Banjir Bandung, antara Perilaku Masyarakat, Anomali Cuaca dan Salah Urus si Paris van Java

Daerah4 Views

kabarin.co-Bandung, kota indah nan romantis sehingga orang Belanda menyebutnya Paris van Java, kini tampak amburadul. Betapa tidak. Hujan yang mengguyur Bandung beberapa hari lalu, menyebabkan Paris van Java ini “nyaris tenggelam”.

Sementara itu, banjir yang menerjang Jalan Pagarsih di Kelurahan Cibadak, Kecamatan Astana Anyar, mengakibatkan satu mobil Nissan Grand Livina, Daihatsu Charade, dan satu motor hilang ditelan Sungai Citepus (24/10/016). Dua mobil dan satu motor itu terseret arus banjir dan masuk ke dalam sungai, kata Ketua RW 02, Kelurahan Cibadak, Kecamatan Astana Anyar, Kota Bandung, Ceppy Setiawan. Seorang warga tewas terseret arus di selokan kota.

Banjir di Kota Bandung kali ini rupaya mengejutkan Wali Kota Ridwan Kamil sehingga dia perlu minta maaf. Soalnya selama ini, dengan style yakin, Kang Emil –panggilan akrab Wali Kota flamboyan ini– sudah yakin betul jika Kota Bandung aman dari amukan banjir.

Baca juga: Banjir Bandang Terjang Bandung Ridwan Kamil Mendadak Bingung

Ternyata, keyakinannya tidak terjadi. Setelah Kota Bandung dilanda banjir pekan lalu, kini Kabupaten Bandung Selatan terkena lagi “ritual banjir tahunan”. Hari Minggu (30/10), Bale Endah dan Bojongsoang kembali tenggelam. Ketinggian genangan air mencapai tiga meter. Dari layar kaca, kelihatan rumah-rumah hanya tersisa gentengnya saja. Badan rumahnya tenggelam.

Kita masih ingat, Maret 2016 lalu banjir yang melindas Bandung Selatan menewaskan dua orang dan merendam 35 ribu rumah. Sepuluh ribu orang lebih mengungsi karena rumahnya tenggelam. Luapan air di Kecamatan Baleendah, Dayeuhkolot, dan Bojongsoang itu demikian besar, nyaris seperti lautan.

Sepanjang mata memandang yang terlihat hanya air. Menurut Walhi, banjir Maret 2016 itu adalah yang terbesar dalam 10 tahun terakhir. Pemkab Bandung dan Pemprov Jawa Barat seperti tak berkutik. Gubernur Jawa Barat Ahmad Heriyawan hanya bisa berdoa, semoga hujannya cepat berhenti dan banjir surut. Doa yang bagus, apalagi kalau disertai upaya penataan kawasan Bandung (yang meliputi Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat) yang berwawasan lingkungan.

Jika banjir Maret 2016 di Bandung Selatan adalah yang terburuk dalam 10 tahun terakhir, maka jika banjir terjadi pada awal tahun 2017, bisa menjadi yang terburuk dalam 100 tahun terakhir. Kenapa? Karena hampir bisa dipastikan musim hujan tahun 2017 (sekarang saja, Oktober 2016, yang biasanya masih kering ternyata sudah musim hujan), akan lebih dahsyat lagi.

Tiga Penyebab Utama Terjadinya Banjir Parah di Kota Bandung

Anomali cuaca akibat La Nina tahun 2016 ini tampaknya akan mengakibatkan timbulnya hujan lebih lebat dari biasanya. Dan akibatnya, daerah-daerah yang terkena banjir akan makin banyak. Sekarang pun sudah mulai terlihat.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sudah memprediksi bahwa La Nina –yakni curah hujan dahsyat yang bisa mendatangkan banjir, longsor dan putting beliung– akan terjadi pada tahun 2016 dan berlangsung sampai tahun 2017.

“Berdasarkan prediksi BMKG, kemungkinan fenomena La Nina menguat pada pertengahan 2016. Namun, dampaknya terasa pada musim penghujan 2017 sehingga potensi banjir, longsor dan putting beliung akan makin meningkat,” kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho belum lama ini di Jakarta.

Bandung dan Bendung
Konon, kata “bandung” berasal dari kata “bendung” atau bendungan karena terbendungnya Sungai Citarum oleh lava Gunung Tangkuban Perahu yang kemudian membentuk telaga.

Legenda lain yang diceritakan oleh orang-orang tua di Bandung menyebutkan bahwa nama “bandung” diambil dari sebuah kendaraan air yang terdiri atas dua perahu yang diikat berdampingan dan disebut perahu bandung yang digunakan oleh Bupati Bandung, R.A. Wiranatakusumah II, untuk melayari Sungai Citarum dalam rangka mencari tempat ibu kota kabupaten yang baru untuk menggantikan ibukota lama di Dayeuhkolot yang sering dilanda banjir.

Itulah sekilas legenda asal-usul Bandung yang dalam sepuluh tahun terakhir terus dilanda banjir. Memang dari “sono”nya, Bandung sudah “akrab” dengan banjir dan air.

Dalam perkembangannya, pada awal abad ke-19, ketika Herman William Daendels menjadi Gubernur Jenderal, ia berniat membuat kota Bandung untuk tempat peristirahatan. Kota yang terletak di cekungan gunung Sunda Purba ini diproyeksikan Daendels kelak hanya bisa menampung 200.000 penduduk.

Tapi apa yang terjadi kemudian? Setelah Indonesia merdeka, Bandung terus berkembang. Jika tahun 1941 jumlah penduduk di cekungan Bandung Raya (Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Bandung) masih sekitar 200.000 (tepatnya 226.000) sesuai impian Daendels, sekarang tahun 2016, jumlah penduduk di kawasan tersebut mencapai 8,3 juta lebih. Naik lebih dari 41 kali lipat.

Bisa terbayang, betapa sesaknya Bandung Raya. Dalam kondisi seperti itu, penataan wilayah pun compang camping. Jangan tanya bagaimana rusaknya penataan kota di Kota Bandung di mana Ridwan Kamil yang sohor itu menjadi wali kotanya. Di pusat kota ini, sudah nyaris tak ada tempattempat penampungan air seperti situ atau rancak. Kawasan hijau pun nyaris habis. Jalan-jalan beraspal dan bersemen nyaris mendominasi kota.

Jika hujan lebat, ke mana larinya air di Kota Bandung ini? Jawabnya, ke selatan, ke Kabupaten Bandung. Di pihak lain, Bandung bagian utara, yang merupakan wilayah tangkapan air, kini sudah berubah jadi perumahan dan pusat wisata. Wilayahnya yang sejuk memang cocok untuk tempat peristirahatan. Sekarang, wilayah Bandung utara ini sudah sesak dengan perumahan, hotel, dan tempat-tempat wisata. Ke mana larinya air jika hujan?

Lagi-lagi ke Bandung bagian selatan. Yang jadi masalah serius, di kawasan ini terdapat beberapa sub DAS (daerah aliran sungai) atau anak Sungai Citarum seperti Sungai Cikapundung, Cinambo, Cidurian, Cicadas, dan Cibeureum. Parahnya, sempadan anak sungai-sungai tersebut kondisinya juga kritis sehingga tidak bisa menampung limpahan air hujan. Dalam kondisi seperti itulah, sungai induk Citarum mudah sekali meluap. Hujan besar sebentar saja sudah cukup untuk menimbulkan banjir karena sempadan sungai tersebut rusak parah.

Akibatnya, banjir pun menyerbu sejumlah kecamatan di Bandung bagian selatan seperti Rancaekek, Baleendah, Cicalengka, Bojongsoang, Majalaya, Dayeuhkolot, Cileunyi, dan Banjaran. Tiga kecamatan menderita paling parah, yaitu Bale Endah, Dayeuhkolot, dan Bojongsoang karena wilayahnya berdekatan dengan Sungai Citarum.

Banjir di Bandung bagian selatan tersebut sebenarnya telah lama terjadi, sejak berpuluh tahun lalu. Tapi intensitas dan keparahannya tidak sebesar sekarang. Pemprov Jawa Barat sudah berpuluh kali menyatakan akan membuat waduk untuk menampung limpahan air dari Bandung “atas” agar tidak menenggelamkan Bandung “bawah”. Tapi nyatanya, dari tahun ke tahun, rencana tersebut hanya tinggal rencana. Alasannya, macam-macam. Pertama, masalah dana. Padahal, membuat waduk dananya tidak sebesar membuat jalan tol atau kereta layang.

Kedua, masalah otonomi. Konon, karena permasalahannya terletak pada meluapnya Sungai Citarum, maka kewenangannya berada di pemerintah pusat. Daerah hanya bisa mengusulkan, tidak bisa mengeksekusi. Akibatnya, pembangunan waduk pun tertunda-tunda. Akibatnya dari tahun ke tahun, luapan banjir yang menerjang Bandung bagian selatan terus bertambah.

Sebetulnya, solusi untuk mengatasi banjir di Bandung selatan ini pernah dikemukanan Prof Dr Otto Soemarwoto (1926-2008), Guru Besar Ilmu Lingkungan Hidup Universitas Pajajaran dengan sangat baik. Pada tahun 2003, Otto menyatakan banjir di Bandung bagian selatan hanya bisa diatasi dengan penataan ekologis di wilayah sekitarnya. Otto mengusulkan daerah resapan air diperbanyak dan pemda membuat embung atau waduk-waduk kecil sebanyak mungkin untuk menampung limpahan air dari Bandung “atas”.

Waduk-waduk kecil ini di samping berguna untuk menampung limpahan air dari Bandung “atas” juga berfungsi untuk memperbaiki ekosistem yang rusak di wilayah bersangkutan sekaligus menjadi kawasan hutan mini yang memperbaiki kondisi iklim di Bandung yang makin panas.

Menurut Otto, penanggulangan banjir secara instan tidak mungkin bisa dilakukan untuk mengatasi banjir di Bandung bagian selatan. Penataan ekologis di sekitar Bandung dan sempadan Sungai Citarum merupakan solusi strategis untuk mengatasi banjir tersebut. Tentu saja, kesadaran masyarakat Bandung dan sekitarnya untuk tidak membuang sampah sembarangan, tidak menutup semen atau aspal di fasilitas lahan publik, dan banyak menanam pohon di sekitar lingkungan mereka akan berperan besar dalam mengatasi banjir tersebut.

Melihat topografi Bandung Raya yang seperti “mangkok”, maka banjir di cekungan mangkok terbawah memang sulit dihindarkan. Untuk itu, satu-satunya cara untuk mengatasi banjir dan penderitaan korban banjir tersebut, pemda setempat harus merelokasi warga yang berada di dasar mangkok tersebut.

Selama ini, ada tiga kecamatan, –Baleendah, Dayeuhkolot, dan Bojongsoang– yang rutin terkena banjir. Di samping berada di bagian “bawah” mangkok, tiga kecamatan tersebut letaknya berdekatan dengan Sungai Citarum. Untuk ketiga wilayah tersebut, solusi terbaik adalah relokasi penduduk. Pemda menyiapkan tempat lain (permukiman atau rumah susun dengan seluruh fasilitasnya) untuk menampung warga relokasi tersebut seperti dilakukan Pemprov DKI Jakarta.

Daerah langganan banjir tersebut kemudian dikembalikan fungsinya sebagai penampungan air atau waduk. Tapi mungkinkah? Seorang pemimpin harus berani bertindak menyelamatkan warganya tanpa kompromi. Kapan? Sekaranglah waktunya. Jika ditunda, masalahnya akan makin besar dan sulit dilaksanakan. Itulah tanggung jawab “Pemkot Bandung Raya” untuk mengatasi banjir yang menyengsarakan warga di Bandung “bawah” tersebut.

Gagasan Ridwan Kamil untuk membuat “tol air” –yaitu membuat gorong-gorong besar di Kota Bandung agar luapan air dari banjir di kota segera turun ke sungai– hanya bagian kecil dari restrukturisasi Bandung Raya untuk mengatasi banjir. Tanpa ada solusi menyeluruh dan terintegrasi dengan penataan ekologis di wilayah Bandung Raya dan sekitarnya, mustahil Bandung akan bebas banjir.

Ditulis oleh: Nyoto Santoso, Dosen Fakultas Kehutanan/ Kepala Pusat Kajian Biodiversitas dan Rehabilitasi Hutan Tropika, IPB, Bogor. (mfs)

Baca juga:

Bandung Kembali Banjir, Kawasan Pagarsih ketinggian Air 1 Meter

Bandung Dilanda Banjir, Mobil pun Hanyut Lagi

Pemkot Bandung Keliru dalam Membangun, Akan Semakin Parah