Perjalanan Politik Megawati Jadi Ketua Umum Parpol Terpopuler Menyusul AHY

Politik12 Views

Kabarin.co – Sosok Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri tak pernah luput dari perhatian publik. Pantaslah jika namanya dicatatkan sebagai sebagai ketua umum partai politik paling populer menurut survei terbaru Litbang yang dirilis Selasa (21/2/2023).Presiden kelima RI itu mengantongi tingkat popularitas sebesar 94,9 persen. Persentase tersebut tak terpaut juah dengan tingkat popularitas Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang menempati urutan kedua dengan persentase 94,5 persen.

Namun, posisi ketiga sangat jauh dari dua nama itu. Ketum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang berada di posisi ketiga meraih tingkat popularitas 58,9 persen. Selanjutnya, secara berturut-turut dari urutan 4 hingga 10 pimpinan parpol terpopuler yakni Ketum Partai Nasdem Surya Paloh (53,1 persen), Ketum Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo (46,6 persen), lalu Ketum Partai Golkar Airlangga Hartarto (34,7 persen).

Selanjutnya, Ketum PKB Muhaimin Iskandar (34,5 persen), Ketum PSI Giring Ganesha (32,3 persen), Ketum PBB Yusril Ihza Mahendra (29,4 persen), dan Ketum PAN Zulkifli Hasan (21,5 persen). Menjadi ketum parpol terpopuler, seperti apa perjalanan politik Megawati di bawah bendera PDI-P? Dari pengusaha pom bensin Sebelumnya, tak pernah terpikir oleh Megawati dirinya bakal terjun ke politik, mengikuti jejak sang ayah, Soekarno. Pascatumbangnya era Orde Lama, Soekarno dan anak-anaknya memilih menghindari ingar bingar perpolitikan tanah air.

Megawati bersama suaminya, Taufiq Kiemas, mulanya hidup sebagaimana masyarakat biasa. Keduanya mengelola bisnis sejumlah pom bensin di Jakarta. Bergabungnya Megawati ke kancah politik merupakan buah dari bujukan Sabam Sirait, politikus senior PDI-P. Sabam sedianya telah mengajak Mega bergabung ke parpol sejak tahun 1980.

Namun, putri Proklamator itu terus menolak. Tak menyerah, Sabam membujuk Megawati melalui suaminya. Mega pun luluh hingga akhirnya dia bersama sang adik, Guruh Soekarnoputra, memutuskan mencalonkan diri sebagai anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia atau PDI (cikal bakal PDI-P) pada tahun 1987. PDI sendiri merupakan bentuk peleburan atau fusi dari sejumlah partai politik golongan nasionalis, salah satunya Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Soekarno. Kala itu, Megawati dipandang sebelah mata lantaran merupakan pendatang baru di politik. Namun, siapa sangka, namanya melejit menjadi primadona dalam kampanye PDI.

Megawati berhasil mendongkrak elektabilitas partai. Pada Pemilu 1987 PDI mampu merebut 40 kursi DPR, dari yang sebelumnya hanya 24 kursi pada Pemilu 1982. Sebelumnya, PDI selalu menjadi partai buntut pada setiap pemilu dengan perolehan suara tak lebih besar dari Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Popularitas Megawati juga berhasil mengantarkannya ke kursi Parlemen sebagai anggota DPR/MPR. Berkat kontribusinya itu, partai mengganjar Mega dengan jabatan Ketua PDI cabang Jakarta Pusat.

Melesat Karier politik Megawati pun terus melesat. Situasi ini membuat Soerjadi, Ketua Umum PDI saat itu, merasa terancam dan ketar-ketir. Tahun 1993, Soerjadi kembali terpilih sebagai Ketua Umum PDI. Namun, jalan Soerjadi untuk kembali duduk di tahta tertinggi partai tersendat lantaran dia diterpa isu penculikan kader. Atas dugaan itulah, PDI menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) di Surabaya.

Kekhawatiran Soerjadi pun menjadi nyata. Dari KLB tersebut, Megawati terpilih sebagai Ketua Umum PDI, merebut kursi pimpinan tertinggi partai dari Soerjadi. Terpilihnya Megawati itu dikukuhkan dalam Musyawarah Nasional (Munas) yang digelar pada 22 Desember 1993 di Jakarta. Megawati resmi menjabat Ketua Umum PDI periode 1993-1998. Namun, baru 3 tahun berjalan, PDI menggelar Kongres di Medan. Lewat kongres yang digelar 22 Juni 1996 itu, Soerjadi dinyatakan sebagai ketua umum PDI masa jabatan 1996-1998.

Dari situlah, lahir dualisme kepemimpinan, menghadapkan Megawati dengan Soerjadi. Sementara, pemerintah melalui Kepala Staf Sosial Politik ABRI saat itu, Letjen Syarwan Hamid, mengakui Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI hasil Kongres Medan pimpinan Soerjadi. Walhasil, Munas Jakarta tak dianggap. Kepemimpinan Megawati tidak diakui.

Atas dinamika ini, tensi politik seketika meninggi. Dukungan untuk Megawati mengalir, utamanya dari aktivis dan mahasiswa yang menentang rezim Orde Baru pimpinan Soeharto. Jelang akhir Juli 1996, isu perebutan DPP PDI menguat. Puncaknya, 27 Juli 1996 terjadi tragedi kelam di kantor DPP PDI yang lantas dikenal sebagai peristiwa Kudatuli atau Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli. Saat itu, aksi bentrok antara kubu Megawati dan Soerjadi tak terhindarkan. Kerusuhan pecah dengan massa yang saling lempar batu dan paving block, hingga aksi bakar membakar.

Dalam peristiwa tersebut, aparat menangkap setidaknya 171 orang yang diduga melakukan perusakan dan pembakaran. Rinciannya, 146 massa pendukung Megawati dan oknum lainnya, lalu 25 orang pendukung Soerjadi. Menurut kesimpulan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), 5 orang tewas dalam kerusuhan ini. Lalu, 149 orang luka-luka, 23 hilang, dan 136 ditahan. Dari PDI ke PDI-P Dua tahun berselang tepatnya setelah Soeharto lengser, Megawati dikukuhkan sebagai ketua umum PDI periode 1998-2003 melalui Kongres ke-V di Denpasar, Bali. Mega lantas mengubah nama PDI menjadi PDI Perjuangan (PDI-P) tepat 14 Februari 1999 yang terbit pada 15 Februari 1999 menyebutkan, saat deklarasi itu Megawati disambut 200.000 simpatisannya.

Pada Pemilu 1999, popularitas PDI-P meroket dan berhasil menjadi pemenang dengan mengantongi sekitar 36,6 juta suara pemilih. Saat itu, Megawati dipilih Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai Wakil Presiden mendampingi Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Dua tahun berselang tepatnya 23 Juli 2001, dia berhasil naik ke tampuk kekuasaan tertinggi RI-1, menggantikan Gus Dur yang dilengserkan melalui Sidang Istimewa MPR RI. Mega pun menjadi presiden perempuan pertama di Indonesia. Ia memimpin pemerintahan tanah air bersama Hamzah Haz hingga tahun 2004, sebelum akhirnya digantikan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla. Hingga kini, nama Megawati masih cemerlang sebagai ketua umum PDI-P, partai penguasa pemerintahan selama dua periode belakangan.(pp)