SALUT! Cuma Bisa Gerakan Kepala dan Jari, Alumni UNAND Ini Tuntut Ilmu S3 ke Australia

kabarin.co – Antoni Saputra, Alumni sastra Inggris Universitas Andalas (Unand) ini, memang terlahir dalam keadaan difabel (cacat), jenis physical impairment dengan specific congenital muscular dystrophy, tetapi segala keterbatasan fisik yang dialaminya bukanlah halangan bagi Antoni untuk tuntut ilmu hingga ke benua Australia, jenjang S2 hingga saat ini S3.

Pria yang merupakan pegawai Pemerintah Kota (Pemko) Padang, Sumatera Barat. sebelum melanjutkan pendidikan ke Australia ini mengaku cuma bisa menggerakan kepala dan jari yang terbatas.

Meski begitu, Antoni tidak menjadikan keterbatasannya sebagai penghalang. Saat masih kuliah S-1, dia membuka les bahasa Inggris dengan uang bulanan hanya Rp 5.000.

Salah satu orangtua murid kemudian memberi tahu ada program Pemerintah Kota Padang untuk mempekerjakan difabel.

Tawaran itu diterimanya, sebab ingin menunjukkan, penyandang disabilitas juga bisa bekerja di bidang lain.

“Ada justifikasi yang beredar, pengguna kursi roda cocoknya jaga warung atau reparasi elektronik, tukang pijat, dan lainnya,” beber Antoni yang berangkat dari pegawai honorer kemudian diangkat tujuh tahun berselang itu.

Selain Aparatur Sipil Negara (ASN), Antoni bermimpi untuk membangun pusat penelitian disabilitas di Indonesia.

Alasan Antoni, Indonesia sebenarnya sudah banyak kemajuan untuk pemenuhan dan perlindungan hak difabel. Namun, kondisi masyarakat difabel di Indonesia, terutama dari kalangan akar rumput, masih jauh dari apa yang disebut dalam ungkapan living a good life.

Kaum difabel di Indonesia masih harus berpikir sendiri bagaimana caranya bisa terus berjuang di tengah lingkungan dan masyarakat yang masih memandang dengan sebelah mata.

“Implementasi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas secara serius itu perlu. Mereka harus dilibatkan secara aktif dalam berbagai jenjang pembangunan di Indonesia,” tukas Antoni.

Tantangan Antoni dalam menjalani pendidikan

Sejak jenjang S-1 hingga S-3, Antoni selalu langganan meraih beasiswa. Ketika S-1, Antoni berkuliah di Universitas Andalas, Padang, dengan beasiswa Bung Hatta.

Kemudian S-2 dia menempuhnya di Griffith University Queensland dengan beasiswa disability package Australia Award dari Pemerintah Australia.

Lalu pada jenjang doktoral, pria kelahiran Bukittinggi tersebut berkuliah di University of New South Wales, Sydney, dengan beasiswa dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).

“Saya bukan orang yang suka melakukan sesuatu setengah-setengah. Saya harus menjalankannya semaksimal mungkin,” kata Antoni yang ingin maju di pendidikan.
nya.

Semua perjuangan yang dilaluinya memberikan tantangan tersendiri, khususnya ketika S-1, kampusnya tidak mempunyai akses untuk difabel seperti dirinya.

“Untungnya, saya mendapatkan banyak teman yang mau membantu. Mereka membopong saya di atas kursi roda, naik turun tangga ke ruang kuliah,” kenang Antoni.

Selanjutnya saat menempuh S-2, Antoni mesti lebih dulu meyakinkan orangtuanya, terutama harus meyakinkan sang ibu yang begitu khawatir dengan tinggal jauh meski dia ditemani ayahnya, Effendi.

Kondisi Antoni memang tidak memungkinkan melakukan kegiatan sehari-hari sendirian meski di kampus terdapat akomodasi berupa teknologi di berbagai fasilitas umum dan moda transportasi bagi penyandang disabilitas.

Menginjak S-3, bantuan yang didapatkan Antoni kini tidak hanya dari ayahnya, tetapi juga sang istri, Yuki Melani, yang dikenalnya lewat media sosial. Tetapi kemudian mereka memutuskan menikah pada 2011.

Nanti, usai merampungkan program doktoralnya, Antoni bakal kembali ke Padang untuk mengabdi sebagai staf di Dinas Sosial. (*/sumber: tribunpekanbaru)