Features: “Tesesat” ke Kampung Halaman Tan Malaka, Pahlawan yang tetap Kesepian

kabarin.co – Tak ada rencana sebelumnya, kebetulan saya dan kawan lewat daerah “mudiak” di Payakumbuh. Mendadak timbul ide seorang teman untuk singgah di rumah dan museum Tan Malaka di kampungnya yang bernama Pandam Gadang, Kecamatan Suliki, Kabupaten Limapuluh Kota.

Cerita tentang pemindahan makam Tan Malaka dari Kediri Jawa Timur ke Kampung halamannya itu, awal tahun 2017 lalu, jadi sedikit magnit memperkuat keinginan datang ke sana.

Lebih kurang 30 menit berkendara dari Taeh, kami sampai di Pandam Gadang, langsung menuju rumah dan museum pria Minang yang dikenal sebagai “pahlawan yang kesepian” itu.

Sepi, memang itulah yang kami dapatkan di area yang kurang terawat itu. Cuma kami pengunjung di sore itu. Rumput liar mulai tumbuh tak terkendali di area yang berisikan sebuah rumah gadang yang tak terlalu besar, makam Tan Malaka yang diapit makam ayah bundanya, serta patung perak sang tokoh Madilog tersebut.

Sebuah rumah gadang yang disebut tempat lahir Tan Malaka, dan dijadikan museum terkunci rapat, kendati kami didera rasa penasaran untuk bisa mencigap-cigap apa yang ada di rumah itu.

Area makam sendiri sangat bersahaja di undakan yang dibuat sekitar setinggi satu meter. Kendati makam sang pahlawan dipasangi keramik, tapi area makam itu hanya ditembok kasar, tanpa keramik. Di empat sudut dipasangi bendera merah putih yang sudah kusam, mungkin sudah berhujan berpanas ditiangnya, siang dan malam tak pernah diturunkan.

Begitupun bendera kecil yang terbuat dari seng yang di tancapkan di kepala Makam Tan Malaka, tak kalah kusamnya, karena sudah berkarat. Sehingga tak jelas lagi warna merah putihnya. Benar-benar pahlawan kesepian, sampai detik ini.

Tan Malaka (2 Juni 1897)
Siapa yang tak akan meringis, dan terhenyak saat membuka lembaran sejarah, tentang sosok Tan Malaka. Berpuluh-puluh tahun nama tokoh ini absen dari buku-buku sejarah Indonesia. Namanya hanya samar-samar terdengar dalam penulisan sejarah perjuangan bangsa.

Padahal, perannya sungguh tak kecil bagi bangsa ini, untuk seseorang yang mendapat gelar “Bapak Republik Indonesia”. Dia tokoh pertama yang menggagas secara tertulis Konsep Republik Indonesia. Ia menulis Naar de Republiek Indonesia (menuju Republik Indonesia ) pada 1925, jauh lebih dulu dibanding Mohammad Hatta yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) 1928, dan Bung Karno yang menulis Menuju Indonesia merdeka, 1933.

Fakta ini diungkap oleh Harry Albert Poeze, sejarawan Belanda yang meneliti Tan Malaka selama berpuluh tahun. Bahkan, seorang pahlawan besar yang membidani lahirnya Pancasila seperti Muhammad Yamin pun, menyebut Tan Malaka sebagai; “Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancang Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai”.

WR Supratman, pencipta anthem bangsa ini menuliskan, dia mengambil kalimat “Indonesia Tanah tumpah darahku” untuk lagu Indonesia Raya, terinsiprasi dari buku “massa Actie” yang ditulis Tan Malaka. Pada bab “Khayal Seorang Revolusioner” itu, Tan Malaka menulis, “dimuka bagian laskar, itulah tempatmu berdiri….kewajiban seorang yang tahu kewajiban putra tumpah darahnya.”

Diluar fakta itu, Ibrahim Datuk Tan Malaka, adalah pejuang yang militan, radikal, dan revolusioner. Tokoh yang banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Ironisnya, nama Tan Malaka justru lebih berkibar di luar Indonesia. Dia pejuang yang disetarakan dengan Yose Rizal, Ho chi Mint, atau Che Guevara. Reputasi yang membuat seorang Harry Albert Poeze, rela menghabiskan separoh umurnya untuk meneliti Tan Malaka.

Justru di tanah airnya sendiri, nilai-nilai perjuangannya justru dikubur. Berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Sukarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional.

Namun, sejak era Orde Baru, namanya dihapus dalam pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah walau gelar pahlawan nasional itu tidak pernah dicabut. Sebuah kebodohan rezim Orde Baru yang menganggap Tan Malaka sebagai tokoh partai yang dituduh terlibat pemberontakan beberapa kali. Dan kebodohan itu yang membuat Tan Malaka digelari “pahlawan yang terlupakan”, ada juga yang menyebutnya pahlawan yang kesepian.

Itulah Tan Malaka yang namnya aslinya Sutan Ibrahim Datuk Tan Malaka. lelaki yang ingga akhir hayatnya tidak penah menikah, tetapi ia mengakui pernah 3 kali jatuh cinta, yaitu di Belanda, Filipina, dan Indonesia.

Di Belanda, Tan Malaka dikabarkan pernah menjalin hubungan dengan gadis Belanda bernama Fenny Struyvenberg, mahasiswa kedokteran yang kerap berdatang ke rumah kost-nya. Sementara di Filipina, ada seorang gadis bernama Carmen, puteri bekas pemberontak di Filipina dan rektor Universitas Manila.

Sedangkan saat ia masih di Indonesia, Tan pernah jatuh cinta kepada satu-satunya siswi perempuan di sekolahnya saat itu, yakni Syarifah Nawawi. Alasan Tan Malaka tidak menikah adalah karena perhatiannya terlalu besar untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Buku-buku karya Harry Poeze dijadikan sebagai referensi para guru untuk dapat mentransformasikan nilai-nilai perjuangan Tan Malaka.

Buka jilid keempat karya Harry Poeze menjadi sebuah rujukan dalam literatur sejarah Indonesia mengenai sosok pahlawan yang lihai menghilang dari kejaran penjajah yang ingin membungkam suaranya.

Sosok dan sejarah Tan Malaka memang pernah dibungkam dalam sejarah Indonesia, bahkan gagasannya yang tertuang dalam buku dijadikan stigma. Namun, seperti ucapannya ketika ditangkap polisi Hongkong pada 1932: “Ingatlah bahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras daripada dari atas bumi.”

Perkataan itu terwujud bahwa setelah kematian misteriusnya, beberapa kalangan mencoba menguaknya dan menyuarakan pikiran-pikiran Tan Malaka melalui karya tulisnya, antara lain Materialisme, Dialektika, dan Logika (Madilog; 1943), Menuju Republik Indonesia (Naar de Republiek Indonesia; 1925), dan Gerilya, Politik, dan Ekonomi (Gerpolek; 1948).

Tan Malaka dieksekusi mati oleh pasukan dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya di Selopanggung, Kediri, Jawa Timur. Perintah itu datang dari Letda. Soekotjo, yang menurut sejarawan Harry Poeze, “Orang kanan sekali yang beropini bahwa Tan Malaka harus dihabisi.”

Pengujung kisah hidup Tan Malaka dimulai ketika dia dibebaskan dari penjara di Magelang, 16 September 1948. Sekeluarnya dari penjara, dia mencoba kembali mengumpulkan pendukungnya dan menggagas pendirian partai Murba pada 7 November 1948. Partai ini berasaskan “antifasisme, antiimperialisme dan antikapitalisme”.

Namun Tan enggan memimpin Partai Murba. “Dia tidak mau jadi ketua. Mungkin dia harap jadi Presiden RI dan selalu tidak senang dengan politik diplomasi,” kata sejarawan Harry A. Poeze dalam bukunya, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 4. Buku ini mengisahkan babakan terakhir perjalanan hidup Tan Malaka, sejak September 1948 sampai Desember 1949.

Propaganda Tan Malaka yang anti politik diplomasi Sukarno-Hatta dianggap sebagai ancaman oleh pemerintah. Gerakannya mesti ditumpas. Tan bersama GPP (Gerakan Pembela Proklamasi) berpindah-pindah markas dan akhirnya melarikan diri ke arah selatan Jawa Timur. Dalam gerilya menyusuri lereng Gunung Wilis, di Selopanggung, Kediri, Tan Malaka ditangkap oleh Letnan Dua Sukoco dari Batalion Sikatan Divisi Brawijaya.

Pada 21 Februari 1949, Tan Malaka dieksekusi mati oleh Suradi Tekebek, orang yang diberi tugas Sukotjo. Kematiannya tanpa dibikin laporan maupun pemeriksaan lebih lanjut. Dia dimakamkan di tengah hutan dekat markas Soekotjo. “Kematiannya dirahasiakan bertahun-tahun,” ucap Poeze.

Setelah sejarawan asal Belanda itu berhasil menemukan makam Tan Malaka, untuk membuktikan apakah jasad yang dimakamkan di Selopanggung itu Tan Malaka, sekelompok dokter ahli forensik dari Universitas Indonesia telah mengambil sampel DNA dari keluarga Tan Malaka untuk dicocokan dengan DNA jasad yang ada di makam.

Tapi Harry Poeze, berdasarkan data-data yang dia peroleh, meyakini jasad di kuburan Selopanggung itu adalah Tan Malaka.

21 Februari 2017
Jenazah Tan Malaka dari Kabupaten Kediri, Jawa Timur, ke Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, dilakukan tanpa pemindahan jasad. Hanya secara simbolisasi, yaitu pengambilan segenggam tanah dari makam kemudian dibawa pulang ke tanah kelahirannya di Pandam Gadang, Suliki, Kabupaten Lima Puluh Kota.

“Datuk Tan Malaka yang baru, akan mengambil segenggam tanah, sebagai simbolik membawa jasad Ibrahim Untuk kemudian dimakamkan di tanah kelahirannya, Nagari Pandam Gadang,” ujar Direktur Tan Malaka Institut Sumatera Barat Yudilfan Habib.

Simbolisasi itu akan diawali dengan prosesi penobatan gelar Raja Adat Bungo Setangkai, Kekerasan Suliki, Liak Limopuluah di hadapan makam Sutan Ibrahim Datuk Tan Malaka. Penobatan itu merupakan pemindahan gelar dari Sutan Ibrahim selaku penyandang Sako Datuk Tan Malaka ke generasi penerusnya.

Regenerasi penobatan itu sebelumnya sempat tertahan berpuluh tahun lamanya karena menghilangnya Sutan Ibrahim sejak 1942. Hingga tahun 2007 keluarga mengetahui makamnya ada di Kediri sehingga kini akan menyempurnakan penobatan itu. “Karena sejak hilangnya Ibrahim selaku penyandang gelar Sako Datuk Tan Malaka, prosesi pemindahan gelar tersebut belum sempurna,” ujarnya.

Lokasi yang disebut makam itu ada di pemakaman umum Desa Selopanggung. Tempatnya berada cukup terpencil di kawasan kaki Gunung Wilis. Posisinya berjarak sekitar 15 kilometer arah barat daya dari pusat Kota Kediri.

Sebelumnya, rencana pemindahan jasad Tan Malaka dari Kediri itu memantik penolakan dari sebagian masyarakat Kediri. Mereka berupaya mempertahankan keberadaannya di Kediri dengan alasan Tan Malaka sebagai inspirasi perjuangan.

Berikut Ini 12 Fakta Tentang Tan Malaka yang Jarang Diketahui Publik

1. Lahir
Lahir di Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, 2 Juni 1897, dengan nama Ibrahim Datuk Tan Malaka. Tingginya saat dewasa, 165 sentimeter. Lebih pendek dari Soekarno (172 cm)

2. Bahasa
Tan Malaka ternyata menguasai 8 bahasa yakni Minang, Indonesia, Belanda, Rusia, Jerman, Mandarin dan Tagalog.

3. Penjara
Tidak kurang 13 kali dipenjara. Masing-masing sekali di Filipina (1937) dan Hongkong (1932). Sedangkan di Tanah Air-nya, ia 11 kali dipenjara (1922 dan 1946-1948).

4. Nama Samaran
Tan Malaka memiliki sedikitnya 23 nama samaran. Di antaranya Elias Fuentes, Estahislau Rivera, Alisio Rivera (Filipina), Hasan Gozali (Singapura), Ossorio (Sanghai), Ong Song Lee (13 varian – Hongkong). Ia juga menggunakan nama samaran Tan Ming Sion (Burma), Legas Hussein, Ramli Hussein, Ilyas Hussein (Indonesia), Cheung Kun Tat, Howard Lee (China). Ini dilakukan Tan karena selalu dikejar hendak ditangkap tentara Belanda, Inggris, Jepang dan AS.

5. Pelarian
Tan telah menjelajahi 11 negara sebagai tempat bersembunyi dari kejaran polisi rahasia Belanda, Amerika, Inggris dan Jepang. Di antaranya Singapura, Filipina, Belanda, Rusia. Total perjalanan diperkirakan mencapai 89 ribu km atau dua kali jarak yang ditempuh Che Guevara di Amerika Latin. Setara 2 kali keliling bumi.

6. Organisasi
Sedikitnya Tan Malaka pernah bergabung di 9 organisasi, baik di Indonesia maupun di luar negeri saat pelarian yakni:
– Anggota Serikat Islam (1921-1922)
– Wakil Ketua Serikat Buruh Pelikan (1921-1922)
– Ketua PKI (1921-1922)
– Wakil Komintern untuk Asia Timur (1924)
– Ketua Biro Buruh Lalulintas se-Pasifik (1924).
– Ketua Partai Republik Indonesia, Thailand (1927)
– Ketua Persatuan Perjuangan (1946)
– Mendirikan Partai Murba (1948)
– Pimpinan Gerilya Pembela Proklamasi (1948).

7. Buku
Tan termasuk pemikir dan penulis produktif. Tidak kurang 26 judul buku sebagai buah pikirannya terbit. Di antaranya Parlemen atau Soviet (1922), SI Semarang dan Onderwijs (1921), Dasar Pendidikan (1921), Naar de Republiek Indonesia (1924), Massa Actie (1926), Manifesto Bangkok (1927), Madilog (1943) Manifesto Jakarta (1945), Rencana Ekonomi Berjuang (1945), Islam dalam Tinjauan Madilog (1948), Pandangan Hidup (1948), Gerpolek (1948) dan beberapa lainnya.

8. Pekerjaan
Tan rupanya pernah bekerja sebagai:
– Mandor kebun teh di Deli, Sumatera Utara (1919-1920)
– Guru sekolah rakyat di Semarang, Pekalongan, Bandung dan Yogyakarta (1920-1922)
– Penulis lepas di koran El Debate, Filipina (1924-1927)
– Kerani pada perusahaan impor, Singapura (1927)
– Guru di Foreign Language School, sekolah yang didirikan Tan, di Amoy, China (1936-1937)
– Guru bahasa Inggris dan matematika di Nanyang Chinese Normal School, Singapura (1934-1941)
– Juru tulis pertambangan batubara di Bayah (1941-1945)
– Tukang jahit di Kalibata (1942)

9. Hafidz
Siapa sangka, Tan yang dikenal sebagai tokoh komunis dan penganut Marxisme ini sejak muda telah hafal Al Quran (hafids).

10. Pelanjut Soekarno-Hatta
Tan satu dari empat tokoh yang menerima testamen politik atau surat wasiat dari Soekarno pada September 1945 untuk melanjutkan memimpin Revolusi Indonesia manakala Soekarno dan Hatta ditangkap atau dibunuh.
11. Dibunuh
Tan dibunuh militer Indonesia saat berada di Selopanggung, Kediri, 21 Februari 1949.

12. Pahlawan Nasional
Soekarno menobatkan Tan Malaka sebagai Pahlawan Nasional pada 28 Maret 1963.

Penulis: Rizal Marajo
*) Dari berbagai sumber