Pasaman, Kabarin.co–PERAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) SEBAGAI PRODUK SOSIAL DALAM PENGEMBANGAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA: STUDI ATAS FUNGSI, TANTANGAN, DAN REFORMULASI.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan hasil kodifikasi hukum Islam di Indonesia yang disusun berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991.
Meskipun tidak memiliki kekuatan hukum yang setara dengan undang-undang, KHI diakui dan digunakan secara resmi oleh peradilan agama sebagai pedoman dalam menangani perkara yang berkaitan dengan perkawinan, kewarisan, dan wakaf.
Dalam sistem hukum nasional, KHI berperan penting sebagai jembatan antara norma-norma hukum Islam dan kebutuhan hukum positif Indonesia, dengan mempertimbangkan kondisi sosial budaya masyarakat yang majemuk.
Kedudukannya yang strategis menjadikan KHI sebagai sumber hukum praktis yang memberikan arah penegakan hukum Islam secara nasional.
Sebagai produk sosial, KHI tidak lahir semata-mata dari nash-nash fikih klasik, melainkan melalui pendekatan ijtihad yang mempertimbangkan realitas lokal.
KHI mencerminkan respons terhadap kebutuhan masyarakat Muslim Indonesia, serta memperlihatkan sifat fleksibel dan adaptif hukum Islam dalam menghadapi perkembangan zaman. Pendekatan yang digunakan dalam KHI dapat dikaji melalui teori hukum responsif, yang menekankan bahwa hukum harus dinamis dan mampu merespons perubahan sosial secara konstruktif.
Sebagai contoh, KHI mengakomodasi ketentuan seperti peran wali hakim dan pola pembagian warisan yang lebih kontekstual demi keadilan substantif, terutama terhadap perempuan dan anak-anak.
Namun, di tengah peran strategisnya, KHI menghadapi sejumlah tantangan yang memerlukan perhatian serius.
Perubahan sosial, teknologi, dan tuntutan kesetaraan gender membuat sebagian isi KHI dianggap belum memadai atau perlu diperbarui. Misalnya, ketentuan usia pernikahan dalam KHI tidak lagi sejalan dengan Undang-Undang Perkawinan yang baru, begitu pula dengan perlindungan hak perempuan dan anak yang lebih progresif dalam regulasi nasional. Di sisi lain, status KHI yang hanya berupa Inpres menimbulkan perdebatan yuridis terkait legitimasi dan daya ikatnya, sehingga diperlukan upaya revisi dan penguatan posisi hukum KHI agar lebih efektif dalam penegakan hukum Islam.
Seiring dengan kemajuan teknologi dan digitalisasi, KHI memiliki prospek besar untuk dikembangkan secara lebih inklusif dan modern. Penguatan kelembagaan peradilan agama dan integrasi sistem digital seperti e-court, sertifikat nikah digital, dan pelayanan hukum berbasis daring memerlukan adaptasi materi hukum yang sesuai.
Pembaruan KHI juga harus mempertimbangkan harmonisasi dengan peraturan nasional lainnya, seperti UU Perlindungan Anak, UU Perempuan, dan ketentuan ekonomi syariah. Dengan langkah tersebut, KHI tidak hanya menjadi sumber hukum yang sah, tetapi juga relevan dengan kebutuhan hukum masyarakat kontemporer.
Sebagai kesimpulan, Kompilasi Hukum Islam memiliki peran vital dalam membumikan hukum Islam dalam sistem hukum nasional Indonesia secara moderat dan responsif.
KHI telah memberikan kontribusi nyata dalam peradilan agama dan kehidupan sosial masyarakat Muslim, namun juga harus terus diperbarui agar tetap kontekstual dan menjawab tantangan zaman. Dengan memperkuat legalitas, merevisi substansi hukum yang tidak relevan, serta mengintegrasikan KHI dengan perkembangan digital dan sosial, maka KHI akan tetap menjadi instrumen penting dalam menjaga keadilan, kepastian hukum, dan kemaslahatan umat di masa depan.
Oleh : Muhammad Doni