Putusan IPT Soal Peristiwa 1965, Indonesia Harus Minta Maaf Pada PKI?

KabarUtama10 Views

kabarin.co, DEN HAAG-Majelis hakim dari International People’s Tribunal menyatakan Indonesia telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan atas terjadinya pembunuhan massal 1965.

Keputusan yang dibacakan ketua majelis hakim Zakeria Jacoob itu ditayangkan melalui pemutaran video di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Rabu, 20 Juli 2016.

Dalam putusannya itu, majelis hakim juga merekomendasikan agar pemerintah Indonesia meminta maaf kepada para korban, penyintas, dan keluarga mereka, termasuk melakukan penyelidikan kejahatan terhadap kemanusiaan.

“Majelis hakim merekomendasikan agar pemerintah Indonesia meminta maaf pada para korban, penyintas, dan keluarga mereka,” kata Nursyahbani Katjasungkana, Koordinator IPT 1965, di Jakarta, Rabu ini.

Rekomendasi lain adalah melakukan penyelidikan kejahatan dan melaksanakan tuntutan Komnas Perempuan ataupun Komnas HAM dalam laporan mereka.

“Ini dilakukan agar kebenaran bisa ditemukan dan imunitas atas kejahatan itu bisa diakhiri,” kata Nursyahbani.

Menurut Nursyahbani, majelis hakim dalam putusannya menyatakan pembunuhan massal yang bermaksud memusnahkan PKI itu bisa dikategorikan dalam kejahatan berdasarkan Konvensi Genosida tahun 1948.

“Ini berarti genosida di Indonesia harus dimasukkan dalam genosida-genosida utama di dunia pada abad ke-20,” tuturnya di YLBHI, Jakarta.

Kesimpulan itu didasarkan atas bukti yang disampaikan tim jaksa penuntut Todung Mulya Lubis. Ini menjadi kesimpulan akhir setelah sidang IPT 1965, yang digelar pada 10-13 November 2015, di Den Haag, Belanda.

Dalam sidang selama empat hari tersebut, tujuh anggota majelis hakim mendengarkan kesaksian para korban dan saksi ahli serta laporan peneliti, baik dari Indonesia maupun luar negeri.

Disebutkan dalam putusan majelis hakim, Indonesia harus bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan melalui rantai komandonya. Kejahatan tersebut adalah pembunuhan terhadap 400-500 ribu orang, penahanan, perbudakan, penyiksaan, penghilangan paksa, dan kekerasan seksual.

Zakeria Jacoob mengatakan IPT 1965 memperoleh otoritas moral suara korban serta masyarakat sipil nasional dan internasional. “Tribunal menganut pola pengadilan hak asasi manusia formal, tapi bukan pengadilan pidana,” ucapnya.

Dia menambahkan, IPT 1965 berwenang mengadili, tapi tidak berwenang memaksakan keputusan. Watak esensial IPT 1965 adalah Tribunal Penyelidikan.

Tanpa takut atau mementingkan kalangan tertentu, majelis hakim IPT 1965 berupaya menemukan kebenaran dan berharap memberi sumbangan untuk keadilan, perdamaian, serta rekonsiliasi.

Penayangan video di YLBHI ini dihadiri sekitar 50 orang. Mereka terdiri atas wartawan, aktivis HAM, serta pengamat dari luar negeri. (tem)