Terdapat kekeliruan pola berpikir bagi kalangan pengamat atau analis seperti ini. Yang sebetulnya terjadi adalah cara lompat katak, yakni jalan pintas untuk memasuki jalur partai politik dengan cara menyewa kendaraan atau perahunya. Betapa politisi di masing-masing partai politik sudah gosong ditimpa terik matahari, bekerja siang malam mengelola partai politik dan konstituennya, sama sekali tak dihitung sebagai aset. Mereka yang tampil sebagai kontraktor pilkada alias hanya melihat partai politik sebagai tangga menaiki pucuk-pucuk kekuasaan, malahan dikasih cap sebagai pahlawan baru yang sengaja didorong untuk “mengubah keadaan”. Rating elektabilitas diusung sebagai basis legitimasi yang menghilangkan sama sekali kerja keras masing-masing partai politik untuk bertahan di tengah banyak goncangan.
Sudah saatnya pandangan-pandangan seperti itu disingkirkan atau ditolak dengan keras oleh partai-partai politik. Sudah banyak contoh betapa kalangan yang mengaku-ngaku independen sesungguhnya juga manusia oportunis yang mencari lubang-lubang kekuasaan guna mobilitas sosial dan politik. Mereka juga berburu kekuasaan, bahkan jauh lebih ganas dari kalangan politisi yang bernaung dalam tubuh partai-partai politik. Mereka menggunakan jejak-jejak profesional dan independensi mereka untuk menyerang dan meruntuhkan kalangan politisi dalam tubuh partai-partai politik. Padahal, ketika mereka diberikan jabatan-jabatan publik yang terhubung dengan kekuasaan politik, mereka dengan senang hati bertengger dan bersemayam di dalamnya. Bahkan, itupun dengan cara menghilangkan sikap kritis kepada penyelenggara negara yang berpangkat lebih tinggi dari mereka, sebagai pertanda bahwa mereka juga ketakutan kehilangan panggung dan energi kuasa yang mengikat diri mereka.