Catatan Sepakbola: Pelatih adalah Pemimpin, Anda tak Cukup Hebat Kalau Hanya Tahu Sepakbola

Oleh: Rizal Marajo**

Menjadi pelatih sepakbola, sepertinya terlihat enak, gampang, dan sangat berkuasa. Makanya banyak yang ingin jadi pelatih. Bagaimana tidak, tampil parlente di lapangan, bebas menunjuk-nunjuk memerintah asisten. Atau, lain waktu bisa menghardik dan memarahi pemain yang bekerja tak sesuai keinginan di lapangan.

Tak hanya itu, kalau bisa bawa tim berjaya, menang terus dan meraih trophy misalnya, maka seorang pelatih ibarat menjadi seorang raja yang tengah berada di puncak kejayaan. Bisa menepuk dada di hadapan pers, dikejar-kejar reporter televisi, dan semua ucapannya akan jadi berita.

Tapi yakinlah, jadi pelatih sepakbola itu tak selamanya indah. Nasib seorang pelatih terkadang juga tak ubahnya seperti seorang terdakwa duduk di kursi pesakitan, jika tim yang dipimpinnya tak bisa bersaing dan terpuruk. Sewaktu-waktu, dia bisa saja ditendang dengan cara-cara yang buruk, ibarat debu ditiup angin. Tak peduli sebelumnya bisa membawa timnya sukses, tapi dengan cepat semua itu akan terlupakan.

Tidak mudah, untuk menjadi seorang pelatih sepakbola, apalagi yang bisa dikategorikan hebat. Untuk jadi pelatih hebat, tidak cukup hanya tahu sepakbola. Karena seorang pelatih sejatinya adalah seorang pemimpin.

Berani menjadi seorang pelatih,  harus berani bertanggungjawab dalam memimpin. Tidak sedikit tanggungjawab yang harus dipikul seorang pelatih. Tanggungjawab kepada pemain, keluarga pemain, pemilik klub, suporter, bahkan tanggungjawab kepada pers pun harus dipikulnya.

Seperti beberapa ilustrasi dibawah ini;
21 November 2011, di Stadion Utama Gelora Bung Karno Jakarta. Anak-anak muda berseragam  kuning itu terlihat tegang di ruang ganti. Diluar, 80 ribu manusia bebaju merah sedang menunggu mereka dengan garang.

Mereka juga tahu malam ini untuk pertama kalinya mereka bakal bermain di depan penonton sepenuh itu. Sayangnya, 99 persen mendukung tim lawan, sang tuan rumah. Ong Kim Swee, sang pelatih tim berbaju kuning itu tahu dia harus melakukan sesuatu.

Ditengah sorak-sorai penonton yang menembus dinding-dinding tebal ruang ganti stadion itu, dia mulai berbicara dengan keras: “Mereka tak menghormati kalian, mereka tak menghormati bendera kita, mereka tak menghormati raja kita dan mereka tak menghormati orangtua kalian ….”

Kim Swee menarik nafas, lalu melanjutkan. “Jika kalian membiarkan itu terjadi, maka kalian sama saja pengecut. Kalian harus tunjukkan pada mereka bagaimana rasanya menjadi orang Malaysia.”

Malam itu,  final SEA Games melawan Indonesia, Malaysia U-23 yang dipimpin Kim Swee akhirnya membungkam publik Senayan dan meraih medali emas. Ferdinand Sinaga gagal melakukan penalti terakhir. Ratusan juta hati tetap kemarau panjang, termasuk puluhan ribu orang yang mengejek lagu kebangsaan Malaysia, yang dengan cerdas di-‘twist’ oleh Kim Swee.

Kim Swee pelatih sepakbola yang hebat? Ya, karena dia tidak hanya tahu sepakbola dan tidak hanya terpaku pada papan strateginya. Dia punya cara bagaimana mengatasi anak buahnya yang menggigil ketakutan bakal berhadapan dengan 80ribu penonton. Itulah kemenangan Kim Swee sesungguhnya, bahwa dia tak hanya seorang pelatih, tapi juga seorang pemimpin.

Kemudian, Jose Mourinho, siapa menyangkal dia bukan pelatih sepakbola hebat. Dia tak malu-malu menceritakan sedikit asal-usulnya dalam merintis karier sebagai pelatih.

Di hari pertama kuliah di Universidad de Educacion Fisica de Lisboa, ia berkata pada dosennya. “Aku sedang belajar menjadi pelatih sepakbola, dan aku tidak tahu apa yang sedang aku lakukan di kelas Anda.”

Sang dosen menjawab: “Kalau kamu mau jadi seorang pelatih yang hebat, kamu tidak boleh cuma tahu tentang sepakbola.”  Mourinho kemudian mengatakan, “He was a teacher of philosophy. I got the message,” kenang Mou.

Intinya, semua pelatih tahu tentang sepakbola, karena pelajaran yang mereka dapatkan saat mengambil sebuah lisensi kepelatihan sama saja. Perbedaannya ditentukan di bidang lain, yang justru lebih menentukan.

Jika kita melihat Mourinho, faktanya dia bukan cuma pelatih hebat tapi juga seorang pemimpin yang luar biasa. Pelatih yang melatih dengan cara yang tidak biasa. Menghadapi setiap laga dengan rencana matang.  Ada persiapan forensik, sangat memperhatikan detail berdasarkan sport science. Spesialisasi yang dia pelajari saat kuliah.

Tapi yang membuat dia spesial dibanding pelatih lain, karena dia punya ilmu sebagai seorang “master manipulator”. Cermati bagaimana dia memanfaatkan media untuk menyampaikan pesannya. Entah itu untuk memancing reaksi pemain, membuat pemain menjadi fokus, membuat bingung atau lengah lawan, bahkan menyalahkan dirinya sendiri biar para pemainnya bangkit di pertandingan berikutnya.

Ingat komentar-komentarnya setelah Real Madrid yang dipegangnya dikalahkan Sevilla, padahal tiga hari kemudian bakal menghadapi lawan tangguh Manchester City di Liga Champions. “Saya gagal membuat sebuah tim yang berkomitmen, saya tidak berhasil meyakinkan pemain bahwa sepakbola adalah priotitas terpenting di hidup mereka.”

Well, bisa dibayangkan bagaimana perasaan pemain Madrid mendengar ocehan pelatihnya ini. Sebuah statement yang sangat cerdas dari Mou, karena setelah itu para pemain Madrid tahu apa yang harus dilakukan saat melawan City. Membuktikan komitmen mereka sebagai pemain profesional atau kehilangan posisi di Bernabeu.

Motivasi bisa ditoreh dari cinta atau dari kebencian. Mourinho tidak peduli dari mana itu berasal asalkan pemainnya kembali pada performa terbaik.

Seorang pelatih, lagi-lagi ditekankan, tak cukup hanya tahu sepakbola. Seorang Nilmaizar dimasa melatih Timnas Indonesia 2012. Mungkin banyak orang menilai dia pelatih yang biasa-biasa saja, atau sedikit diatas rata-rata, karena membawa Semen Padang finis nomor empat di kompetisi ISL 2011 dan juara IPL 2012.

Tapi perlahan-lahan orang mulai melihatnya bukan sekadar pelatih biasa. Dia boleh jadi seorang pemimpin yang sudah jarang kita temui. Dia bukan pemimpin yang manja, yang mengundurkan diri karena pemainnya bukan materi terbaik seperti pelatih sebelumnya.

Dia melihatnya bukan sebagai masalah, tapi sebagai tantangan. Bahkan ketika satu persatu pemainnya pergi karena dilarang klub, dia tetap bertahan memanfaatkan pemain yang ada dan meramunya dengan keberanian.

Di saat timnya diserang, dihina dan dilecehkan sebagai tim tarkam, tidak berkualitas dan bukan pemain dan pelatih terbaik, Nil maju ke depan dan memasang badan dengan sebuah pernyataan tegas, layaknya seorang pemimpin.

Etos kerja minang juga kental dalam prinsip hidup Nil. Kerja keras adalah sebuah  keharusan. Jangan juga tanyakan nasionalisme Nil. Baginya nasionalisme adalah pengabdian yang tak bisa di tolak. Teguh memegang prinsip. “Ketika masih ada yang mau memakai lambang Garuda, ketika itu negara kita masih merdeka,” Kata-kata seorang nasionalis yang tak ragu memberikan hormat untuk para suporter di tribun.

Pemimpin dengan etos kerja, nasionalisme dan kemampuan memotivasi dan berkomunikasi yang hebat. Dia memberikan atmosfer positif, keyakinan dan kepercayaan diri untuk timnya dalam situasi yang sangat berat dan prihatin. Dia berada  paling depan saat satu-satunya timnas yang dilecehkan pendukungnya sendiri.

Dari tiga ilustrasi diatas, nyatalah bahwa seorang pelatih tak cukup hanya punya ilmu sepakbola belaka. Sehebat apapun ilmu sepakbola seorang pelatih, ketika dia tak ditunjang ilmu lain, sikap, dan leadership yang bagus, belum lah pantas dia menyandang label hebat.

Banyak pelatih yang terjebak dengan egonya sendiri, terjebak dalam cara berkomunikasi yang buruk, dan mengira dengan ilmu sepakbola saja sudah merasa cukup untuk bisa disebut hebat. Anda salah, kalau berfikir seperti itu. (*)

*) Disarikan dari berbagai sumber
**)Pimred Kabarin.co, kompetensi Wartawan Utama