PT Aviasi Pariwisata Indonesia, atau yang lebih dikenal sebagai InJourney, merupakan hasil penggabungan beberapa perusahaan BUMN di sektor pariwisata dan penerbangan sejak tahun 2021.
Holding ini terdiri dari PT Angkasa Pura, PT Integrasi Aviasi Solusi, PT Hotel Indonesia Natour, PT Sarinah, PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, Ratu Boko, serta PT Pengembangan Pariwisata Indonesia.
Di bawah kepemimpinan Donny Oskaria, InJourney berhasil mencapai kinerja yang luar biasa.
Meskipun pada tahun 2022 perusahaan mencatat kerugian sebesar Rp 993 miliar, pada tahun 2023 InJourney berhasil membalikkan keadaan dengan mencatat laba sebesar Rp 1,1 triliun, atau meningkat 211%.
Bahkan, pada semester I tahun 2024, laba perusahaan telah mencapai Rp 897 miliar.
Keberhasilan ini tidak lepas dari penerapan strategic holding yang dijalankan oleh Donny Oskaria.
Dalam sebuah dialog, Donny menjelaskan bahwa kebijakan ini memungkinkan anak perusahaan untuk bergerak lebih fleksibel, tanpa terkungkung oleh kebijakan induk perusahaan.
Induk perusahaan hanya bertugas melakukan pengawasan kinerja dan memberikan arahan agar anak perusahaan dapat berjalan secara stabil.
InJourney dan SIG: Penerapan Strategic Holding yang Berhasil
Embrio konsep strategic holding sebenarnya berasal dari Semen Indonesia Group (SIG), yang telah mengembangkan blue print-nya sejak tahun 2004.
SIG resmi beroperasi sebagai strategic holding pada tahun 2010 di bawah kepemimpinan Dwi Soejipto.
Holding ini berhasil menyatukan PT Semen Padang, PT Semen Gresik, dan PT Semen Tonasa.
Selain itu, SIG juga melakukan akuisisi terhadap Than Long Cement Vietnam pada tahun 2012 dan Holcim pada tahun 2019.
Kinerja SIG sebagai strategic holding terbilang sukses.
Pada tahun 2013, laba perusahaan mencapai Rp 5,3 triliun, dan meningkat menjadi Rp 5,57 triliun pada tahun 2014.
Namun, pada tahun 2015 dan 2016, laba menurun menjadi Rp 4,57 triliun dan Rp 4,01 triliun akibat meningkatnya beban operasional selama pembangunan Pabrik Rembang dan Indarung VI.
Tantangan SIG: Dari Strategic Holding ke Operating Holding
Namun, perubahan kebijakan dari strategic holding menjadi operating holding membuat kinerja SIG menurun drastis.
Kebijakan ini menyebabkan PT Semen Padang dan PT Semen Tonasa kehilangan fleksibilitas dalam mengambil keputusan.
Akibatnya, kehadiran kedua perusahaan ini kurang dirasakan oleh masyarakat, terutama di Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan.
Bahkan, sektor UMKM dan kontraktor lokal terabaikan, dan kondisi ekonomi di kedua daerah tersebut merosot tajam.
Selain itu, kebijakan sentralisasi juga berdampak pada strategi pemasaran.
Harga semen PT Semen Padang di Kota Padang mencapai Rp 78.000 hingga Rp 80.000 per sak, lebih mahal dibandingkan pesaing seperti Indocement (Rp 71.000), Semen Garuda (Rp 66.000), dan Semen Merah Putih (Rp 66.000).
Hal ini menimbulkan protes dari masyarakat dan anggota DPR RI, Andre Rosiade, yang menyebut praktik ini sebagai predatory pricing.
Kritik dan Harapan untuk Kembali ke Strategic Holding
Kritik pedas terhadap kinerja SIG terus mengemuka, terutama dari Andre Rosiade.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan SIG pada Desember 2024, Andre menyoroti penurunan kinerja SIG yang drastis.
Misalnya, Indocement berhasil mencatat penjualan sebesar Rp 621 miliar dengan 12 kiln semen, sementara SIG dengan 23 kiln hanya mampu membukukan Rp 218 miliar.
Untuk mengatasi hal ini, tidak ada cara lain selain mengembalikan kebijakan strategic holding.
Dengan kebijakan ini, anak perusahaan seperti PT Semen Padang, PT Semen Tonasa, dan PT Semen Gresik dapat bergerak lebih maksimal dan gesit dalam menentukan pasar dan mengelola distribusi.
Induk perusahaan hanya perlu menetapkan KPI dan SOP untuk memastikan kinerja yang optimal.
Tantangan Industri Semen Nasional di Tahun 2025
Tahun 2025 diprediksi akan menjadi tahun yang menantang bagi industri semen nasional. Permintaan semen diperkirakan menurun seiring dengan kebijakan penghematan yang dilakukan oleh Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran.
Anggaran proyek infrastruktur pemerintah, yang biasanya mencapai lebih dari Rp 100 triliun per tahun, dipangkas menjadi hanya Rp 50 triliun pada tahun 2025.
Oleh karena itu, penting bagi Kementerian BUMN untuk segera mengubah kebijakan operating holding menjadi strategic holding.
Dengan demikian, perusahaan-perusahaan semen kebanggaan Indonesia dapat kembali bersaing dan memberikan kontribusi positif bagi perekonomian nasional.
Masyarakat juga perlu berperan aktif dalam membangkitkan kembali kejayaan PT Semen Padang dan perusahaan semen lainnya. Dengan dukungan bersama, kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi daerah dapat kembali meningkat. (***)
Oleh: Verry Mulyadi SH, Sekretaris Komisi IV DPRD Sumbar