Piala Dunia 2018, Selamat Datang Lagi Hari Mengantuk Nasional Selama Sebulan

Oleh: Rizal Marajo*

FIFA World Cup, atau Piala Dunia sepakbola, dalam satu bulan ke depan akan kembali digulirkan. Selama satu bulan, 14 Juni – 15 Juli 2018, perhatian penduduk bumi akan tertuju ke Rusia. Negara yang akan menjadi penyelenggara Piala Dunia yang sudah memasuki episode ke-21.

Piala Dunia adalah iven olahraga paling dinanti di planet ini. Tak ada kegiatan olahraga mampu menyaingi popularitas, bahkan magis pesta sepakbola dunia empat tahunan itu. Bahkan, Olimpiade yang merupakan ajang multiiven olahraga, tak sanggup mendekati apalagi menyamai “sihir” Piala Dunia.

Hanya Piala Dunia a.k.a Pildun membuat warga dunia seperti “demam” si kulit bundar selama satu bulan. Tak ada topik paling menarik yang dibicarakan dengan antusias di bulan Juni- Juli pada tahun genap pelaksanaan Pildun, kecuali sepakbola dan Piala Dunia-nya.

Euforia Pildun, termasuk di Indonesia, terkadang sulit dijabarkan dengan logika. Belum ada hipotesa yang bisa menjelaskan mengapa Pildun begitu besar menyedot perhatian warga dunia. Kendati timnas-nya tidak ikut berlaga, tapi itu tak jadi penghambat ikut dalam gebyar Pildun.

Mungkin jawaban paling mendekati adalah, bahwa sepakbola adalah sebuah sebuah olahraga paling populer di jagat ini, punya pendukung terbesar, punya komunitas yang tak terbatas, punya banyak sisi komersial, dan dapat perhatian besar dari media massa. Kesimpulannya, sepoakbola adalah sebuah bisnis besar.

Di Indonesia, pengalaman terdahulu menunjukan Pildun akan membuat banyak orang menjadikan penonton sepakbola sebagai “profesi utamanya” selama sebulan. Sisi lain, akan banyak muncul imbas-imbas yang terkadang diluar nalar.

Suami istri rebutan remote televisi, ketika suami ingin menonton bola disaat sang istri tak ingin melewatkan drama televisi, sinetron, atau menonton acara penjaringan bakat yang menjamur di televisi.

Para pegawai datang ke kantor pagi-pagi dengan wajah lesu dan letih, dengan kantong mata lebih tebal. Gampang ditebak, pasti semalam begadang menonton Pildun. Atau, mahasiswa yang terkantuk-kantuk di ruangan kuliah, dan lain sebagainya. Hari-hari selama Piala Piala adalah hari-hari mengantuk massal. Lebay? tidak juga!

Karena Pildun menjadi sebuah periode di mana banyak orang akan berubah menjadi fans sepakbola. Porsentase orang yang sebelumnya “cuek” dengan sepakbola mendada menjadi pecinta sepakbola, akan melambung tinggi selama Piala Dunia.

Tidak peduli apakah perhatian atau mendadak suka sepakbola karena ikut-ikutan trend, juga karena ada kepentingan masing-masing menunggangi Piala Dunia, khususnya untuk memetik keuntungan ekonomi. Bisnis kaos atau merchandise berbau Pildun adalah diantaranya. Melariskan usaha kuliner, dengan embel-embel nonton bareng Pildun. Walu FIFA menerapkan peraturan yang ketat mengenai merk dagang Piala Dunia, tapi itu tak cukup menghambat euforia dimaksud.

Masih di Indonesia, Pildun juga sudah merembet-rembet ke ranah yang bersebarangan sama sekali, politik. Pengalaman empat tahun lalu, Pildun digelar persis di tahun politik, saat Pemilihan Umum diselenggarakan, baik Pemilu legislatif maupun Pemilu Presiden. Bahkan hari pecoblosan Pilpres 9 Juli 2014, bersamaan dengan hari digelarnya laga semifinal pertama Piala Dunia di Brasil saat itu.

Memang, pembicaraan mengenai Pilpres pada hari itu tetap menjadi topik primer, dan tapi cukup “terganggu” dengan topik sekunder akibat Piala Dunia. Apalagi semifinal itu diwarnai terbantainya tuan rumah Brasil sang favorit juara dengan skor mengerikan 7-0 oleh Jerman.

Tapi yang jelas, disebabkan sepakbola adalah magnet perhatian masyarakat, tidak mengherankan jika selama Pildun banyak ditemui aksi-aksi politik bernuansa sepakbola yang disuguhkan ke tengah masyarakat.

Tidak perlu kaget, seorang politikus yang biasanya berbusa-busa mulutnya berorasi politik, tiba-tiba tanpa ampun ikut-ikutan membahas strategi lapangan tengah Brasil, atau mengulik kemampuan lini depan Argentina. Bahkan dengan bersemangat memuji-muji solidnya pertahanan Jerman, dan tidak ketinggalan strategi total football Belanda dikupas dengan pengetahuan bola apa adanya.

Ah.. sudahlah, Pildun memang telah memaksa semua orang ingin turut andil dalam pesta sepakbola ini. Satu lagi, sepakbola memang terlalu “sexy” untuk dilewatkan, apalagi di tahun politik.

Bagaimana Pildun tahun 2018, satu tahun jelang tahun politik 2019. Rumusnya tetap sama, tidak ada yang tidak mungkin dalam dunia politik. Sangat menarik menunggu kemungkinan munculnya inovasi baru, kombinasi politik dan sepakbola apalagi yang akan terjadi di Piala Dunia tahun ini.

Jika seorang politisi muncul sebagai komentator sepakbola, mungkin itu adalah hal yang sudah terlalu biasa. Siapa tahu, di masa pemanasan tahun politik ini, ada orang politik memanfaatkan moment Pildun dengan sebuah aksi yang bisa jadi viral di media sosial.

Siapa tahu ada yang cukup percaya diri melakukan juggling bola sambil berbicara peta terkini politik bangsa. Atau, meminta mereka untuk menirukan gaya selebrasi gol para bintang sepakbola dunia saat nonton bareng. Entahlah, yang jelas magis Piala Dunia akan merasuk ke berbagai sendi kehidupan masyarakat. Selamat menikmati Piala Dunia!.(*)

*) Penulis adalah Pimpinan Redaksi kabarin.co dan pemegang kartu kompetensi Wartawan Utama