Munir, Korupsi dan Hak Asasi Manusia

Kriminal0 Views

kabarin.co – Tiga hari di bulan Desember (8, 9 dan 10) menjadi hari yang sakral bagi aktivis segala gerakan.  Munir Said Talib, lahir 8 Desember, dibunuh dengan cara diracun 10 tahun yang lalu (6/7 September 2004). Pembunuh sebenarnya tidak terungkap hingga kini. Tanggal 9 Desember diperingati sebagai Hari Anti Korupsi, seperti yang kita peringati sekarang ini. Korupsi yang dilakukan keluarga Cendana (rezim Soeharto dan keluarganya), tidak pernah diungkap tuntas hingga kini. Lalu 10 Desember diperingati sebagai Hari Hak Asasi Manusia (HAM), masih banyak kasus pelanggaran HAM masa lalu tidak terungkap sampai sekarang. Bahkan pelakunya masih berkeliaran dan menjadi “tokoh” politik yang “disegani” (atau ditakuti ya?).

megawati-jokowi-dan-sby

Tindakan pembunuhan dengan cara meracuni, adalah perbuatan tak beradab dan pengecut. Kejahatan seperti  itu biasa dilakukan oleh rezim-rezim penguasa yang takut kejahatan besarnya terbongkar oleh seorang tokoh yang cerdas. Boleh dikatakan kejahatan ini, adalah kejahatan yang klasik (baca kuno), tapi masih dilakukan hingga kini oleh para penguasa jahat dan busuk. Kejahatan pembunuhan dengan cara meracuni adalah teror, pelakunya harus digolongkan sebagai teroris. Ini adalah XO.C  (X-tra Ordinary Crime)-Kejahatan Luar Biasa. Itulah yang terjadi pada Almarhum Munir, aktivis yang memperjuangkan hak asasi manusia, dan dalam lap-topnya ada data-data kejahatan korupsi sebuah institusi, yang tak pernah berani dibongkar atau disentuh oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau institusi negara lainnya.

Entah sejak kapan mulai diperingati di Indonesia, sebagai Hari Anti Korupsi. Saat saya menjadi aktivis gerakan mahasiswa, dulu, hanya Hari Hak Asasi Manusia (HAM), 10 Desember yang diperingati. Di Jawa Barat, dulu  West Java Corruption Watch (WJCW), setelah itu ada PerMAK (Perhimpunan Masyarakat Anti Korupsi?), dan ada kelompok-kelompok lain di dalam masyarakat yang tidak tercatat atau tak saya ketahui, tapi bermanfaat bagi gerakan anti korupsi. Kelompok-kelompoktersebut di atas pernah membongkar kejahatan eksekutif di Provinsi Jawa Barat, yang bekerja sama dengan institusi legislatif. Beberapa petingginya ditahan dan diadili. Tentunya diharapkan aktivis gerakan (mahasiswa maupun masyarakat) kini juga berperan aktif mencari bukti-bukti kejahatan para penyelenggara negara, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif (lingkungan penegak hukum).  Namun, masih banyak pekerjaan rumah (PR) kejahatan korupsi yang belum terungkap tuntas hingga kini, baik di tingkat daerah maupun nasional.

Sepuluh (10) Desember diperingati sebagai Hari Hak Asasi Manusia. Pelanggaran HAM di masa lalu yang belum tuntas, bahkan juga terjadi pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia hingga kini. Penyiksaan saat memeriksa terduga pelaku kejahatan, penahanan secara sewenang-wenang orang yang bersuara lantang (kritis) atau pembunuhan tanpa peradilan, masih terus terjadi. Teman-teman bisa membaca di dalam media massa (cetak maupun multimedia), yang kini tak lagi bisa dihambat, karena kemajuan teknologi dan keberanian para pengabarnya (jurnalis ataupun jurnalis warga/citizen journalists).

Kejahatan Sistemik

Kejahatan yang terjadi pada Munir, Korupsi dan pelanggaran Hak Asasi Manusia, itu tidak terjadi secara tunggal, tetapi sistemik. Sistem bekerja saling melindungi para pelaku kejahatan tersebut. Coba bayangkan, Munir diracun melibatkan awak pesawat milik negara (Garuda) mulai dari crew sampai Direktur Utamanya, termasuk Pollycarpus yang dibebaskan dengan PB (Pembebasan Bersyarat) oleh MenkumHAM era Presiden SBY, tercium bau Badan Intelejen Negara (BIN), tentunya berkaitan dengan institusi militer atau rezim yang berkuasa di masa itu. Nah, kalau bukan by system, kejahatan peracunan Munir ini sudah terungkap, tapi hingga kini masih gelap atau samar-samar. Tapi saya yakin barang busuk yang disimpan akan terungkap kelak. Siapa pelaku sesungguhnya, sistem mana yang menghambat hingga kejahatan itu sulit terungkap segera?

Begitu juga korupsi, kejahatan ini terjadi secara sistemik, sehingga beban yang seharusnya ditanggung oleh negara (berdasarkan konstitusi/UUD) dibebankan kepada rakyat. Misalnya, akibat tidak becusnya negara mengurus sumber daya alam terutama minyak dan gas, yang  berkaitan dengan mafia atau kartel-kartel busuk, rakyat dibebankan dengan harga bahan bakar minyak (BBM) yang mahal. Rakyat “difitnah” dengan alasan subsidi, padahal dalam perhitungan seorang ahli minyak, saat ini justru rakyatlah yang telah mensubsidi pemerintah. Sementara pemerintah baik yang sudah pergi, maupun yang baru berkuasa, menari-nari di atas harga-harga dan ongkos yang mencekik leher rakyat.

korupsi-indonesia

Para penguasa yang baru mendapat dana segar, padahal belum banyak bekerja atau melayani rakyat setelah (belum sebulan) mendapat kedudukannya. Selain itu, mafia atau kartel-kartel minyak terus diuntungkan, baik mafia dalam negeri maupun perusahaan-perusahaan asing yang menikmati keuntungan, akibat harga yang ditetapkan pemerintah mendekati harga minyak yang sudah distok, melimpah. Bahkan 800 ribu SPBU asing yang sudah memperoleh izin, tinggal dibuka di seluruh nusantara, saat harga yang mereka (kapitalis asing) sebut “harga keekonomian” sudah tercapai. Kini saja, Pertamina sudah kewalahan memasok bensin jenis pertamax (oktan 92).

Pelaku dalam kejahatan korupsi, bukan saja ingin hidup enak, memperkaya diri atau serakah, tapi ikut menciptakan sistem. Sehingga kejahatan yang dilakukan dalam sistem itu selalu memberi keuntungan bagi diri, keluarga, kelompok, partai politik dan di dalam birokrasinya. Sementara rakyat ditelantarkan dalam kemelaratan, dan publik tidak terlayani dengan baik, seperti amanat saat ingin duduk pada kekuasaan dan sumpah jabatannya.

Korupsi, tak bisa dipisahkan dari  kejahatan terhadap kemanusiaan. Karena akibat korupsi, rakyat dimiskinkan, dan segala hak asasi manusianya terabaikan oleh negara. Negara dan birokrasinya menjadi teror bagi warga yang sudah mendaulatnya.

Dalam peraturan perundang-undang di Indonesia, korupsi digolongkan sebagai extra ordinary crimes (kejahatan yang luar biasa). Masuk bersamanya: kejahatan terorisme, narkotik dan obat-obatan (narkoba), pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat, perdagangan anak dan perempuan (trafficking) dan lain sebagainya. Semua kejahatan yang disebut itu termasuk dalam kejahatan lintas negara (transnational cimes). Korupsi tak bakal terjadi tanpa campur tangan, negara lain atau aktor lain bukan negara (non state actors).

Semua pihak seperti tak berdaya untuk mengatasi korupsi. Apa akan berhasil menangani korupsi? Saya masih yakin bisa meminimalisir korupsi asalkan kita bisa bekerja bersama-sama.  Mencegah  harus datang dari diri kita sendiri, lingkungan kita dan yang lebih luas lagi dengan cara mengorganisir dalam sebuah gerakan bersama. Menurut seorang bijak, kejahatan yang terorganisir bisa mengalahkan kebaikan yang tak tak teroganisir. Lalu apakah kita mau dikalahkan kejahatan yang terorganisir? Sekarang inilah yang terjadi di Indonesia. Mafia dan kartel menguasai semua bidang. Lalu kita (rakyat) dibuat tak berdaya hanya menerima keadaan.  Tentu kita tidak mau, kan?

Karena korupsi adalah kejahatan sistemik dan transnasional, seperti disebut di atas, maka kita sebaiknya mengetahui juga berdasarkan teori yang sudah ada. Secara sosiologis pakar anti korupsi melayu.   Syed Hussein Alatas (1999), mencirikan korupsi di Indonesia sebagai berikut :

–Unsur-unsur pokok dalam tindakan korupsi : a) subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan atau keuntungan pribadi   b) unsur kerahasiaan   c) pelanggaran terhadap norma-norma umum.

–Tipologi korupsi ; a) suap (bribery)      b) pemerasan (exortion)     c) nepotisme.

–Korupsi dalam suatu masyarakat/bangsa/negara bisa berkembang dari stadium pertama ke stadium kedua ke stadium ketiga.

–Suatu masyarakat/bangsa/negara (yang sudah memasuki korupsi stadium ketiga) masih dapat diselamatkan (dari kanker korupsi) apabila masih ada segelintir  orang yang punya integritas tinggi yang dapat memimpin kampanye anti korupsi di masyarakat/bangsa/negara itu.

Berdasarkan teori Alatas tadi, menurut Georde Junus Aditjondro (2002),  ada empat perangkat kebijaksanaan (politis) yang harus diambil :

  1. Pembatasan sumbangan untuk partai-partai politik.
  2. Pencegahan pembelian suara (vote buying) dalam pemilihan umum yang diikuti oleh partai-partai politik itu.
  3. Transparansi kekayaan semua pejabat publik (eksekutif, legislative, maupun yudikatif).
  4. Pelepasan semua jabatan yang berkaitan dengan dunia usaha, dibarengi dengan pembekuan saham-saham yang dimiliki oleh semua pejabat publik.

Nah, apa yang bisa kita lakukan? Jadilah investigator. Siapapun bisa melakukannya, jika dalam proses penegakan keadilan dalam sebuah masyarakat yang rusak pengadilannya (termasuk penegak hukumnya : polisi, jaksa dan hakim), timbul yang dinamakan street justice. Maka, dalam dunia investigasi juga bisa terjadi street investigator. Aditjondro (2002) menyebut 10 langkah yang bisa diambil oleh investigator :

  1. Menggali selengkap mungkin silsilah keluarga para pemangku jabatan publik serta sahabat-sahabat lama semenjak masa muda mereka ;
  2. Menggali sebanyak mungkin nama perusahaan dan yayasan yang berkaitan dengan pejabat-pejabat publik melalui iklan duka cita/sukacita yang dipasang di berbagai media massa (terutama) cetak.
  3. Memanfaatkan buku telepon (yellow/white pages) dari berbagai kota di dalam negeri untuk mengidentifikasi jaringan serta pasang surutnya perusahaan-perusahaan dan konglomerat yang sedang diteliti.
  4. Memanfaatkan internet, dimana berbagai buku telepon, kantor registrasi perusahaan dan kamar dagang dan industri di luar negeri dapat diakses untuk mendapatkan alamat, nama, serta profil perusahaan yang sedang diteliti.
  5. Mengidentifikasi para broker, proxy dan “kasir” yang digunakan oleh para kapitalis birokrat itu untuk mengakumulasi kapital serta mengelola bisnis mereka, sambil melindungi para kapitalis birokrat dari sorotan public dan hukum ;
  6. Mengumpulkan nama para pemain maupun pengurus cabang olahraga, yang sering dijadikan tameng dari berbagai sindikat bisnis maupun sindikat preman politik ;
  7. Mengusahakan dan mempelajari akte notaris dan tambahan berita negara dari berbagai yayasan dan perusahaan yang diasosiasikan dengan sang pejabat, untuk dapat memetakan cabang-cabang gurita atau oligarkinya.
  8. “Menyuntikkan” nama-nama anggota keluarga besar  para kapitalis birokrat serta nama para broker, proxy dan “kasir” mereka, berikut nama perusahaan yayasan serta lembaga-lembaga penelitian atau think-tank mereka ke data base perusahaan-perusahaan konsultan bisnis.
  9. Dengan menggunakan hasil (a s/d h) sebagai base line memperluas penyelidikan ke mancanegara terhadap asset para pemangku jabatan public, berikut keluarga serta sahabat mereka.
  10. Memanfaatkan whistleblower dengan berbagai jalan, juga dengan mempublikasikan hasil-hasil awal investigasi yang telah dilakukan untuk “memancing” orang dalam  yang lebih tahu jaringan korupsi itu dengan menulis di sosial media (twitter, facebook, blog dll), surat pembaca di media cetak, komentar di radio, televisi dan multi media lainnya atau menghubungi para jurnalis, pegiat anti korupsi atau aktivis gerakan mahasiswa, jurnalis warga dan lain sebagainya.

Jika kita mau rela mengorbankan diri, para penjahat pengecut  seperti pembunuh Munir, para koruptor dan pelangggar hak asasi manusia akan ketar-ketir mau berbuat. Street journalists, street investigator dan street justice akan bergerak dengan sendirinya jika aparat penegak hukum dan pemerintah yang sudah diberi kepercayaan oleh rakyat, impoten atau malah menggerogoti negeri ini. Ayo kita berbuat untuk negeri dan bangsa ini, agar kita bisa berdiri tegak dengan bangga menjadi bangsa yang beradab dan berkeadilan. (***)

Ahmad Taufik, penulis adalah jurnalis, dosen dan advokat.

ahmad-taufik