Andre Rosiade Apresiasi KPPU Bernyali Buktikan Monopoli Semen China

 

ADINEGORO,Kabarin.co–Anggota DPR RI asal Sumbar H Andre Rosiade SE mengapresiasi keberanian Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang menyatakan PT Conch South Kalimantan Cement (Conch) melakukan jual rugi atau predatory pricing (jual rugi). Apresiasi ini diberikan dalam rapat kerja dengan KPPU.

“Saya ingin mengapresiasi bahwa ternyata KPPU adalah lembaga negara, komisi negara yang bernyali!,” katanya dalam keterangan tertulis, Selasa (19/1).

Anggota Fraksi Partai Gerindra DPR RI yang merupakan pelopor dari perkara itu mengatakan selama ini ia kerap bicara keras terhadap KPPU, terutama berkaitan dengan lamanya putusan.

Namun setelah melihat kejadian dan keberanian KPPU dalam memutus perkara PT Conch South Kalimantan Cement, Ketua DPD Partai Gerindra Sumbar ini angkat topi. Ia mengatakan, faktanya tanggal 15 Januari kemarin KPPU membuktikan diri sebagai lembaga yang punya nyali.

“Kita tahu urusan dengan perusahaan China, banyak lembaga negara, begitu lemah dan tidak bernyali, menghadapi yang dari Tiongkok. Ternyata KPPU, berani menunjukkan taringnya, menunjukkan tajinya,” sambung anggota Komisi VI DPR ini.

Andre lantas mengusulkan kepada pimpinan Komisi VI agar anggaran KPPU bisa ditingkatkan. Ia juga mengusulkan undang-undang yang mengaturnya akan dibahas di Prolegnas 2022 setelah membahas UU BUMN.

“Saya Andre Rosiade, Komisi VI Partai Gerindra, mendukung anggaran KPPU untuk ditingkatkan, dan tahun depan mas Bimo (Aryo Bimo/Pimpinan Komisi VI), saya usulkan, undang-undangnya kita bahas juga di prolegnas tahun 2022, setelah selesai membahas UU BUMN. Sekali lagi, teman-teman KPPU punya nyali,” tutur ketua harian DPP Ikatan Keluarga Minang (IKM) ini.

Sebelumnya diberitakan KPPU menjatuhkan denda Rp 22,3 miliar kepada PT Conch South Kalimantan Cement. Hal tersebut dilakukan karena terbukti melakukan monopoli pasar dengan cara menjual rugi semen yang diproduksinya.

Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama KPPU, Deswin Nur mengatakan PT Conch South Kalimantan Cement melanggar Pasal 20 UU Nomor 5 Tahun 1999 dalam rangka penjualan semen jenis portland composite cement (PCC) di Kalimantan Selatan.

“Perilaku yang ditemukan terkait tindakan jual rugi dan harga yang sangat rendah untuk penjualan semen PCC di wilayah Kalimantan Selatan, yang mengakibatkan keluarnya beberapa pelaku usaha semen di wilayah tersebut,” kata Deswin.

Kasus ini berawal dari laporan Andre terkait upaya jual rugi dan atau penetapan harga yang sangat rendah oleh anak usaha Anhui Conch Limited dalam penjualan semen PCC di Kalimantan Selatan. Persidangan digelar pada 23 Juni 2020 dengan menghadirkan alat bukti. Di persidangan tersebut Majelis Komisi menyimpulkan Conch telah melakukan jual rugi pada tahun 2015 serta menetapkan harga yang sangat rendah pada periode 2015-2019.

“Tindakan jual rugi tersebut disimpulkan melalui bukti yang menunjukkan harga rata-rata yang lebih rendah dibandingkan harga pokok penjualan untuk penjualan semen PCC di wilayah Kalimantan Selatan. Hal tersebut turut diperkuat oleh laporan keuangan di tahun 2015, di mana Conch mengalami kerugian sebagai akibat dari perilaku tersebut,” tambahnya.

Majelis Komisi juga menemukan Conch secara kepemilikan masih dikendalikan Anhui Conch Limited selaku induk utama perusahaan multinasional yang memiliki kemampuan finansial kuat dan berpeluang untuk menguasai industri semen secara global. Dengan dukungan itu, disebutkan Conch memiliki kemampuan dan kekuatan modal finansial untuk menjalankan strategi bisnis dari proses produksi hingga pemasaran, termasuk strategi penetapan harga agar lebih mudah dibandingkan harga pasar dan atau harga pelaku usaha pesaingnya.

Deswin mengatakan strategi tersebut berdampak pada peningkatan pangsa pasar Conch secara signifikan dan keluarnya 5 pelaku usaha atau perusahaan pesaing dari pasar penjualan semen jenis PCC di wilayah Kalimantan Selatan pada tahun 2015-2019.

Ia mengatakan hal tersebut mengakibatkan pasar semen semakin terkonsentrasi dan mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. (*)