Features: Maaf, Juara IGC 2016 adalah Payakumbuh Barat

Kabarin.co – Siapa yang akan juara edisi perdana turnamen sepakbola Irman Gusman Cup 2016? Jika ditebar polling kecil-kecilan, besar kemungkinan yang menjawab Koto Tangah akan mendapat porsentase tertinggi. Tentunya itu normal-normal saja, wakil ibukota Provinsi ini dianggap punya segalanya untuk jadi kampiun.

Tapi mohon maaf, saya memilih jalan lain, karena saya punya jagoan tersendiri untuk dielus-elus jadi juara turnamen antar kecamatan se Sumatra Barat itu. Saya titipkan harapan pada Kecamatan Payakumbuh Barat untuk mengangkat piala 22 Mei nanti di Stadion H. Agus Salim Padang.

Subjektif? mungkin saja. Ada keterikatan atau sentimen emosional? Tidak juga. Atau Mungkin karena faktor fanatisme daerah asal? Jelas itu salah besar, karena saya bukan orang Payakumbuh. Jadi?

Saya berani melawan arus, tentunya ada argumen tersendiri. Saya melihatnya dari sisi bagaimana mereka membentuk tim Kecamatan ini untuk IGC ini. Juga melihat pemain-pemain yang diturunkan. Dua hal yang membuat Payakumbuh “layak” menjadi juara.

Saya berani katakan, hampir 100 persen pemain mereka adalah pemain yang mereka ciptakan sendiri.  Mereka, adalah pemain -pemain yang dilahirkan dari sebuah sistem yang berjalan rapi, dan keseriusan membangun sepakbola di kota kecil mereka.

Payakumbuh adalah kota yang sangat peduli pada pembinaan usia dini. Di Sumbar, mereka adalah kota yang pertama kali menggelar liga antar SSB, yang berjalan teratur setiap tahun dari berbagai tingkatan usia.

Tak asal liga, tak asal ramai, dan tak asal ikut, tapi benar-benar dijalankan diatas rule dan aturan yang jelas dan tegas. Bernaung dibawah satu Ikatan SSB Kota Payakumbuh, kompetisi usia dini digelar, dan sampai saat ini sudah berjalan 13 tahun.

“Gila, biasanya tak ada yang tahan menggelar kompetisi usia dini selama itu. Paling lama empat tahun sudah bosan. Tapi ini kok bisa betah ya.”takjub seorang legenda sepakbola nasional, Risdianto, suatu ketika berkesempatan datang ke Payakumbuh.

Bagaimana tidak, mungkin Payakumbuh adalah pioneernya,   dana APBD dialokasikan untuk pembinaan sepakbola usia dini. Dengan dana itu, mereka memutar kompetisi, subsidi SSB, bahkan beasiswa untuk anak-anak yang berprestasi.

Kompetisi pun berjalan rutin dan lancar. Aturan pun diterapkan dengan tegas. Jangan coba-coba curi umur, langsung kena sanksi atau banned tak boleh ikut. Jangan coba-coba merusak jadwal, misalnya mangkir dari satu pertandingan, ada Komdis yang siap menjatuhkan vonis.

Kalau mau ikut, sebuah SSB harus sanggup memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Salah satunya harus punya lapangan yang jadi home base, karena jelek-jelek begitu, pertandingan menerapkan sistem home and away. Lainnya, alih status dan perpindahan pemain antar SSB pun diatur dengan cermat, tak boleh sembarangan.

Kalau berniat mau curang soal pemain, sebaiknya diurungkan saja, karena ada bank data pemain yang akan bicara. Artinya, SSB yang ikut benar-benar SSB yang taat aturan. Kalau yang coba-coba nakal atau tak jujur, nantinya mereka akan terseleksi secara alami.

Nah, dengan fakta seperti itu, kompetisi usia dini di Payakumbuh terus berjalan, walau terkadang ada dinamika. Tapi yang jelas, keseriusan dan kebetahan mengurus anak-anak itu sudah mendatangkan nilai lebih bagi sepakbola Payakumbuh hari ini.

Silahkan tanya pemain Payakumbuh Barat, dengan satu pertanyaan pendek. “Dari SSB mana dulu?” hampir dipastikan dia akan menyebutkan nama salah satu SSB di Kota Biru itu, entah itu SSB Sonyak, Global, Arafah, dan sebagainya.

Apa yang bisa ditarik dari tim Payakumbuh Barat ini?  tak lain tak bukan mereka telah memperoleh hasil dari sebuah upaya pembinaan yang mereka lakukan. Mereka tak pernah khawatir kekurangan pemain, karena memang tak pernah kehabisan bibit pemain, yang dari tahun ke tahun selalu muncul.

Lihat saja ajang usia dini Danone Nations Cup misalnya, yang bisa dijadikan salah satu parameter pembinaan sepakbola usia dini di Sumbar. Dalam lima tahun terakhir ini saja, tiga kali wakil mereka tampil sebagai juara dan mewakili Sumbar ke tingkat nasional, dan sekali jadi finalis. Hanya tahun 2015, wakil mereka mentok di 8 besar regional Sumbar.

Jadi,   dengan capaian semifinal wakil Kota Payakumbuh di IGC ini, saya sebenarnya tak heran lagi. Bahkan saya menganggap mereka layak tak hanya sampai semifinal, tapi harusnya lebih tinggi lagi. Saya berani menempatkan mereka sebagai tim favorit juara. Mengangkat piala juara atau tidak mereka di Stadion H. Agus Salim, Minggu (22/5), bagi saya mereka tetap sang juara turnamen ini.

Epi Wardi, seorang pegiat sepakbola usia dini di Payakumbuh pernah berucap, tentang obsesinya yang mau habis-habisan mengurus kompetisi SSB. “Tidak ada yang lain, kami hanya ingin melihat suatu saat nanti di televisi ada pemain binaan kami memakai kostum Timnas Indonesia.”ucap lelaki yang akrab disapa Mak Puk itu. Sangat sederhana cita-cita mereka.

Sampai titik ini, saya ingin meminjam quotes favorit Sang Ketua Harian Panpel IGC, Hardimen Koto, yang dikutipnya dari William “Bill” Shankly. “Sepakbola itu tak hanya soal kalah dan menang, tapi mainkanlah sepakbola itu dengan cinta.”

Payakumbuh sudah membuktikan, dengan cinta mereka membina sepakbola, dengan cinta mereka berusaha menciptakan pemain-pemain muda yang berkualitas, dan bisa menjadikan sepakbola sebagai pilihan hidupnya di masa depan.

Disinilah saya berbulat hati menjadikan Wakil Payakumbuh sebagai juara IGC 2016, ada atau tidak piala yang mereka rebut.  Ada atau tidak panggung juara untuk mereka nantinya,  sesungguhnya bagi saya mereka sudah “juara” sebelum turnamen ini digelar.  Bukankah hal seperti ini yang dicari para pengaggas IGC? (Rizal Marajo)