Karya Erotis Enny Arrow, Memorabilia Serpihan Pop Culture Masa Lalu Indonesia

KabarinAja, Metro22 Views

kabarin.co – Namanya melegenda. Ketika zaman terus bergulir, kepopulerannya surut. Buku-bukunya menjadi koleksi orang-orang yang menjadikannya sebagai memorabilia: untuk mengenang kegagahan usia muda maupun pusaka yang barangkali dinilai tak ada duanya hingga saat ini.

Karya Enny Arrow memang fenomenal bagi generasi warga Jakarta yang mengalami kehidupan kota ini pada medio 1970 sampai 1990. Pasar Senen disebut sebagai ‘ibu kota’ kelahiran karya Enny Arrow.

Dari sinilah karya stensilan itu konon diproduksi dan melanglang buana dari tangan ke tangan, dari anak baru gede ‘putih-biru’ hingga dewasa.

Enny Arrow dikisahkan atau, karena kemisteriusan sosoknya bisa kita sebut, digosipkan menentang karya-karya sastra mapan yang berpihak kepada pemodal. Itu sebabnya dikatakan hingga kematiannya pada 1995, ia menolak karya-karyanya dijual di toko buku besar.

Namun, belum tentu pusaka ‘kejayaan anak muda’ sekitar 30 sampai 40 tahun lalu itu masih ada yang tersisa di pedagang buku kecil di Pasar Senen, Jakarta Pusat.

Disadur dari kumparan.com yang menuliskan bermodal keberuntungan, mencoba mencari karya Enny Arrow di kompleks ‘real estate’ lapak buku tersebut.

Deru suara knalpot MetroMini yang berbaris di terminal menyambut kedatangan kami di deretan toko buku, lengkap dengan bau asap buangan bahan bakar fosil yang ditentang para aktivis ‘hijau’. Orang-orang berjalan ke sana kemari, berdiri di depan deretan toko buku.

Interaksi sosial yang lumrah terjadi antara penjual dan pembeli buku, terdengar seperti suara dari tape yang diulang-ulang. Di bawah atap terpal dan asbes, yang disusun sekenanya melindungi buku-buku dan orang-orang dari panas matahari yang melambung di atas ubun-ubun, geliat pasar itu hidup.

“Boleh Bang, cari buku apa Bang?” ujar beberapa pedagang yang menunggu lapaknya saat kami berjalan melaluinya.

Kalau kami tidak memerhatikan wajah pedagang yang menawarkan, barangkali kami sulit mengingat wajahnya. Sebab struktur kalimat tersebut menjadi ‘milik bersama’ para pedagang.

Ujaran tersebut bisa seketika menjadi anonim: milik semua pedagang tetapi sekaligus bukan milik seorangpun. “Enny Arrow ada, Pak?” kata kami menjawab saat berhenti di lapaknya yang penuh dengan buku yang ditumpuk dan dibariskan.

“Wah, enggak ada itu. Udah lama banget enggak ada,” balas laki-laki berbaju hijau itu.

“Itu dulu kami baca waktu sekolah. Mau laki-laki, mau perempuan, baca sembunyi-sembunyi di sekolah. Di pojokan ruangan,” sahut pedagang lain bertubuh kurus yang sedang berdiri di dekat kami. Usianya sekitar 50-an. Ia malah menawarkan kepada kami buku-buku karya Fredy S.

Enny Arrow dan Fredy S. memang kerap dimasukkan ke dalam kategori yang sama, baik secara penggalan waktu kepopuleran karyanya, maupun secara genre.
Ah, ingatan memang artefak tiada duanya. Pedagang itu mengajak kami membedah ingatan tentang Fredy S.

Seperti halnya Enny Arrow, nama Fredy S. juga dikenal luas pada kurun 1980-an dan 1990-an. Dia penulis produktif dengan ratusan karya. Di toko buku itu saja, kami menemukan setidaknya 10 buku buah karya Fredy S.

Historia, situs majalah sejarah di Indonesia, mencatat Fredy S. merupakan nama pena dari Eko Siswanto. Ia lahir di Semarang pada 5 Mei 1954. Sebelum menjadi penulis novel populer, Fredy S. sempat menjadi komikus, pelukis poster film, dan beberapa cerita silat.

Sumber itu bahkan menyebut karya-karya Fredy S. bukan cuma diterbitkan di Indonesia, tetapi sampai ke tanah seberang, yakni Malaysia dan Singapura.
Penulis yang bisa memproduksi dua hingga tiga judul novel dalam sebulan itu menyebut dirinya sebagai “sastrawan kaki lima”.

Novel pertamanya terbit pada 1978 berjudul ‘Senyummu Adalah Tangisku’. Kisah roman tentang seorang anak muda dari keluarga pengusaha tersebut bahkan dijadikan film layar lebar dua tahun kemudian.

Namun identitas Fredy S. tidak pernah diketahui. Nah, mirip dengan Enny Arrow yang juga misterius, bukan?

Pegiat literasi Muhidin M. Dahlan, seperti ditulis dalam situs Radiobuku, menyebut Fredy S. sebagai salah satu penulis misterius di Indonesia.

“Saya memasukkan Fredy S. dalam deretan manusia misterius karena nyaris semua yang menggandrungi roman yang ditulisnya, tak pernah tahu siapa dan di mana penulis ini berada,” tulis Muhidin.

Kemisteriusan Fredy S. bukan satu-satunya hal yang membuat dia kerap dimasukkan ke dalam kotak kategori yang sama dengan Enny Arrow. Melainkan juga karena cerita-cerita dalam novelnya mengandung unsur erotik, sehingga tak sedikit yang memandangnya sebagai roman picisan.

“Ketika roman seks mengalami orgasme yang kemudian ledakan buku seks itu didulang-ulang antara tahun 2002-2004, nama Fredy S. adalah ikon. Ia penulis roman yang prolifik, lancar ceritanya, memikat plotnya, dan tentu saja merangsang insting purba pembacanya. Laki-perempuan. Apalagi dilengkapi dengan sosoknya yang misterius. Sempurna sudah,” jelas Muhidin.

Pengaruh karya Fredy S. bahkan dicatat Muhidin dalam buku yang dikerjakan bersama teman-temannya, ‘Seratus Buku Sastra Indonesia yang Patut Dibaca Sebelum Dikuburkan’. Buku yang berisi resensi karya seratus buku itu juga turut mengulas pengarangnya.

Uniknya, seperti dilaporkan Historia, nomor urut 32 dari 100 buku dikosongkan. Tempat itu disediakan bagi Fredy S. Namun karena Muhidin dan teman-temannya belum bisa mengurai identitas sosok Fredy, maka urutan tersebut dikosongkan.
Begitulah kira-kira sepenggal kisah Fredy S.

Pedagang di Pasar Senen yang berbincang dengan kami lantas menyodorkan empat buku karya Fredy: ‘Ketika Cinta Bersenandung’, ‘Perkawinan Berduri’, ‘Penantian di Batas Cakrawala’, dan ‘Mahligai yang Tercampak’.

Dari sampul bukunya, kami sudah bisa merasakan aura jadul buku tersebut. Tetapi tetap saja, “Yah, maunya Enny Arrow, Pak,” kata kami kukuh.

“Sama aja, cerita-cerita dewasa juga kan. Cuma memang kurang vulgar,” kata pedagang tersebut. Kami pun mengucapkan terima kasih dan berlalu pada pedagang buku lainnya.

Kali ini seorang bapak dengan postur gemuk dan memakai kacamata. Bersama istrinya, ia tengah meladeni para pembeli.
“Ada buku-buku Enny Arrow, Pak?” tanya kami, lagi.
“Enggak ada,” jawabnya. “Udah lama (enggak ada). Saya baca tahun 1970-an itu. Cerita tentang seks itu, kan?” katanya.
“Engga ada cerita porno itu,” kata istri sang pedagang, menimpali. Kami pun berlalu setelah mengucapkan terima kasih.

Dari toko buku ke toko buku, dari pedagang ke pedagang, kami tanyakan pertanyaan yang sama. Jawaban mereka umumnya pun serupa, “Enggak ada.”

Lama kelamaan, kalimat “enggak ada” itu seperti mantra yang dirapalkan para pedagang untuk mengubur semangat kami ‘menemukan’ Enny Arrow–ini pencarian berdasarkan rasa penasaran murni karena editor kami (yang keras kepala) ingin tahu betul wujud fisik karya si Arrow.

Namun, kami mencatat ungkapan-ungkapan jamak dari para pedagang. Boleh jadi ungkapan yang memiliki nilai historis. “Enggak ada, itu sih buku udah seratus tahun lalu. Cerita seks gitu, kan. Enggak ada itu unsur sastranya,” kata pedagang dengan topi pet merah yang dipandang ‘senior’ oleh pedagang lainnya.

“Yang cerita dewasa itu kan? Enggak ada,” ucap pedagang muda dengan suara lantang yang mengundang perhatian. Dalam hati kami geregetan, “Yaelah Bang, enggak usah kenceng-kenceng juga kali ngomongnya.”

“Enggak ada. Udah lama itu, tahun 1970-an, 1980-an,” ujar pedagang kaki lima dekat toko buku Gunung Agung.

Beberapa kali kami malah disodori majalah dewasa. Menurut mereka, membaca Enny Arrow maupun majalah dewasa merupakan dua hal yang sama. Misalnya, ketika seorang pedagang berhasil membuat kami yakin bahwa dia memiliki buku-buku Enny Arrow.

Kami pun diminta menunggu di lapaknya, sementara dia mengambil buku itu di suatu tempat. Dia bilang satu buku harganya Rp 50.000. Hati kami sudah berbunga-bunga bisa mendapatkan buku Enny Arrow setelah berkeliling di bawah matahari yang melelehkan keringat dan menahan godaan jajan soto mie Bogor. Semangat!

Tapi, setelah si pedagang kembali dari pencariannya, “Yah, ini sih bukan Enny Arrow,” kata kami sedikit kesal karena kami malah dikasih lima buah majalah dewasa dengan gambar sampul perempuan seksi.

Pedagang berkaos putih kerah garis itu menyahut, “Sama aja cerita dewasa, mah. Enny Arrow atau ini sama saja.” Kami menghela napas panjang, lalu menolak tawarannya.

Kami meninggalkan Pasar Senen dan mencoba mencari Mbak Enny Arrow di Mal Blok M, Jakarta Selatan. Hasilnya tak jauh beda. “Enggak ada, kosong. Buku seks lain ada,” kata seorang pedagang muda sambil mengambil majalah dewasa untuk diberikan kepada kami.

Ia bercerita, buku-buku Enny Arrow sempat banyak dicari tahun-tahun yang lalu–di luar benar-tidaknya harga yang ia sebutkan. Ia juga menganggap tidak beredarnya lagi buku-buku Enny Arrow saat ini ialah karena kemudahan mengakses konten-konten pornografi yang ditawarkan internet.

“Itu sempat booming dua tahun lalu. Mahal harganya juga, satu buku bisa sampai satu juta rupiah waktu itu. Udah lama enggak terbit, sejak ada VCD-VCD. Tahun 2002 masih ada. Majalah (dewasa) ini aja juga bagus,” kata dia.

Di antara buku-buku lama yang ditumpuk di sebuah lapak, terdapat buku-buku Fredy S. dan Motinggo Busye. Kami iseng-iseng mengambil beberapa buku Motinggo dan membacanya.

Menurut empunya lapak ini, dalam novel Motinggo sebetulnya banyak juga narasi vulgar walaupun tidak sedahsyat Enny Arrow.

“Sambil menghisap rokok Dji-Sam-Soe, penyair Darwin Dosilla melihat wanita itu menggeletak. Darwin merasa dirinya pahlawan matador yang menang bertarung…”
Nukilan paragraf di atas terdapat pada bab enam buku Rosana karangan Motinggo Busye, yang kami lihat di toko tersebut.

Mungkin karena kevulgaran dalam cerita-cerita Motinggo Busye itulah, penyair Sutardji Calzoum Bahcri berseloroh usil. “Pada suatu hari, dia (Sutardji) berkata pada saya, ‘Motinggo, kau ini manusia yang disayang Tuhan, sekaligus disayang setan,’” tulis Motinggo dalam buku Proses Kreatif yang dieditori Pamusuk Eneste.

Tak heran jika karya Motinggo kerap disebut pula masuk kategori sastra erotika, bersama Fredy S. dan Enny Arrow.

Eka Kurniawan, pengarang ‘Lelaki Harimau’–novel yang masuk nominasi bergengsi The Man Booker International Prize 2016–dalam tulisan di blog pribadinya pun mengaku terilhami karya Motinggo, ‘Tujuh Manusia Harimau’.

Menurut situs Ensiklopedi Tokoh Indonesia, Motinggo Busye lahir pada 21 November 1937 di Kupangkota, Telukbetung, Lampung. Nama aslinya Bustami Djalid. Karya-karyanya merentang dari tahun 1960-an hingga 1990-an, yang berjumlah sekitar 200 judul.

Novel-novel Motinggo, antara lain Malam Jahanam (1962), Tidak Menyerah (1963), Hari Ini Tak Ada Cinta (1963), Perempuan Itu Bernama Barabah (1963), Dosa Kita Semua (1963), dan Tiada Belas Kasihan (1963).

Seperti ditulis dalam Radiobuku, nama Motinggo menjadi perintis novel-novel populer bertema percintaan yang membanjiri pasar buku Indonesia pada 1970-an. Ia dianggap mempopulerkan novel percintaan dengan melukiskan seksualitas yang lebih terbuka, dan kisah asmara yang manis.

Oleh karena itu, Motinggo sering disebut sebagai penulis porno, meskipun sebenarnya banyak pula novel-novelnya yang terbebas dari narasi yang berkutat pada seksualitas.

Ketertarikan Motinggo Busye menulis novel-novel erotika dinilai dipengaruhi kondisi sosial-ekonominya saat itu.

Karya Motinggo Busye, Malam Jahanam, masuk dalam seratus karya yang patut dibaca versi buku ‘Seratus Buku Sastra Indonesia yang Patut Dibaca Sebelum Dikuburkan’ pada urutan ke-26.

“Motinggo is not only a realistic author …” kata pakar sastra dan budaya Indonesia asal Belanda, Andries Teeuw, mengakui bakat Motinggo dalam bukunya, Modern Indonesian Literature.

Usai melihat-lihat novel Motinggo Busye, kami pun melanjutkan perburuan karya Enny Arrow di lapak pedagang lain. Dan, yang tidak disangka, kami menemukan Enny Arrow di lapak dagangan yang hanya berjarak sekitar lima meter dari tempat semula.

“Pak, ada buku-buku Enny Arrow?” tanya kami kepada laki-laki berkacamata, mungkin usia 60-an, yang sedang merapikan buku-buku di lapaknya.
Dia hanya menjawab, “Enny Arrow?”. Lalu diam dan membalikkan badan untuk mengambil buku dari tumpukan di rak buku yang berada di belakangnya.

Diserahkannya buku tipis itu kepada kami. Buku dengan sampul seorang perempuan bule berambut pirang. Tangan kanan perempuan itu menyentuh rambutnya, sementara tangan kiri menahan tubuhnya untuk mempertahankan pose.

Perempuan bergaun biru itu tersenyum manis. Bola matanya hitam, sedangkan bagian dadanya sedikit terbuka. Di sudut kanan atas sampul buku itu tertulis: Enny Arrow. Dan pada bagian bawahnya tertulis sebuah judul, “Pengaruh Obat Bius”.

Jantung kami berdebar. Akhirnya, pencarian tak sia-sia. Buku yang pada masanya mungkin dihargai Rp 1.500 itu kami buka. Dan jeng jeng… isinya membuat kami buru-buru mengambil kesimpulan bahwa ini adalah benar buku Enny Arrow.

“Sungguh merupakan perpaduan asmara dan gila rasa…” Demikian petikan kalimat terakhir penutup buku tersebut. Apapun katamulah, Arrow. Yang penting kami lega sudah menemukanmu, serpihan pop culture masa lalu Indonesia yang tersisa.(*)

Sumber: kumparan.com