Dilemma antara Nista Agama dan Fitnah Ahok

kabarin.co – Senin ini (7/11/2016), kasus penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta petahana, Basuki Tjahja Purnama alias Ahok mulai diperiksa polisi. Rencananya dimulai dari saksi-saksi, baik saksi pelapor, maupun saksi ahli dari kedua belah pihak. Bahkan untuk itu, (tidak biasanya) polisi akan menayangkan secara langsung (live) di televisi untuk proses tersebut.

Dalam keterangan persnya kemarin (6/11). Kapolri Jenderal Tito Karnavian, selain menyatakan akan memproses Ahok soal dugaan penistaan agama, dia menyinggung soal kemungkinan (besar) pemeriksaan terhadap Buni Yani yang dituding pertama kali mengunggah video acara Ahok di Pulau Seribu itu. Tito, dalam keterangan pers tersebut, terkesan membela Ahok, dengan mempersoalkan kata “pakai” yang diduga dihilangkan Buni Yani, sehingga memiliki makna yang berbeda.

Penistaan agama, dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tercantum dalam  pasal 156 a, “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b.    dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Sedangkan tuduhan yang dilayangkan kepada Buni Yani adalah fitnah, seperti yang tercantum dalam pasal 311 ayat (1) KUHP, atau turunannya yang ada dalam UU No.32 tahun 2002 tentang penyiaran dan UU No.11 tahun 2008 Infomasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) No.11 tahun 2008. Pasal 311 ayat (1) menyebut “ Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”

Saya sungguh akrab dengan pasal-pasal yang disebut di atas. Dalam pasal 156a KUHP, saya pernah menjadi salah satu tim advokat yang mewakili para pemohon korban 156 a KUHP, untuk menguji materi UU tersebut ke Mahkamah Konstutusi. Sedangkan, untuk pasal 311 (1)  KUHP saya pernah diadili dalam kasus tulisan di Majalah TEMPO, “Ada Tomi di Tenabang?” pada 2003. Bahkan penyidikannya saat di Polda Metrojaya adalah Tito Karnavian yang sekarang menjadi Kapolri. Di Pengadilan sampai Mahkamah Agung (MA) saya dinyatakan lepas dari segala tuntutan atau onslag van alle recht vervolging. Saya juga sempat menjadi saksi untuk Jurnalis Radar Surabaya Risang Bima Wijaya dan Bersihar Lubis, saat LBH Pers mengajukan uji matei pasal 310 dan pasal 311 (1) KUHP pada 2008.titoat3

Penistaan, menurut bahasa berasal dari kata nista, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), berarti hina ; rendah, tidak enak didengar, aib, cela, noda, Menista ; menjadikan (menganggap), merendahkan derajat, menghinakan,  cercaan, makian, perbuatan (perkataan). Pelakunya disebut penista.

Sedangkan fitnah, menurut KBBI, berarti perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang (seperti menodai nama baik, merugikan kehormatan orang):  menjelekkan nama orang, menodai nama baik, merugikan kehormatan.

Kasus penistaan, seperti yang tercantum dalam pasal 156a KUHP itu, memang rawan dan sering disalahgunakan oleh penguasa demi berbagai kepentingan atau tekanan. Seringkali pasal tersebut dimultitafsiri oleh aparatur penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim), baik karena perasaan keber-agama-annya, maupun karena tekanan atau kepentingan tertentu. Begitupula dengan pasal 311 (1) KUHP, digunakan orang untuk menghambat kebebasan berekspresi.

Jika harus diperiksa, kedua kasusnya, walaupun saya tidak suka dengan pasal-pasal tersebut di atas, yang didahului adalah kasus tuduhan penistaan oleh Ahok.  Dari segi bobot tokoh, Ahok saat menyatakan Surat Al-Maidah ayat 51 (pakai atau tanpa kata pakai) adalah sebagai Gubernur Jakarta yang melakukan kunjungan kerja, dan memakai seragam dinas di Pulau Seribu. Biasanya, jika menyangkut tokoh apalagi yang dekat dengan kekuasaan (atau berkuasa), sangat sulit tersentuh oleh hukum. Begitu juga jika dilihat, dari ancaman hukuman, dan tekanan atau perhatian yang begitu besar terhadap kasus tersebut.

Sedangkan kasus yang menyangkit Buni Yani, bukan mengecilkan sosoknya, tapi bobot ketokohan Buni Yani tak sebesar Ahok. Dia seorang dosen yang kreatif dengan kemampuan mengedit video atau audio. Tanpa (jika bernar) mengedit (menghilangkan) kata pakai, tentang Quran Surat Al-Maidah ayat 51 diucapkan oeh Ahok dengan sengaja, berkali-kali. Walaupun yang dia tuding itu adalah orang-orang (yang menggunakannya). Dari segi ancaman hukuman juga lebih rendah satu tahun, 4 tahun dari kasus penistaan 156a KUHP.

Untuk kasus 156a KUHP biasanya, karena ancaman hukumannya lima tahun, dikenai tahanan. Walaupun untuk kasus Ahok ini saya yakin tak mungkin dikenai tahanan, kecuali ada tekanan politik dan keinginan politik yang begitu kuat terhadapnya. Sedangkan untuk Buni Yani, walaupun boleh tidak ditahan, dia bisa saja ditahan, karena bobot tokohnya yang kurang, dan jagaan terhadap dirinya tak begitu kuat. Alasan polisi, biasanya, takut menghilangkan barang bukti.

Tentu tidak mudah, menentukan mana yang kasusnya akan berlanjut? Masih tergantung kepentingan politik yang melingkupi kasus tersebut, terutama kasus dugaan penistaan oleh Ahok. Kalau saya disuruh memilih, bagi saya ini dilemma antara nista dan fitnah. Saya berharap bebaskanlah kedua-duanya. Hapuskan pasal-pasal tersebut. Namun, keinginan saya itu terbentur dengan realita. Biasanya saksi ahli dari penyidik (polisi atau jaksa), akan berpegangan bahwa kenyataannya pasal-pasal ini masih berlaku dan melihat dampak dari perbuatan; meresahkan, menimbulkan gangguan ketertiban umum yang meluas. (###)

Kolom : Ahmad Taufik, S.H., M.I.Pol : Penulis adalah pengajar dosen STIKOM Bandung, jurnalis dan advokat.