Malam 1 Suro, Ini Maknanya Bagi Orang Jawa

kabarin.co – Tanggal 1 Suro dianggap hari yang sakral bagi masyarakat Jawa, sebagian orang menganggap sebagai hari keramat dan saatnya mencuci benda-benda keramat warisan pusaka leluhur seperti keris, tombak, gamelan dan lainnya.

Sebagai pusat kebudayaan dan tradisi, Kraton Surakarta, Yogyakarta dan Puro Mangkunegaran juga diperangati hari keramat ini. Hampir tiga pusat budaya Jawa itu menggelar kirab pusaka keraton dengan suasana hening, karena semua berlaku topo mbisu (bertapa dengan membisu)

Di Kasunanan Surakarta, sangat dikenal dengan kirab Kebo Bule Kyai Slamet, bersama beberapa senjata dikeluarkan dari keraton untuk dikirab. Selama kirab berlangsung, para abdi dalem yang ikut dalam kirab diwajibkan untuk tidak bicara atau tapa bisu.

Di sepanjang perjalanan, banyak warga yang berebut untuk menyentuh kerbau yang dianggap keramat ini. Bahkan ada sebagian masyarakat yang memiliki kepercayaan bahwa kotoran kerbau bule ini dapat memberikan berkah. Oleh karena itu kotoran kebo bule yang keluar di sepanjang perjalanan pun tak hampir selalu ada yang mengambilnya.

Peringantan 1 Suro adalah hari pertama pergantian tahun dalam kalender Jawa. Bulan Sura (Suro) bertepatan dengan 1 Muharam dalam kalender hijriyah, karena Kalender Jawa yang diterbitkan Sultan Agung dari era awal Mataram adalah penyatuan penanggalan Hijriyah (Islam) dan Jawa.

Satu suro biasanya diperingati pada malam hari setelah magrib pada hari sebelum tangal satu biasanya disebut malam satu suro, hal ini karena pergantian hari Jawa dimulai pada saat matahari terbenam dari hari sebelumnya, bukan pada tengah malam.

Satu Suro memiliki banyak pandangan dalam masyarakat Jawa, hari ini dianggap kramat terlebih bila jatuh pada jumat legi. Untuk sebagian masyarakat pada malam satu Suro dilarang untuk ke mana-mana kecuali untuk berdoa ataupun melakukan ibadah lain.

Di kalangan masyarakat Jawa, kini perayaan 1 Suro makin berkembang. Ada yang untuk merenung, tapi malah berkembang untuk even wisata. Yang jelas, di malam 1 Suro, suasana kota-kota di Jawa pasti ramai, bahkan semalam suntuk, dan tidak berlaku tapa bisu.

Tapa bisu itu sendiri sebenarnya  dimaknai sebagai ritual mawas diri, berkaca pada diri atas apa yang dilakoninya selama setahun penuh, menghadapi tahun baru di esok paginya. Di sana juga sebagai ajang tirakatan.

Maka, selain ada tradisi cuci pusaka dan merenung, juga digunakan sebagian penganut kejawen untuk kungkum atau berendam di sungai besar, sendang atau sumber mata air tertentu.

Di sebagian  tempat, tradisi trakatan (tidak tidur semalam suntuk) dengan tuguran (perenungan diri sambil berdoa) dan dengan menonton pagelaran Wayang Kulit.

Di antara tradisi tersebut ada juga sebagian masyarakat yang menggunakan malam satu Suro sebagai saat yang tepat untuk melakukan ruwatan pada esok paginya, di Anjungan Yogyakarka TMII Jakarta, sangat lazim digelar ruwatan tersebut.

Salah satu kota yang merayakan 1 Suro dengan keramaian dan sekaligus renungan adalah Ponorogo. Di sana bahkan digelar even Grebeg Suro, dengan keramaian, misalnya Kirab Pusaka, Larungan di Telaga Ngebel, juga Festival Reyog Ponorogo. Semalam suntuk di malam Suro kota ini tidak tidur, karena sudah menjadi tradisi lek-lekan (begadang dengan jalan-jalan, atau tirakatan) sepanjang malam. (apt-pos)

Baca Juga:

Misteri Gua Surocolo Bantul

Nyi Roro Kidul Diyakini Bisa Dijumpai di 5 Tempat Ini