Seruan RI Agar Menghormati Hukum Internasional

kabarin.co – Sikap pemerintah Cina yang mengklaim memiliki hak menetapkan zona pertahanan udara di wilayah Laut Cina Selatan dikhawatirkan akan menimbulkan pertikaian di kawasan tersebut, kata seorang ahli hukum laut Indonesia.

Wakil Menteri Luar Negeri, Liu Zhenmin, menyatakan hal itu, Rabu (13/07), sehari setelah Mahkamah Arbitrase di Den Haag, Belanda, menolak klaim historis Cina atas Laut Cina Selatan.

retno marsudi
Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Retno Marsudi

Penetapan zona pertahanan udara dapat berdampak bagi seluruh pesawat asing yang hendak menggunakan wilayah udara Laut Cina Selatan. Mereka harus meminta izin kepada otorita Cina sebelum melintasi wilayah itu.

Guru besar Ilmu Hukum Internasional Universitas Indonesia, Zen Umar Purba, mengatakan sikap pemerintah Cina itu dapat menimbulkan pertikaian apabila negara-negara lainnya di kawasan Asia Tenggara menolaknya.

“Konsekuensinya harus tahu, kalau yang lain tidak setuju akan terjadi clash,” kata Zen Purba saat dihubungi BBC Indonesia, Rabu malam.

Sementara, pemerintah Indonesia melalui Menteri luar negeri Retno Marsudi telah meminta agar semua pihak untuk menahan diri menyusul keputusan Mahkamah Arbitrase tersebut.

“Ini sangat penting, agar tidak terjadi peningkatan tensi,” kata Menlu Retno kepada wartawan di kompleks Istana Negara.

Menurutnya, yang paling penting adalah perdamaian dan kestabilan kawasan. “Konflik terbuka bukan opsi yang bagus tentunya,” tegasnya.

RI: Hormati hukum internasional

ccg
Kapal pengawal laut Cina yang dipergoki kapal perang Indonesia di perairan Natuna.

Pemerintah Cina tetap menegaskan bahwa kepulauan yang ada di Laut Cina Selatan adalah bagian dari teritorial negara itu, kata Presiden Xi Jinping, Selasa (12/07).

Hal itu diutarakannya setelah Mahkamah Arbitrase di Den Haag memutuskan bahwa klaim Cina di Laut Cina Selatan tak memiliki landasan hukum.

Menyikapi putusan Mahkamah Arbitrase itu, Indonesia meminta semua pihak untuk menghormati hukum internasional, termasuk United nations convention on the law of the sea, UNCLOS, 1982, kata Menlu Retno Marsudi.

“Ini masalah penghormatan terhadap hukum internasional, termasuk di antaranya UNCLOS,” kata Retno Marsudi.

Dengan menghormati hukum internasional, lanjut Menlu, maka perdamaian dan stabilitas kawasan maupun dunia akan lebih muda tercapai.

kapal nelayan cina yg di tangkap
Kapal nelayan Cina (kanan) yang ditangkap oleh kapal perang Indonesia di perairan Natuna.

Sebagai negara kepulauan, menurutnya, Indonesia menganggap penting keberadaan UNCLOS dan merupakan salah-satu negara yang menandatangi kesepakatan UNCLOS.

Risiko ‘berantem’

Sementara itu, Guru besar Ilmu Hukum Internasional Universitas Indonesia, Zen Umar Purba, mempertanyakan sikap pemerintah Cina yang menolak putusan Mahkamah Arbitrase.

“Kalau tidak begitu (menerima putusan), itu susah. Cina itu ‘kan ikut menandatangi UNCLOS. Artinya (Cina) mengakuinya sebagai hukum. Di dalam UNLOS, tidak ada hak-hak historis (atas Laut Cina Selatan) semacam itu,” kata Zen.

“Kita ini mau tertib, berbudaya, beradab berdasarkan hukum, atau mau kuat-kuatan?” ujarnya.

Dia khawatir kalau sikap seperti itu terus ditunjukkan pemerintah Cina, akan melahirkan apa yang disebutnya sebagai ‘berantem’ di antara Cina dan negara-negara yang terdampak akibat sikap Cina.

Bagaimanapun, menurut Zen Purba, keputusan Mahkamah Arbitrase tersebut berdampak positif buat Indonesia.

“Memperkuat khususnya Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) kita, sehingga kita menjadi kuat,” kata Zen Purba.

Dia memberikan contoh, keputusan itu akan membuat Indonesia lebih memiliki alasan untuk mengusir kapal-kapal nelayan asing yang memasuki wilayah ZEE Indonesia.

Mengusir kapal asing

Namun demikian, dia meminta Indonesia tidak menempuh cara-cara ekspansif dalam menyelesaikan masalah perbatasan di perairan kepulauan Natuna.

“Kita jaga wilayah kita saja. Kalau nanti ada yang masuk wilayah ZEE kita, ya, tindakan kita adalah mengusirnya. Tentu saja dengan angkatan laut kita,” paparnya.

pulau reklamasi cina
Cina telah membangun pulau buatan di wilayah Laut Cina Selatan yang diprotes oleh Filipina yang berujung pada gugatan hukum.

Dalam kasus tertangkapnya kapal-kapal nelayan Cina, pemerintah Cina selalu mengklaim perairan itu sebagai wilayah tradisional nelayannya dalam mencari ikan.

Cina pernah melayangkan protes kepada Indonesia atas pengusiran kapal nelayannya, sementara Indonesia menolak dengan tegas klaim Cina berdasarkan Zona Ekonomi Eksklusif.

Walaupun Cina dan Indonesia selalu menyatakan tidak ada masalah perbatasan perairan, tetapi insiden penangkapan kapal-kapal nelayan Cina oleh TNI baru-baru ini di perairan Kepulauan Natuna, membuktikan masalah itu nyata.

Di tengah insiden itu, Presiden Joko Widodo memimpin rapat kabinet di kapal perang yang tengah melakukan patroli di perairan Indonesia di wilayah Natuna.

Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu dalam wawancara dengan BBC Indonesia baru-baru ini menjelaskan rencana Indonesia untuk meningkatkan kekuatan militer di kawasan tersebut. (bbc)