Asia Tenggara akan Jadi Tempat Nyaman bagi Teroris

kabarin.co – Peringatan di atas disampaikan David Ignatius dalam kolomnya di Washington Post, edisi 18 Agustus lalu. Judulnya ‘Southeast Asia Could be a Haven for Displaced Islamic State Fighters’. Pada hari yang sama artikel itu juga diterbitkan oleh media internasional berbahasa Arab, al Sharq al Awsat, dengan judul ‘Janub Sharqi Asia Malladzan li Da’ish’.

Ignatius merupakan wartawan dan novelis Amerika. Dia juga co-host PostGlobal, sebuah diskusi online tentang isu-isu internasional di Washingtonpost.com, dengan Fareed Zakaria. Selama karirnya sebagai wartawan, ia telah banyak meliput kawasan konflik di Timur Tengah dan Afrika Utara. Ia juga telah mewawancarai sejumlah tokoh di kedua kawasan tersebut.

Dengan latar belakang seperti itu ia tentu tidak asing dengan persoalan terorisme. Bahkan bisa dikatakan merupakan pakarnya. Termasuk tentang sebuah kelompok yang menamakan diri sebagai Negara Islam di Irak dan Suriah alias ISIS. Karena itu, pandangannya perlu kita simak.

Mengenai ISIS, ia pernah menyatakan negara-negara konflik atau wilayah ‘tak bertuan’ berpotensi dimasuki ISIS. Lihatlah kini ISIS telah masuk ke Libya, Yaman, Afghanistan, Sinai (Mesir), Somalia, dan seterusnya. Bahkan sudah masuk ke Filipina Selatan, bekerja-sama dengan kelompok Abu Sayyaf. Karena itu tidak aneh bila ada kesamaan pola antara Abu Sayyaf dan ISIS. Menyandera, memenggal kepala, meminta tebusan, dan mengancam sasarannya sudah merupakan bahasa sehari-hari dua kelompok teroris tersebut.

Kini ia memeringatkan negara-negara di Asia Tenggara tentang bahayanya ISIS. Menurutnya, ISIS memang kurang begitu berhasil merekrut para radikalis dari negara-negara di Asia Tenggara. Dari sisi jumlah hanya ratusan. Bandingkan dengan para pemuda dari negara-negara Eropa yang berhasil direkrut ISIS yang jumlahnya ribuan. Namun, apa yang akan terjadi bila suatu hari kelak ISIS berhasil dihancurkan dan ‘para pejuang asing’ dari Indonesia, Malaysia, dan Filipina kembali ke kampung halamannya?

Baginya, perang melawan terorisme adalah persoalan global. Bukan sekadar urusan di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara. Mengutip analisa para pakar terorisme di Australia, Ignatius menyampaikan, akan datang fase baru yang sangat berbahaya di mana para kelompok-kelompok teroris itu akan mencari tempat yang nyaman bagi basis baru mereka. Asia Tenggara berpotensi menjadi basis baru ini.

Selama ini, dalam rangka mengawasi kelompok-kelompok radikal dan menumpas para teroris, beberapa negara Asia Tenggara telah bekerja sama dengan Amerika Serikat (AS). Antara lain dalam bentuk bantuan pelatihan kepada Kepolisian Indonesia. Tepatnya Densus 88 yang dibentuk Polri. Sejauh ini mereka telah berhasil menumpas Jamaah Islamiyah — yang berafiliasi kepada Alqaida –, sebuah kelompok radikalis yang berada di belakang serangan bom Bali pada 2002 yang menewaskan lebih dari 200 orang.

Yang jadi persoalan, ternyata kehidupan penjara, kampung-kampung padat dan kumuh, serta kelompok-kelompok kecil para pemuda radikal di Asia Tenggara telah menjadi semacam inkubator buat tumbuhnya terorisme. Mereka inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh agen-agen ISIS, antara lain direkrut untuk melakukan berbagai serangan teror. Serangan bom Thamrin, Jakarta, pada Januari lalu yang menewaskan delapan orang diakui ISIS sebagai pelakunya.

Mayoritas umat Islam di Asing Tenggara memang menolak kekerasan dan radikalisme. Namun, untuk membuat serangan massal — seperti bom bunuh diri — hanya dibutuhkan sebuah kelompok kecil. Mengutip pakar dan peneliti terorisme yang juga penasihat senior International Crisis Group, Sidney Jones, aktivitas kelompok-kelompok radikal di Asia Tenggara kini lebih meningkat dibandingkan sepuluh tahun lalu.

Sejumlah orang dari kelompok radikalis dan berpotensi melakukan teror dari Asia Tenggara kini telah bergabung dengan ISIS di Suriah dan Irak. Dari Indonesia diperkirakan antara 500-600 orang. Sedangkan dari Malaysia 100 orang, dan puluhan orang dari Filipina. Secara keseluruhan jumlah mereka masih lebih banyak dibandingkan dengan mereka yang pernah bergabung dengan Alqaida di Afghanistan sebelum peristiwa 11 September 2001.

‘‘Kami belum pernah melihat yang terburuk seperti ini di Asia Tenggara,’’ tulis Ignatius mengutip pernyataan Aarun Connelly, peneliti di Lowy Institute, lembaga kebijakan luar negeri di Sydney, Australia.

Mengutip para pakar di Australia, Ignatius menyatakan, ada tiga faktor yang bisa memperluas jaringan-jaringan kecil teroris di Asia Tenggara. Pertama, deklarasi sebuah kelompok yang berafiliasi ke ISIS di pedalaman hutan di Filipina Selatan yang tidak terjangkau oleh hukum pemerintah pusat di Manila. Kedua, perekrutan relawan baru ISIS yang menyusup atau disusupkan di tentara Malaysia. Ketiga, munculnya kembali semangat ‘jihad’ dari para tahanan yang telah dibebaskan dari penjara-penajara di Indonesia.

Dalam video yang dirilis pada Juni lalu, mereka yang tergabung dengan ISIS dari Asia Tenggara telah mengumumkan berdirinya kekhalifahan di Filipina. Kawasan ini bisa menjadi ‘surga’ bagi kelompok radikal lantaran pemberontakan umat Islam terhadap pemerintahan pusat yang didominasi Katolik telah berlangsung selama satu abad.

‘‘Bunuh orang-orang kafir di mana kalian menemukan mereka,’’ ujar Abu Abdul Rahman al-Filipini dalam video yang direkam di Raqqa, Suriah, dan diterjemahkan oleh SITE Intelligence Group.

Di Malaysia, keberhasilan kelompok radikalis loyalis ISIS menyusup dalam tubuh tentara tentu sangat mengkhawatirkan. Menteri Pertahanan Malaysia di depan parlemen tahun lalu menyatakan, sedikitnya 70 anggota tentara negaranya merupakan loyalis ISIS.

Sebelum ini, Malaysia masih ragu terhadap berbagai bantuan dari Barat. Namun, sejak tahun lalu mereka telah bekerja sama dengan Australia dan AS untuk mengawasi kelompok-kelompok radikal ini.

Sedangkan di Indonesia, polisi telah bertindak tegas terhadap kelompok-kelompok radikal. Bahkan telah berhasil memenjarakan dan juga menewaskan beberapa di antara mereka. Namun, seperti halnya di Irak dan Suriah, penjara ternyata justru menjadi tempat berkembang biak bagi ekstremisme. Para pakar terorisme di Australia khawatir dengan sekitar 200 mantan ‘jihadis’ yang diperkirakan akan dibebaskan dari penjara-penjara di Indonesia dalam waktu dekat.

Selama hampir 15 tahun, sebut Ignatius, AS secara diam-diam telah membantu mendanai upaya kontraterorisme di Asia Tenggara. Dalam sebuah studi yang diterbitkan tahun lalu oleh The Combating Terrorism Center di West Point menyebutkan, AS telah menggelontorkan bantuan senilai 441 juta dolar untuk Filipina. Sebagian besar untuk tentara/militer. Sedangkan bantuan untuk Indonesia sebesar 262 juta dolar. Sebagian besar untuk kepolisian.

Bantuan untuk Polri, masih menurut hasil studi tadi, ternyata hasilnya lebih baik. Ini terbukti serangan teroris di Filipina meningkat 13 kali lipat antara tahun tahun 2002 dan 2013. Sementara serangan teroris di Indonesia turun 26 persen dibandingkan periode yang sama dengan Filipina.

Mengakhiri artikelnya, David Ignatius menyatakan ISIS dan kekhalifahannya (kekuasaannya) di Irak dan Suriah bisa saja, suatu waktu, ambruk atau hancur, namun akan ada efek bumerangnya. Yaitu ancaman radikalisme yang lebih besar ketika para ‘pejuang’ ISIS itu kembali ke negara asal masing-masing. (rep)

Baca juga:

Polri Terus Telusuri Situs yang Sebarkan Radikalisme

PBNU: Islam Mengutuk Aksi Kekerasan dan Terorisme atas Nama Agama

NU: Islam Radikal dan Islam Liberal Sama-sama Berbahaya!

DPR: Liberalisme Penyebab Munculnya Berbagai Paham Radikal di Indonesia