OBOR RAKYAT, Kejahatan Pemilu atau Pengekangan Kebebasan Berekspresi? Bag 2

Opini17 Views

kabarin.co – PEMBAHASAN  : Kejahatan Pemilu, Media Massa dan Pengekangan Kebebasan Berekspresi. Obor Rakyat atau Tabloid Obor Rakyat adalah barang cetakan. Terbit sesuai kebutuhan, yaitu pemilihan umum atau pemilihan presiden 2014 lalu. Kalau ini dipandang sebagai  pers/press atau barang cetakan untuk  kampanye hitam (black campaign), harusnya persoalan ini sudah berakhir dengan selesainya pemilihan (umum) presiden. Seharusnya persoalan ini dibawa ke Gakkumdu (penegak hukum terpadu), yaitu dilaporkan tiga hari, setelah ditemukannya barang cetakan kampanye hitam tersebut. Apabila, Gakkumdu menyatakan ini adalah kejahatan pemilu, harus diproses saat itu. Jika tidak, akan berakhir dan tidak bisa lagi dikatakan sebagai kejahatan pemilu, jika tidak dilaporkan ke Gakkumdu dalam waktu tiga hari tersebut.

obor-rakyat-pemred

Lalu kenapa, kasus Tabloid Obor Rakyat, tidak menjadi kejahatan kampanye hitam dalam pemilu? Ini harus dipertanyakan oleh Tim Kampanye partai pengusung yang merasa dirugikan. Atau sudah dilaporkan, tapi tidak ditindaklanjuti oleh Gakkumdu itu? (saya tidak mengikuti itu). Atau karena sudah merasa yakin akan menang, tidak perlu lagi dilaporkan sebagai kejahatan pemilu?

Selanjutnya, kenapa sekarang dibawa ke pengadilan, padahal Oktober (2016) ini memasuki masa dua tahun pemerintahan Presiden Jokowi-JK? Siapa yang dirugikan? Jika itu yang dirugikan adalah Presiden, seharusnya pasal-pasal yang menyeret kedua terdakwa ini adalah yang menyangkut itu. Sayangnya pasal mengenai itu, yang dikenal sebagai Hatzaai Artikelen, pasal 134 dan pasal 154 KUHP sudah dihapuskan berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Lalu digunakanlah pasal 311 dan 310. Dalam pasal ini, seharusnya,. Seseorang yang merasa kehormatan atau nama baiknya diserang  atau difitnah itulah yang melaporkannya. Biasanya, saksi pelapor (atau korban) dihadirkan dalam persidangan ini untuk didengar keterangannya. Kalau tidak dihadirkan, saya ragu dengan dakwaan jaksa ini, benar-benar atau cuma rekayasa para penyidik dan penuntut umum saja?

Atau ini hanya taktik penyidik (polisi) atau penuntut umum (jaksa), yang pimpinan tertingginya ingin menjilat atasannya, Presiden. Kalau memang demikian ini Skandal Politik setidak-setidaknya kasus ini bernuansa politik atau kental dengan politik.  Tak salah jika seorang wartawan senior, Bersihar Lubis, menulis di harian Koran Tempo edisi 17 Maret 2007 dengan judul “Kisah Interogator yang Dungu.” Kasus ini sampai masuk ke pengadilan tak lepas dari itu, interogator yang dungu atau interogator yang punya kepentingan politik agar kedudukannya”aman” atau setidak-tidaknya mendapat promosi.

Saya yakin jika ada “Interogator Dungu” tentu saja majelis hakim disini tidak mau ikut-ikutan  digiring oleh oleh-orang dungu seperti itu. Korps kehakiman adalah korps terhormat yang memutuskan suatu perkara atas nama Tuhan. Peradilan kasus Tabloid Obor Rakyat ini, menurut saya menghabiskan saja biaya negara untuk hal yang tidak perlu, masih banyak keperluan lain yang lebih penting dan mendesak. Siapa yang punya kepentingan disini?

Kembali ke soal pasal 310 dan 311 KUHP berkaitan dengan pelanggaran pidana penghinaan dan atau pencemaran nama baik, saya teringat makalah Nono Anwar Makarim, saat menjadi saksi dalam uji materi pasal 310 dan 311 KUHP di Mahkamah Agung pada 24 Mei 2008. Menurut Nono, kriminalisasi penghinaan/pencemaran nama mulanya dimaksud guna menjaga ketertiban umum. Pada abad ke-13 orang yang merasa dihina, menganggap dirinya wajib menantang sipenghina untuk berduel. Di Inggris pada 1275 jumlah korban dan kegaduhan yang ditimbulkan oleh penghinaan sedemikian rupa meningkat, sehingga dibuat ketentuan tentang itu yang disebut Scandalum Magnatum dalam Statute of Westminster.

tempo-prahara-obor-rakyat

Scandalum sebut saja begitu, isinya, “…sejak sekarang tidak boleh lagi orang secara lancang mengutarakan atau menerbitkan berita dan cerita bohong yang dapat menimbulkan konflik atau kemungkinan konflik atau fitnah antara raja dan rakyatnya atau orang-orang besar di dalam negeri ini.” Aturan itu bertujuan menciptakan proses pemulihan nama baik secara damai. Terlalu banyak kegaduhan bersenjata dan korban jiwa (saat itu) yang timbul akibat rasa tersinggung seorang oleh apa yang dianggapnya penghinaan oleh orang lain. Desas-desus pada masa itu gampang sekali mengakibatkan adu anggar dan pistol di depan umum. Karena itu seharusnya disini yang berhadap-hadapan adalah Jokowi dengan Setiyardiatau dengan Darmawan (satu lawan satu). Itu kalau terjadi di abad ke-13 di Inggris. Tapi inikan bukan abad ke-13 dan juga bukan Inggris. Kecuali kalau jaksa merasa ini adalah abad ke-13 dan ini Inggris?

Pasal 310 dan 311 ini adalah pasal-pasal yang ketinggalan zaman. Sudah mulai ditinggalkan di negara-negara lain yang maju dan ingin maju. Timor Leste atau Timor Lorosae atau Timor Timur dulu saat masih dalam pendudukan (masuk wilayah ) Indonesia, setelah merdeka dari Indonesia pada 1999. Pada 7 September 2000 menetapkan pasal 310 sampai pasal 321 tentang Penghinaan dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana sebagai bukan (lagi) tindak pidana. Di negeri itu sampai sekarang masih berlaku perundang-undangan Indonesia, termasuk KUHP Indonesia (Rahman, Hadi, 2009. Penegak Hukum Melek Pers. LBH Pers : Jakarta, hal. x)

Di Ethiopia di Afrika Utara, sedang memperbarui perundang-undangan tentang pers dengan mengubah kasus pers dari perkara pidana menjadi perkara perdata. Di berbagai negara lain undang-ungan seperti ini direncanakan hanya akan dikenakan sanksi denda yang tidak berat. “denda yang lebih ringan akan mendorong kebebasan berekspresi.”

Bahkan di Amerika Latin, putusan pengadilan berupa denda dalam perkara pidana seperti ini oleh Mahkamah Hak Asasi Manusia Antar Amerika (Inter-American Court of Human Rights) . Mahkamah itu pada 2 Juli 2004 membatalkan vonis perkara pencemaran nama baik, dengan sanksi denda, yang dijatuhkan kepada seorang wartawan oleh Pengadilan Pidana di Kosta Rika. Vonis itu dianggap melanggar Konvensi Hak Asasi Manusia Amerika. Mahkamah HAM itu, selain membatalkan vonis denda itu juga memerintahkan Pemerintah Kosta Rika  agar memberikan kompensasi kepada wartawan yang menjadi terhukum dalam perkara tersebut , senilai US $ 20.000 sebagai ganti rugi dan US $ untuk biaya pengacara. (Rahman, 2009. hal.xi)

Jadi jelas kasus Tabloid Obor Rakyat ini  tidak lain dan tidak bukan adalah upaya para penyidik dan penuntut umum untuk mengekang kebebasan berekspresi.  Wong, pemilihan presidennya sudah berlalu dengan terpilihnya Joko Widodo (Jokowi) menjadi Presiden, dan tidak ada laporan ke Gakkumdu mengenai kejahatan pemilu (black campaign).  Marilah kita simak makalah di bawah ini :

Ifdhal Kasim, dulu Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KomNas HAM), kini menjadi staf khusus di istana Presiden (Jokowi), menulis makalah berjudul “ Kebebasan Berekspresi, Pembatasan-Pembatasannya dan Penghapusan Pemenjaraan (MK, 23 Juli 2008).

“Kebebasan berekspresi, merupakan salah satu hak asasi manusia yang sangat strategis dalam menopang jalan dan bekerjanya demokrasi. Sulit membayangkan sistem demokrasi bisa bekerja tanpa adanya kebebasan menyatakan pendapat, sikap dan berekspresi.

UUD 1945, Amandemen ke-II, menjamin hak tersebut pasal 28 E (ayat 2) menyatakan, “setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Pada ayat 3 ditegaskan bahwa, ‘setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.” Jaminan ini dielaborasi lebih jauh lagi dalam UU N0.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pada pasal 23 ayat (2), disebut, bahwa “ setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan  dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan atau tulisan melalui media cetak, maupun media elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban,kepentingan umum dan keutuhan bangsa.”

Kebebasan berekspresi juga mendapat pengakuan secara universal dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) dan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights).

Pasal 19 Deklarasi menyatakan,” setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat ; hak ini termasuk kebebasan untuk berpegang teguh pada pendapat tanpa ada intervensi, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi atau ide melalui media, tanpa memandang batas-batas negara.”

Pasal 19 (ayat 2) Kovenan, menyatakan, “setuap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat ; hak ini termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi atau pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan , baik secara lisa, tertulis atau bentuk cetakan, karya seni, atau media lain sesuai dengan pilihannya.” (LBH Pers,  2009. Menggugat Pasal-Pasal Pencemaran Nama Baik. Jakarta, hal 119-120)

Tabloid Obor Rakyat, sebagai karya media saat pemilu, dari segi isinya, adalah memberikan informasi kepada rakyat, tentang calon presiden yang akan memimpin negara ini. Ini informasi penting yang perlu diketahui umum, disinilah letak adanya kepentingan umum dalam penerbitan Tabloid Obor Rakyat. Media ini yang kebanyakan bersumber dari media elektronik atau media sosial memindahkan dalam bentuk cetakan (media cetak) agar rakyat yang sebagian besar masih tidak terjangkau elektronik bisa mengetahui siapa sang calon presiden tersebut. Tak salah jika media ini di kirim ke daerah-daerah terutama ke pesantren-pesantren, yang kemungkinan besar belum terjangkau atau dilarang untuk mengakses media elektronik (media sosial/internet).

Jadi dari segi isi, media ini menunjukkan keterusterangan atau ketelanjangan, punya misi dakwah  “katakan kebenaran walaupun itu pahit”  – Qullil Haq walaw kaana murro”. Bahwa kalau kita (rakyat) memilih pemimpin, janganlah seperti membeli kucing dalam karung. Menerima begitu saja apa yang ditetapkan partai politik, tanpa mengetahui dia berasal dan kemudian ujug-ujug dicalonkan sebagai presiden yang akan memimpin 250 juta rakyat Indonesia. Dimana bangsa ini akan dibawa dan diarahkan oleh orang seperti ini.

Seperti, saksi ahli katakan di atas, fakta atas tulisan ini menjadi kenyataan saat ini. Lihat saja, foto-foto dalam kasus penggusuran di Bukit Duri beberapa pekan lalu.

Dari segi bentuk Tabloid Obor Rakyat ini adalah barang cetakan (drukpress). Ini adalah Media (cetak) alternatif atau underground media atau media bawah tanah. Karena sifatnya ini, maka alamat disamarkan atau tak bisa dijangkau secara mudah.

Soal alamat yang disamarkan, alamatnya ada tapi kantor media tersebut tidak berada disana, atau pemilik rumah tidak mau mengaku karena ketakutannya. Saya tak tahu pasti. Tapi soal alamat samar atau alamat fiktif (katakan saja begitu), mari kita lihat UU yang pernah ada.

Tahun 1856, terbit peraturan pertama mengenai pers di zaman Hindia Belanda, Reglement op de Drukwerken in Nederlandsch-Indie, lebih populer disebut Drukpers-reglement (KB 8 April 1856 Ind.Stb.no.74). Lalu terjadi perubahan pada 1906 (KB 19 Maret 1906, Ind.Stb.no.270). Dalam kedua ketentuan itu disebutkan ketentuan, bahwa pada karya cetak harus dicantumkan nama dan tempat tinggal si pencetak dan penerbitnya. Pelanggaran  terhadap ketentuan itu akan di denda antara f10-f100. Nah, di zaman kolonial Belanda saja pelanggaran alamat palsu atau tanpa alamat dan nama penerbit dan pencetak hanya di denda. Herannya, malah kini di zaman Indonesia merdeka, orang mau dipidana. Aneh. (Abdurachman Surjomihardjo, 1980,Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia. Jakarta: Deppen RI-Leknas_LIPI, hal.145-146).

UU di atas adalah dasar dari UU tentang pers di Indonesia, atau setidak-tidaknya peraturan tersebut yang mendasari dan mengilhami UU Pers di negeri ini mulai dari UU No.11 tahun 1966, tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Pers sampai UU No.40 tahun 1999 Tentang Pers, yang masih berlaku saat ini.

Siapa Setiyardi? Saat saya menjadi Koordinator Reportase untuk Majalah TEMPO yang terbit kembali sejak Oktober 1998, kedua orang ini adalah termasuk dari 25 orang jurnalis/reporter yang di bawah kordinasi saya. Saya paham benar kemampuan mereka ini, karena saya atasan langsung (dulu) yang memberi nilai mereka. Keduanya termasuk reporter yang  bagus. Setiyardi kuat di bidang reportase investigasi, Darmawan kuat di lobi dan lapangan. Karena prestasinya Setiyardi pernah menjadi kepala biro TEMPO di Jawa Barat (Bandung).

Setelah tak lagi bekerja di TEMPO, selain memiliki perusahaan bidang media dan komunikasi, Setiyardi lalu bekerja untuk staf khusus pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Binagraha. Sedangkan Darmawan bekerja sebagai redaktur di Inilah Grup. (bagian kedua dari 3 tulisan). (indonesiapolicy.com)

Baca Juga:

OBOR RAKYAT, Tabloid Peramal Bag 1

OBOR RAKYAT, Jokowi Seharusnya Berterima Kasih Bag 3 (habis)