turun temurun, adalah tempat dimana nenek moyang mereka berasal.

Kenapa dari puncak gunung? Ada sejarahnya yang dituliskan dalam tambo tersebut. Hulunya adalah Orang Minang adalah keturunan Raja besar penguasa dunia yang bernama Raja Iskandar Zulkarnain dari Macedonia.

Tersebutlah kisahnya, tiga putra Iskandar Zulkarnain yaitu Maharajo Alif, Maharajo Depang dan Maharajo Dirajo berlayar bersama, dan saat dalam perjalanan mereka bertengkar sehingga mahkota kerajaan jatuh ke dalam laut.

Maharajo Dirajo yang membawa Cati Bilang Pandai – seorang pandai emas- berhasil membuat satu serupa dengan mahkota yang hilang itu. Mahkota itu lalu ia serahkan kepada abang-abangnya, tetapi mereka mengembalikannya kepada Maharajo Dirajo karena ia dianggap yang paling berhak menerima, karena telah berhasil menemukannya.

Mereka adik beradik lalu berpisah. Maharajo Alif meneruskan perjalanan ke Barat dan menjadi Raja di Byzantium, sedang Maharajo Depang ke Timur lalu menjadi menjadi Raja di China dan Jepang.

Manakala Maharajo Dirajo ke Selatan perahunya terkandas di puncak Gunung Merapi saat Banjir Nabi Nuh melanda. Begitu banjir surut, dari puncak gunung Merapi yang diyakini sebagai asal alam Minangkabau turunlah rombongan Maharajo Dirajo dan berkampung disekitarnya.

Awalnya terlihatlah puncak gunung Merapi tersebut sebesar telur itik. Lama kelamaan karena air surut, barulah terlihat sebagian besar gunung tersebut. Hingga muncullah filosofi diatas:

“Dari mano asal nyo palito, dari telong dan ba tali. Dari mano asal niniak kito, dari puncak gunuang Marapi”. (Dari mana asalnya pelita, dari telong yang bertali. Dari mana asal nenek moyang kita, dari puncak gunung Merapi”

Tak heran, gunung Marapi adalah sangat istimewa dan dijadikan icon bagi Ranah Minang. Gunung yang sarat muatan sejarah, meskipun hanya melalui tambo. Gunung ini terletak membentang di dua Kabupaten, yaitu Tanah Datar dan Agam.

Tapi Marapi belum sempurna, karena harus disebutkan pendampingnya. Sang “pengantin”-nya tak lain tak bukan adalah Gunung Singgalang. Dua gunung ini ibaratnya gunung kembar, dengan jarak yang tidak terlalu jauh.

Gunung Marapi (2.891 mdpl) dan Singgalang (2.877 mdpl), bagi para pendaki Sumatera Barat, bahkan dari luar Sumbar, dan pendaki internasional, dua gunung itu wajib didaki. Bagi orang-orang berjiwa pendaki gunung, belum afdol dan belum ke Ranah Minang rasanya jika belum pernah menginjakkan kaki di kedua puncak gunung itu.

Karakter keduanya jauh berbeda. Gunung Marapi masih aktif. Beberapa kawahnya masih terus mengeluarkan asap. Kembarannya, Gunung Singgalang, sudah lama mati. Kawahnya sudah ditutupi air membentuk sebuah danau luas bernama Talago Dewi. Soal durasi pendakian, perlu waktu lebih lama buat naik Singgalang daripada Marapi.

Seorang pendaki gunung maraton solo bernama Willem Sigar Tasiam (58) sanggup menyelesaikan dua pendakian gunung di Sumatera Barat itu dalam satu hari tahun 2016 lalu. Ia mendaki Gunung Marapi dan Singgalang tepatnya Rabu, 1 Juni 2016.

Willem mulai mendaki Gunung Marapi sekitar pukul 00.00 WIB dan kembali di pos pendakian awal di Koto Baru, Tanah Datar sekitar pukul 08.00 WIB. Kemudian, Willem langsung menuju pos awal pendakian Gunung Singgalang dan mulai mendaki pada pukul 10.00 WIB. Willem tiba kembali di pos pendakian Gunung Singgalang di Desa Pandai Sikek, Koto Sepuluh, Kabupaten Tanah Datar pukul 18.30 WIB.

Gunung Singgalang termasuk dalam wilayah Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Untuk menuju puncak gunung ini dapat di tempuh melalui beberapa jalur pendakian, diantaranya jalur Koto Baru, jalur Balingka dan jalur Toboh. Namun dari ketiga jalur ini, yang paling umum dan sering digunakan adalah jalur Koto Baru.

Gunung Singgalang memiliki ketinggian sekitar 2877 mdpl dengan jenis gunung vulkanis yang sudah tidak aktif lagi. Gunung ini berjenis hutan gunung yang lembab dan banyak menyimpan kandungan air.

Pada ketinggian sekitar 2765 mdpl terdapat 2 buah Telaga dengan luas sekitar satu hektar yang merupakan bekas kawah mati. Telaga ini diberi nama Telaga Dewi dan Telaga Kumbang. Pemandangan indah inilah yang menjadi daya tarik tersendiri dari Gunung Singgalang yang selalu menarik minat wisatawan untuk mengunjunginya.

Sedangkan Marapi, adalah salah satu gunung api yang masih aktif di Sumatra. Icon gunung ini adalah Puncak Merpati, yaitu puncak tertinggi yang bisa membuat para pendaki bebas menyapukan pandangan ke bawah, tanpa hambatan. Ada istilah, belum naik Gunung Marapi, kalau belum “mencicipi” Puncak Merpati.

Merapi dan Singgalang adalah dua pesona alam Ranah Minang menakjubkan, yang dibaratkan dua gunung yang berdiri kokoh menjaga Ranah Minang. Kokoh dan indah, dan tak heran, kedua gunung ini kerap jadi sasaran empuk fotografer mengabadikan gunung kembar ini dari udara dengan kamera terbaiknya.

Tak ketinggalan Direktur Utama PT. Semen Padang, Yosviandri yang memang hobi fotografi, tak menyia-nyiakan ketika ada kesempatan mengabadikan dua gunung yang jadi icon Sumatra Barat itu.

Jepretan Sang Dirut pun manjadi luar biasa, ketika kameranya mampu menangkap puncak gunung yang seolah menyeruak, muncul dari kepungan awan putih. Keindahan yang nampak nyata, seindah bait-bait lagu Minang lawas ini;

“Jikok itu nan kini Adiak takuikkan
Denai kan datang manyiram bungo Adiak
Rindu lah lamo samo ditangguangkan
Sajak Gunuang Marapi sagadang talua itiak“

Penulis: Rizal Marajo
Kompetensi: Wartawan Utama