Salman Abedi, Pemuda Pendiam dan Taat yang Jadi Pelaku Bom di Manchester

kabarin.co – Otoritas penegak hukum di Inggris telah mengidentifikasi pelaku serangan bom bunuh diri di Manchester Arena, Senin tengah malam (22/5) waktu setempat.

Serangan yang menewaskan 22 orang dan melukai 59 lainnya itu dilakukan oleh pria bernama Salman Abedi. Seperti dilansir laman Washington Post, pria yang memicu alat peledak di penghujung konser Ariana Grande itu ikut tewas dalam ledakan tersebut.

Sementara itu, Telegraph memberitakan, berdasarkan informasi dari intelijen Amerika Serikat, Salman Abedi diketahui berusia 22 tahun.

Lahir di Manchester pada tahun 1994, Abedi adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Orangtua Abedi adalah pengungsi dari Libya yang datang ke Inggris untuk melarikan diri dari rezim Gaddafi.

Ibunya bernama Samia Tabbal, berumur 50 tahun. Sementara ayahnya, Ramadan Abedi adalah seorang petugas keamanan.

Keduanya lahir di Libya, namun bermigrasi ke London sebelum pindah ke daerah Fallowfield di selatan Manchester, di mana mereka tinggal selama 10 tahun terakhir.

Seperti kekejaman yang sebelumnya terjadi di kawasan Westminster pada bulan Maret, pertanyaan yang paling mendesak saat ini adalah apakah Abedi adalah “serigala tunggal”, atau bagian dari sel teror yang lebih luas.

Polisi dan petugas keamanan masih mencoba mengidentifikasi apakah Abedi bekerja sendiri ataau merupakan bagian dari jaringan yang lebih luas yang membantunya dengan bom tersebut. Meskipun ISIS telah mengaku bertanggung jawab terhadap serangan tersebut, namun polisi belum menemukan bukti untuk mendukung hal ini.

Abedi memang dikenal oleh dinas keamanan setempat, namun bukan merupakan bagian dari investigasi aktif atau dianggap berisiko tinggi. Dia dipandang melakukan serangan tersebut tanpa membidik pokok sasarannya, seperti yang dilakukan di Westminster oleh Khalid Masood.

Sebelum nama Abedi dirilis, beberapa anggota komunitas Libya di selatan Manchester bertanya-tanya apakah pelaku bom bunuh diri itu adalah salah satu dari mereka. Mereka mengira, jika memang benar, kemungkinan pelaku tersebut adalah salah satu pemuda yang pernah bertempur di Libya selama revolusi tahun 2011, yang beberapa di antaranya pulang ke rumah dengan trauma dan sisa amarah.

Namun tampaknya dugaan itu tidak berlaku untuk Abedi. Meskipun dia keturunan Libya, namun ia sudah sejak lahir di Inggris. Abedi adalah seorang pemuda yang taat dan selalu menghormati orang tua. Sama sekali tak disangka jika dia bisa melakukan pembunuhan massal tersebut.

“Salman? Saya tercengang dengan ini,” kata salah seorang anggota komunitas Libya kepada The Guardian, Rabu (24/5).

“Dia adalah anak yang pendiam, sangat menghormati saya. Saudaranya Ismail memang ramah, tapi Salman sangat pendiam, dia seperti orang yang tidak mungkin melakukan ini.”katanya.

Salman dan Ismail biasa beribadah di masjid Didsbury, di mana ayah mereka, yang dikenal dengan nama Abu Ismail adalah sosok yang terkenal di kalangan masyarakat. Rekannya tersebut melihat Salman sebagai sosok yang rajin beribadah, yang selalu sholat lima waktu, dan mengumandangkan adzan.

Menurutnya Salman memiliki suara yang indah. Bahkan Salman juga dilihat rekannya mempelajari Alquran dengan hatinya. “Abu Ismail akan sangat putus asa. Dia selalu sangat menentang dengan ideologi ISIS, dan ISIS bukan jihad, itu kriminalitas. Keluarganya akan hancur,” ujar rekan Salman.

Ayah Abedi adalah seorang pekerja sambilan di Manchester, diperkirakan berada di Tripoli. Sedangkan ibunya, Samia, diperkirakan berada di Manchester. Pasangan tersebut diyakini memiliki anak laki-laki lain yaitu Hashem dan seorang anak perempuan, Jomana.

Salah satu kerabat Ismail mengatakan bahwa Ismail pulang pergi Tripoli-Manchester. Ia tidak percaya bahwa Abedi akan mengalami radikalisasi di Tripoli. Ia menduga ada yang mempengaruhi Abedi untuk melakukan hal mengerikan itu, pembunuhan massal.(*/kc)