Pemerintah Tak Bayar Utang Minyak Goreng Nunggak Sampai Rp 344 Miliar

Berita11 Views

Kabarin.co – Kementerian Perdagangan (Kemendag) akhirnya merespons keluhan para pengusaha minyak goreng melalui Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo). Pengusaha menagih penggantian selisih harga program minyak goreng satu harga pada 2022 lalu.
Besaran dana yang seharusnya dibayarkan ke pengusaha sebesar Rp 344 miliar.

1. Kemendag Tunggu Hasil dari Kejagung
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Isy Karim mengatakan saat ini pihaknya menunggu proses verifikasi dari Kejaksaan Agung terkait pencairan selisih harga program minyak goreng satu harga pada 2022 tersebut. Hal ini dilakukan dalam rangka untuk meminta pendapat hukum.

“Kan ini sekarang masih proses, jadi kita tinggal menunggu nanti hasil dari pendapat hukum dari kejaksaan agung. Begitu sudah keluar pendapat hukumnya, apakah nanti dibayar atau tidak nanti keputusan setelah ada pendapat hukum dari Kejaksaan Agung,” jelasnya, saat ditemui di Kementerian Perdagangan, Jumat (14/4/2023).

Isy menjelaskan mengapa saat ini Kemendag harus mendapatkan pendapat atau pemeriksaan hukum dari Kejaksaan Agung. Ia bilang ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa kebijakan itu tidak lagi dibayarkan karena aturan yang mengatur satu harga itu telah dicabut.

Adapun aturan yang mengatur minyak goreng satu harga adalah Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 3 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan Untuk Kebutuhan Masyarakat Dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.

Aturan itu saat ini statusnya memang telah dicabut kemudian diganti dengan Permendag Nomor 6 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Sawit.

“Permendagnya waktu itu sudah dicabut. Jadi ada beberapa pendapat yang berbeda. Ada yang berpendapat bahwa ini kan Permendagnya sudah dicabut berarti seharusnya tidak lagi dibayarkan, ada silang pendapat itu sehingga diputuskanlah nanti minta pendapat hukum dari Kejagung,” ungkapnya.

2. Minta Pengusaha Jangan Mogok Jual Migor
Isy juga merespon soal Aprindo yang berencana berhenti menjual minyak goreng di beberapa wilayah. Ia mengatakan akan menghubungi Ketua Umum Aprindo, Roy Mandey agar rencana itu tidak dilakukan.

Ia khawatir jika itu dilakukan akan menimbulkan masalah baru berkaitan dengan pengadaan minyak goreng.

“Nanti kita akan koordinasi lagi dengan pak Roy, siang ini akan saya telepon. Ya nanti kita koordinasikan lah, intinya jangan sampai kejadian seperti itu. Kan ini akan menimbulkan masalah baru,” kata Isy saat ditemui Kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Jumat (14/3/2023).

Isy menegaskan pihak Kemendag saat ini tengah berhati-hati dalam memeriksa penggantian selisih harga tersebut. Makanya saat ini pihaknya tengah meminta pendapat hukum dari Kejaksaan Agung untuk memeriksa pencairan dana tersebut.

“Saya kira ini kita sama-sama, kan ini menyangkut uang negara. Jadi saya kira, prinsip kehati-hatian itu yang harus kita pegang,” tambahnya.

3. Duduk Perkara Utang Pemerintah Rp 344 M ke Peritel
Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menyatakan utang pemerintah untuk pembayaran selisih harga minyak goreng alias rafaksi dalam program satu harga pada 2022 belum dibayar. Padahal program itu sudah bergulir sejak Januari 2022.

Ketua Umum Aprindo Roy Nicholas Mandey mengatakan total utang yang harus dibayar pemerintah ke pengusaha sebesar Rp 344 miliar. Rafaksi itu seharusnya dibayar 17 hari setelah program itu dilakukan, sialnya sudah setahun lebih rafaksi tak kunjung dibayarkan.

Dia menjelaskan program minyak satu harga sendiri dilakukan dalam rangka kepatuhan kalangan usaha pada Permendag nomor 3 tahun 2022. Kala itu semua pengusaha diminta menjual minyak goreng seharga Rp 14.000 per liter, sementara itu harga minyak goreng di pasaran kala itu berkisar di Rp 17.000-20.000 per liter. Nah selisih harga atau rafaksi itu dalam Permendag 3 disebut akan dibayarkan pemerintah.

Nah masalah muncul ketika Permendag 3 digantikan dengan Permendag 6 tahun 2022. Beleid baru itu membatalkan aturan lama soal rafaksi yang ditanggung pemerintah. Padahal, menurut Roy, seharusnya utang pemerintah kepada pengusaha tetap harus dibayarkan.

Aprindo heran mengapa utang rafaksi yang dibayar pemerintah tak juga dibayarkan. Apalagi, uang rafaksi itu tidak dibiayai oleh APBN, melainkan uang pungutan ekspor CPO dari eksportir kelapa sawit yang ada di BPDPKS.(pp)