Ketika Rakyat Dijadikan Tumbal dalam Proyek Mega Jokowi

Nasional3 Views

kabarin.co, JAKARTA – Abdul Rojak mengirimkan SMS berantai ke sejumlah pimpinan petani selepas Isya pada satu malam Minggu, 24 Agustus 2013. Isinya, seruan untuk membantu petani di Desa Loyang, Kecamatan Cikedung, Indramayu, Jawa Barat.

Mereka menolak keberadaan embung Bubur Gadung karena akan menggusur ratusan petani penggarap.

“Kawan-kawan besok solidaritas membantu STI Loyang menolak Bubur Gadung, bawa golok,” tulis Rojak.

Rojak adalah Sekretaris Jenderal Serikat Tani Indramayu (STI). Umurnya 29 tahun dan berbadan gempal. Malam itu, dia menyiapkan aksi untuk menolak rencana pembangunan embung Bubur Gadung di Desa Loyang. Waduk memang segera dibangun. Ada ekskavator yang sudah disiapkan di jalan raya Cikamurang kala itu.

Pesan berantai tersebut dipatuhi.

Ratusan petani dan pemuda berdatangan keesokan paginya. Mereka membawa golok dan atribut bendera STI. Sebagian juga membawa tumpukan jerami dan bensin untuk menyulut api.

“Bakar bekonya,” perintah Rojak.

Gara-gara aksi itu, Rojak dijerat pasal pidana pembakaran yang membahayakan keamanan umum. Dia dihukum 1,5 tahun pada awal 2014 oleh Pengadilan Negeri Bandung.

Setahun kemudian, Rojak bebas dan tetap memimpin STI hingga hari ini. Bubur Gadung, katanya, menggusur ratusan petani tanpa memberi kepastian lahan garapan di tempat lainnya.

“Petani tak hanya dipinggirkan, tetapi disingkirkan,” katanya. “Pembangunan katanya untuk menyejahterakan rakyat. Ekonomi mana yang dibela?”

Kegusaran Rojak mungkin dapat dipahami.

Embung Bubur Gadung adalah salah satu proyek pemerintah di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama menjabat pada 2009—2014. Waduk itu masuk ke dalam prioritas pembangunan infrastruktur Jawa—Bali pada 2011 untuk mengatasi ketimpangan antara dua wilayah tersebut.

Tetapi yang terjadi sebaliknya.

Ada kekerasan terhadap petani Indramayu yang menolak embung. Ada pula dugaan penjarahan harta hingga pembakaran gubuk mereka.

Infrastruktur mega memang jadi prioritas SBY. Pada 2011, pemerintah menerbitkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) untuk mempercepat proses pembangunan—melalui proyek fisik skala raksasa. Pulau Jawa sendiri dirancang menjadi koridor pendorong industri dan jasa nasional.

“Gravitasi ekonomi global yaitu kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara, mengharuskan Indonesia mempersiapkan diri lebih baik lagi,” kata SBY dalam sambutannya. “MP3EI dimaksudkan untuk mendorong terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang tinggi, berimbang, berkeadilan.”

Soal berkeadilan, masalah petani Indramayu mungkin tak bisa dilupakan begitu saja.

Masalahnya, infrastruktur mega pula yang menjadi prioritas rezim Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sejak berkuasa dua tahun lalu. Ada pembangunan bandara internasional. Pembangkit listrik berbasis batu bara. Atau, revitalisasi waduk raksasa.

“Kepentingan korporasi sangat kental dibandingkan dengan kepentingan umum,” kata Wakil Ketua Komnas HAM Dianto Bachdi. “Proses pengadaan tanah lebih banyak menggunakan cara-cara represif.”

Komnas HAM mencatat pelbagai pengaduan atas dugaan pelanggaran hak warga terkait dengan proyek-proyek infrastruktur skala besar di Tanah Air. Mulai dari zaman SBY hingga Jokowi.

Pada 2014 misalnya, terdapat pelbagai pengaduan pelanggaran hak atas kasus infrastruktur. Ini terdiri soal pembangunan jalan (72 pengaduan); bendungan (34 pengaduan); pembangkit listrik (9 pengaduan); rel kereta (14 pengaduan); bandara (50 pengaduan); serta pelabuhan (6 pengaduan).

Masalahnya pelbagai macam. Mulai dari tidak mendapatkan ganti rugi, terganggunya hak atas kepemilikan tanah, kerusakan lingkungan hingga hak untuk tinggal secara layak.

Sedangkan sepanjang tahun lalu, Komnas HAM mencatat sedikitnya 11 kasus pengaduan dugaan pelanggaran HAM karena kasus infrastruktur. Mulai dari bandara, pembangkit listrik, hingga revitalisasi waduk. Komisi itu menilai proses pembangunan memang dilakukan melalui prosedur legal. Namun, sarat kekerasan dan manipulasi.

“Ada ketentuan sosialisasi, misalnya. Tapi, 200 warga berhadapan dengan 500 tentara, bagaimana bisa terbuka?” kata Dianto.

Ada intimidasi di Desa Ciherang, Sumedang misalnya. Ini terkait dengan pembebasan lahan untuk jalan tol Cileunyi—Sumedang—Dawuan (Cisumdawu). Bandara internasional di Kulon Progo, Yogyakarta dan Majalengka, Jawa Barat. Ada pula soal kriminalisasi petani di Batang, Jawa Tengah karena penolakan pembangkit listrik batu bara.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), organisasi yang membela hak tanah kelompok kecil, mencatat sedikitnya 70 kasus konflik lahan terjadi karena proyek infrastruktur pada tahun lalu. Kasusnya mulai dari perampasan tanah, penggusuran masyarakat, pembebasan lahan hingga penangkapan petani.

“Kami tak jual tanah kami sejengkal pun,” kata Wasiyo, petani asal Desa Glagah, Kulon Progo.

“Mayoritas masyarakat tak setuju pembangunan bandara,” kata Nono Darsono, Desa Sukamulya, Majalengka.

“Apa pun alasannya, kami tetap menolak PLTU,” kata Cahyadi, Desa Karanggeneng, Batang, dalam satu demonstrasi.

Namun, Presiden Jokowi bergeming.

Pelbagai pembangunan skala besar itu kini masuk kategori Proyek Strategis Nasional. Ada sedikitnya 225 Proyek Strategis Nasional—jalan tol, bandara, pelabuhan, pembangkit listrik, kawasan industri hingga kawasan pangan—yang dijadikan sebagai prioritas pembangunan.

Melalui Perpres Nomor 3 Tahun 2016 soal Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, Jokowi justru menegaskan pembangunan infrastruktur adalah untuk kepentingan umum. Tak hanya itu, pemerintah pun memberikan jaminan atas proyek yang dikerjakan melalui Kerja Sama Pemerintah—Swasta (KPS) tersebut.

“Pemerintah berkewajiban membangun wilayah-wilayah yang marginal,” kata Presiden dalam Pidato Kenegaraannya. “Sedangkan daerah-daerah lain yang ekonominya menggeliat dan tumbuh, pemerintah mendorong peran dunia usaha dan kerjasama BUMN.”

Jokowi bisa jadi sangat serius soal ini.

Pada tahun ini, pemerintah menargetkan untuk menggelontorkan dana Rp410 triliun ke pelbagai badan usaha milik negara guna percepatan infrastruktur. Sekitar Rp347 triliun di antaranya dipakai untuk mengerjakan 62 Proyek Strategis Nasional. Total dana keseluruhan itu pun akan ditingkatkan hingga Rp764 triliun untuk 3 tahun mendatang.

Di sisi lain, pemerintah memang menargetkan pendanaan total Rp5.500 triliun untuk sektor infrastruktur hingga 2019.

Program Jokowi mungkin saja seiring dengan dengan temuan survei the Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada Maret 2015.

Organisasi itu menyatakan sektor infrastruktur kian diperlukan guna meningkatkan produktivitas dan menggairahkan dunia usaha di Tanah Air. Hal tersebut dapat menyebabkan biaya produksi dan distribusi menjadi lebih rendah sekaligus mempermudah akses pasar.

Intinya, investasi infrastruktur—dengan kemitraan publik dan swasta—diperlukan guna efesiensi dunia usaha.

“Tingkatkan belanja pemerintah untuk pembangunan infrastruktur,” demikian rekomendasi OECD. “Fokuskan kepada area transportasi dan logistik untuk mendukung industri.”

Tetapi investasi skala besar, kerapkali ingkar pada satu hal: meluasnya konflik agraria.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat terdapat 1.772 konflik agraria selama 2004—2015 atau sepanjang 11 tahun terakhir. Ini adalah pelbagai peristiwa yang terjadi dalam dua rezim pemerintahan, Yudhoyono maupun Jokowi.

Luas lahan yang menjadi sumber konflik pada periode tersebut mencapai 6,94 juta hektare dari pelbagai sektor bisnis. Dari infrastruktur, perkebunan, pertambangan, kehutanan hingga kawasan pesisir.

“Pembangunan infrastruktur Jokowi mengkoneksikan jaringan produksi dan konsumsi global, bukan mempebesar kue rakyat,” kata Iwan Nurdin, Sekretaris Jenderal KPA. “Ini mempercepat laju perampasan tanah.”

KPA mengkritik pembangunan infrastruktur rezim Jokowi justru tak mendengarkan keluhan kelompok kecil, melainkan suara-suara bisnis skala besar. Ini macam alur distribusi produk perusahaan yang terhambat. Atau kebutuhan listrik untuk industri.
Infrastruktur untuk kepentingan bisnis global, kata Iwan, justru mempertajam ketimpangan sosial.

Rupanya, masalah ini tak hanya jadi kekhawatiran KPA, namun juga Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

“Membangun dari pinggiran,” kata Direktur Penanggulangan Kemiskinan Bappenas Vivi Yulaswati, “Tetapi pinggiran yang mana?”

Bappenas menyatakan sedikitnya 14, 25 juta petani berlahan sempit termasuk dalam 40 persen penduduk dengan pendapatan terbawah. Oleh karena itu, pengembangan sektor pertanian, macam memperluas akses permodalan dan sarana di kawasan pedesaan, sangat diperlukan guna mengurangi kemiskinan.

Masalahnya, tingkat kemiskinan di pedesaan pun kini semakin meningkat. Dari 14,09 persen per September 2015 menjadi 14,11 persen per Maret 2016, akibat kenaikan harga pangan. Pemerintah lokal, kata Vivi, harus menjadi kunci utama mengatasi masalah tersebut.

“Jadi Jokowi propoor atau tidak?” tanya saya.

“Dalam tataran implementasi” jawab dia, “Masih perlu pembuktian.”

Mungkin, pembuktian ini yang ditunggu-tunggu petani asal Batang, Kulon Progo, Indramayu hingga Majalengka. Atau juga kelompok terpinggirkan lainnya dari Aceh hingga Papua. Dan masalah ini, mengingatkan kembali kisah Abdul Rojak serta para petani penggarap di Desa Loyang, Indramayu.

“Silakan ada pembangunan,” kata Rojak pada malam itu. “Tetapi, jangan kami dijadikan tumbal.” (cnn)

Baca juga:

Proyek Infrastruktur Manipulatif, Penuh Kekerasan dan Memiskinkan Masyarakat !