Mengenang Sosok Sang Polisi Jujur : Jenderal Hoegeng

kabarin.co, Jakarta – Polisi bersih, berintegritas, disiplin, jujur, sederhana dan antikorupsi. Begitulah kira-kira sejumlah testimoni dari kerabat-kerabat terdekat almarhum Jenderal Hoegeng Imam Santoso, mantan Kepala Kepolisian RI era Presiden Soekarno.

Hoegeng merupakan tokoh kepolisian era Orde Lama yang namanya masih wangi hingga hari ini, bertepatan Hari Ulang Tahun (HUT) Bhayangkara ke-74. Ia satu-satunya Jenderal Polisi yang kerap disanjung Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebagai polisi yang jujur.

Merujuk pada buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan yang ditulis oleh Suhartono pada 2013 lalu, tergambar bagaimana sosok Jenderal Polisi ini berdedikasi dalam menjalankan tugasnya dengan penuh kedisiplinan dan menolak ‘upeti’ baik di institusi kepolisian ataupun lembaga negara lain.

Mengenang Sosok Sang Polisi Jujur : Jenderal Hoegeng

Selain sempat menjabat sebagai Kapolri ke-5, Hoegeng juga sempat mengemban tugas dalam jabatan-jabatan sipil di sejumlah kementerian era Presiden Soekarno. Kedisiplinannya pun tergambar bukan hanya saat bertugas di Koprs Bhayangkara, tetapi juga di jabatan-jabatan sipil tersebut.

Hoegeng sempat menduduki sejumlah jabatan sipil seperti Kepala Jawatan Imigrasi (kini Direktorat Jenderal Imigrasi) pada 1960, lalu Menteri Iuran Negara pada 1965, dan terakhir sebagai Menteri Sekretaris Negara Kabinet tahun 1966.

Dalam buku tersebut, dikisahkan bahwa Hoegeng mengemban jabatan-jabatan sipil tersebut usai bertugas sebagai Kepala Bagian Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara di Medan.

“Saat diberitahu akan menjadi Kepala Direktorat Reserse dan Kriminal Kantor Kepolisian Provinsi Sumatera Utara, Hoegeng menyambutnya dengan antusias,” tulis Suhartono dalam bukunya.

Kala itu, Medan menjadi tantangan tersendiri bagi polisi yang ditempatkan berdinas di wilayah tersebut. Medan dikenal bukan wilayah enteng bagi polisi jujur dan tak mau kompromi. Sebelum mengemban bidang reserse itu, Hoegeng punya pengalaman bertugas di wilayah Jawa Timur sebagai Kepala Dinas Pengawasan Keamanan Negara (DPKN) atau kini dikenal sebagai bidang intelijen di kepolisian.

Dalam kisahnya, Hoegeng yang tiba di Medan untuk pertama kali dihadapkan dengan pengusaha setempat yang menyiapkan ‘upacara penyambutan’ terhadap kehadiran pejabat polisi baru di wilayah itu.

Hoegeng disuguhkan sebuah rumah beserta kendaraan untuk dirinya dan keluarga selama di Medan. Bahkan, panitia penyambutan telah menyiapkan sebuah hotel untuknya beristirahat. Namun, semua itu ditolak secara halus, termasuk sejumlah perabotan rumah tangga yang dikirimkan ke rumah dinasnya di Medan.

Usai ditarik kembali ke Jakarta pada 1960, karir Hoegeng sebagai polisi sempat tak tentu arah. Dia disebutkan akan menjadi Kadit Reskrim Komdak Metro Jakarta (nama lama Polda Metro Jaya), namun jabatan itu tak kunjung diperolehnya. Pasalnya, kala itu sedang terjadi perpecahan di tubuh kepolisian.

Namun, tak lama berselang, dia ditunjuk Soekarno dan Menteri Koordinator Keamanan / Panglima Angkatan Bersenjata, Jenderal AH Nasution menjabat sebagai Kepala Jawatan Imigrasi Indonesia pada 19 Januari 1961. Ketika itu, sosok Hoegeng dinilai cocok untuk tugas utama organisasi tersebut sehingga tak banyak diintervensi oleh pihak-pihak lain.

Semasa hidupnya, Jenderal Polisi juga dikenal sebagai pribadi yang sederhana meskipun menempati jabatan-jabatan strategis. Sebut saja misalnya, sebagai Menteri Iuran Negara yang sangat memungkinkan dirinya untuk memanfaatkan jabatannya itu bagi kepentingan pribadi.

“Meskipun Papi pernah menjadi menteri dan Kapolri, kami hidup dalam ekonomi yang pas-pasan. Bahkan adakalanya kekurangan,” kata Putra Hoegeng, Aditya Soetanto Hoegeng dalam buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan.

Sejak berhenti sebagai Kapolri hingga tahun 2001, uang pensiun Hoegeng hanya sekitar Rp10 ribu per bulan. Belum lagi, jumlah tersebut masih harus dipotong dengan urusan-urusan lain. Baru pada 2001, ada perubahan surat keputusan sehingga uang pensiun Hoegeng naik jadi Rp1,17 juta per bulan.

“Tapi setelah Papi meninggal pada 2004, Mami hanya menerima separuh karena Mami pensiunan janda Kapolri,” tambah dia lagi.

Kasus Penyelundup 3.000 Mobil

Kiprahnya sebagai orang nomor satu di Korps Bhayangkara itu memang harum sebagai bagian sejarah kepolisian di Indonesia. Dia yang menduduki jabatan setingkat menteri itu bahkan acapkali turun ke lapangan untuk mengatur lalu lintas apabila kebetulan terjadi kemacetan dan tak ada polisi yang mengatur di sana.

Beberapa diantaranya tergambar melalui film dokumenter berjudul ‘Wet Earth, Warm People Jakarta’ yang diproduksi oleh Michael Rubbo dan dipublikasikan melalui National Film Board of Canada. Film berdurasi sekitar 58 menit itu memperlihatkan bagaimana Jenderal Hoegeng yang juga fasih berbahasa Inggris ketika diwawancarai oleh wartawan asing itu.

Namun, bukan hanya menjalankan tugas kesehariannya, Hoegeng juga banyak menangani kasus-kasus besar yang diduga berkaitan dengan keluarga Cendana. Beberapa hal itu justru yang kemudian dinilai turut berperan dalam berakhirnya karir Hoegeng sebagai Kapolri kala itu.

Seperti dihimpun dari berbagai sumber, beberapa kasus besar itu seperti penanganan kasus pemerkosaan Sam Kuning di Yogyakarta yang melibatkan anak-anak pejabat, penembakan mahasiswa ITB Rene Conrad oleh mahasiswa Akademi Angkatan Bersenjata RI (AKABRI), lalu juga soal penyelundupan mobil mewah oleh pengusaha Robby Tjahjadi.

Sekitar tahun 1968, saat Hoegeng menjabat sebagai Kapolri, memang marak penyelundupan mobil-mobil mewah di wilayah Indonesia. Menurut Hoegeng dalam bukunya Hoegeng, Polisi Idaman dan Kenyataan, disebutkan bahwa ada sekitar 3.000 mobil mewah yang berhasil masuk tanpa membayar bea masuk.

Dari ribuan kendaraan itu, hanya ada ratusan yang berhasil diamankan oleh polisi. Beberapa di antaranya berhasil bebas lantaran banyak oknum-oknum aparatur yang diduga terlibat dalam kasus Robby Tjahjadi. Selain Bea dan Cukai, terdapat juga pejabat tinggi serta oknum dari unsur ABRI yang terlibat.

Kekecewaan Hoegeng semakin meluap ketika dipanggil oleh Presiden Soeharto kala itu di rumahnya di Jalan Cendana Nomor 8, Menteng. Tadinya, dia ingin melaporkan kasus penyelundupan mobil mewah tersebut yang salah satunya dilakukan oleh Robby dengan bantuan oknum pejabat. Namun, sesampainya di sana, ternyata Robby telah terlebih dahulu menghadap Presiden Soeharto.

“Setelah menunggu lama, karena ada tamu, Papi terkejut. Ternyata tamunya adalah Robby Tjahjadi. Papi langsung pulang dan tak mau datang meskipun ajudan meneleponnya. Papi beralasan giginya sakit, dan tak bisa ditahan lagi,” cerita putra Hoegeng dalam buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan.

Hoegeng pada akhirnya diberhentikan oleh Presiden Soeharto sebagai Kapolri pada 2 Oktober 1971. Dia sendiri ditawari oleh pemerintah untuk menjadi Duta Besar (Dubes) di Kerajaan Belgia, namun ditolak.

Pada saat itu, banyak yang menilai bahwa tawaran menjadi dubes adalah cara rezim Soeharto untuk membuat Hoegeng ke luar Indonesia. “Tugas apapun saya akan terima, asal jangan jadi dubes, Pak,” jawab Hoegeng kepada Soeharto dalam buku Hoegeng, Polisi Idaman dan Kenyataan.

Namun rupanya, kala itu Presiden Soeharto menegaskan bahwa sudah tidak ada jabatan lagi untuk Hoegeng di Indonesia. Hal itu yang kemudian menjadi cikal bakal Hoegeng berhenti jadi kapolri saat itu juga. Dia digantikan oleh Jenderal Pol Moh Hasan yang usianya jauh lebih tua daripada Hoegeng.

Usai selesai karirnya di kepolisian, Hoegeng yang dikenal juga menggemari seni tarik suara beberapa kali tampil mengisi acara musik The Hawaiian Seniors di TVRI. Kala itu, dia tampil bersama istrinya, Meri, dan sejumlah musisi lain. Dia pun kerap menghabiskan waktunya dengan melukis sebagaimana hobinya selama ini.

Seiring berjalannya waktu, Hoegeng bergabung dengan kelompok Petisi 50 pada 1980an. Kelompok ini merupakan insan-insan yang kerap mengkritisi pemerintahan rezim Soeharto, khususnya atas sejumlah masalah politik, ekonomi, dan keamanan.

Diketahui, kelompok ini beranggotakan sejumlah tokoh nasional besar, seperti Jenderal A.H. Nasution, Jenderal (Purn) M. Jasin, Azis Saleh, Ali Sadiki, Hoegeng, serta tokoh-tokoh lain.

Hanya saja, anggota kelompok ini terimbas oleh pemerintahan Soeharto yang kala itu dinilai represif. Mereka dimasukkan pemerintah dalam daftar hitam, sehingga sebagian anggota kelompok ini dicegah untuk berpergian ke luar negeri atau dikucilkan. Bukan hanya itu, mereka pun kerap diawasi oleh aparat intelijen.

Dari sisi lain, mereka yang memiliki hubungan darah dengan anggota Petisi 50 pun dipersulit kehidupannya. Beberapa usaha bisnis mereka sampai gulung tikar.

“Didit diminta membuang nama Hoegeng di belakang nama Didit agar izin usahanya bisa disetujui,” cerita putra Hoegeng, Aditya Soetanto.

Kini, Hoegeng telah tiada. Hanya kisah-kisah dan cerita keteladanannya dapat didengarkan oleh khalayak banyak di masa sekarang ini. Dia meninggal 14 Juli 2004 setelah menderita stroke sekian lama.

Namun keteladanannya tak lekang dimakan waktu hingga membuat seorang Gus Dur melontarkan pujian dalam guyonan, bahwa hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia, yakni patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng.

(cnn)