Jokowi di Antara Mobil Mogok dan Manusia Mogok

Opini, Politik13 Views

Belakangan ini mobil kepresidenan yang dipakai Jokowi mogok dua kali. Berita mobil mogok ini menjadi viral dan mengundang simpatik para fans pendukung fanatik Jokowi, mereka berbondong-bondong mengangkat isu mobil mogok menjadi sesuatu yang besar dan harus jadi perhatian utama publik. Padahal selama ini hal tersebut tidak pernah diberitakan, akan tetapi secara tiba-tiba bisa menjadi viral.

Namanya juga mobil yang berkomponenkan mesin, tentu akan tetap rusak dimakan usia. Pada tahun 2013, mobil Presiden sekelas Amerika Serikat, Barack Obama juga bisa rusak. Parahnya lagi, kerusakan terjadi saat kunjungan kerja ke Negara lain. Tapi tidak ada yang begitu menghebohkan kejadian tersebut. Kalau dibawa dalam bahasa anak gaulnya sekarang, tidak ada yang terlalu lebay dengan hal itu.

Kalau mau dirunut lebih jauh lagi, ada kaitan dengan penolakan Presiden Jokowi terhadap pembelian mobil dinas baru untuk dirinya pada tahun 2014 lalu. Jangan sampai penolakan Jokowi tersebut hanya untuk pencitraan semata, tapi tidak melihat bagaimana kondisi mobil. Kan tidak mungkin Jokowi menggunakan Bajaj seperti saat mendaftarkan diri menjadi Capres jelang Pilpres 2014 lalu.

Dan anehnya lagi, sering mogoknya mobil Kepresidenan mulai diarahkan menjadi kesalahan SBY. Lucu jika melihat bagaimana proses pembunuhan karakter tanpa menggunakan hati dan logika tersebut. SBY yang kebetulan sedang dalam posisi meminjam mobil, digiring menjadi pihak yang bertanggungjawab. Entah bertanggungjawab karena mobil rusak, atau bertanggungjawab karena meminjam mobil.

Perlu diketahui, sesuai dengan pasal 8 UU No 7 tahun 1978, mantan Presiden dan Wakil Presiden mendapatkan hak untuk disediakan rumah dan kendaraan dari Negara. Sekali lagi harus ditekan adalah kata HAK, artinya SBY punya hak untuk diberikan kendaraan oleh Negara. Karena belum ada anggaran khusus untuk hal tersebut, makanya menggunakan kendaraan yang ada saja dulu.

Dari data pihak Sekretariat Presidenan, ada setidaknya delapan mobil VVIP. Jika dipinjam satu oleh SBY, maka ada tujuh lagi yang akan digunakan oleh Jokowi dan Jusuf Kalla. Jika satu mogok, apakah enam lagi mogok juga. Atau memang seluruh mobil sudah memasuki usia pensiun?. Kalau memang iya, Jokowi harusnya instrospeksi diri atau memarahi orang yang memberikan usulan penolakan mobil dulu.

Dan jikapun mobil telah dikembalikan SBY, apakah mobil itu akan dipakai Jokowi?. Dan jika rusak juga bagaimana?. Hal-hal sederhana itu harus dicermati dengan baik oleh Jokowi dan siapapun yang memberikan masukan. Jangan hanya melemparkan isu yang tujuannya untuk menyerang sosok atau kelompok yang rajin mengkritik, dan tidak mau menjadi penjilat.

Jika memang mau mengadakan proyek pembelian mobil baru, tidak akan ada masalah kok. Tapi jangan membuat gaduh dulu baru melancarkan keinginan. Sebenarnya kebutuhan akan mobil baru sudah diketahui sejak lama, makanya sebelum meninggalkan Istana, SBY menyediakan mobil baru untuk Jokowi, karena mengetahui kondisi mobil sudah tua.

Serangan kepada SBY dengan menggunakan media mobil sebenarnya pengulangan dari cara terdahulu. Sebelumnya SBY juga diserang melalui rumah dan paspampres. Awalnya rumah untuk SBY dari Negara dianggap berlebihan, namun setelah mengetahui Megawati mendapatkan lebih dari yang diberikan Negara kepada SBY. Para penyerang mendadak diam dan tidak lagi mengotak-atik persoalan tersebut.

Lalu tentang Paspampres yang mengawal SBY mencapai 230 orang. Isu ini sangat mengelikan, karena total personel kompi D yang mengawal mantan kepala negara hanya berjumlah sekitar 280 an personel. Artinya Istana telah berlaku tidak adil kepada Megawati, karena memberikan porsi berlebihan kepada SBY. Setelah memahami keteledoran logika berfikir pembuat isu, para penyerang kembali diam. Dan kini menggunakan media mobil untuk menyudutkan Presiden yang 10 tahun memimpin Indonesia.

Jokowi harus menyentil para pembantunya yang hanya membuat posisinya makin terjepit. Harus diingat pak Jokowi, orang tidak akan mau memilih orang yang salah untuk kedua kali.

Manusia Mogok

Dalam era Jokowi juga terjadi aksi “Mogok” terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Diperkirakan hampir 7 juta jiwa orang melakukan mogok dari segala kegiatan dan urusan mereka, dan berkumpul didepan Istana Negara. Aksi mogok tersebut menuntut keadilan dalam penegakan hukum terhadap orang yang diduga melakukan penodaan agama.

Dalam era Jokowi juga ada petani yang meninggal saat melakukan aksi mogok dengan mengecor kaki mereka. Petani yang memperjuangkan tempat mereka mencari makan, harus meregang nyawa saat perjuangan mereka belum tuntas. Mereka meminta Jokowi berpihak kepada para petani yang hanya bisa menggantungkan harapan kepada orang nomor satu Indonesia tersebut.

Meski telah ada yang meninggal dunia, tapi kehebohan tidak seperti mogoknya mobil. Baik itu di media mainstream, ataupun media sosial yang selama ini digunakan sebagai senjata oleh para pemuja Jokowi. Media yang seharusnya kritis dan menjunjung tinggi nilai kebenaran, sekarang lebih penakut dalam mengkritik penguasa. Dulu, media begitu perkasa dan tidak takut apapun saat mengkritik kebijakan pemerintah, sekarang media sudah seperti singa tanpa gigi. Takut dalam menyentil penguasa dan para kroninya.

Almarhum Patmi meninggalkan dunia ini dalam keadaan berjuang. Dari keterangan dokter, Patmi meninggal karena serangan jantun. Meski dia sadar perbuatannya mengandung resiko besar, Patmi tetap mengecor kakinya. Karena petani asal Kendeng itu paham, jika dia tidak berjuang habis-habisan sekarang. Beberapa tahun lagi tempat mereka mencari makan akan habis, dan kehidupan para petani lainnya akan semakin sengsara. Dia lebih memilih mati dalam berjuang, daripada mati dalam kelaparan.

Kisah Patmi ini harus menjadi catatan bagi para petani di Indonesia. Karena bisa saja suatu saat nanti, tanah tempat kalian mencari makan, akan dialih fungsikan demi pembangunan. Tempat yang dimana keahlian bertani dibutuhkan telah beralih menjadi tempat kerja orang berdasi dan bertopi. Jika pemerintah tidak peduli dengan Patmi dan pesan yang dia perjuangkan, maka kita akan melihat bagaimana petani yang merupakan pahlawan pangan Indonesia akan bertambah menjadi korban.

Petani tidak seperti buruh, mereka tidak punya asosiasi yang benar-benar membela mereka. Jika ada yang mengatasnamakan ketua atau pengurus wadah pengayom petani, sebaiknya mengundurkan diri atau menghilang saja. Karena silahkan berkaca dari apa yang terjadi saat ini, kemana mereka yang selama ini hanya menjual nama petani.

Ingat, jangan karena ingin melangggengkan kekuasaan, segala cara dihalalkan termasuk dengan membunuh karakter lawan politik. Roda nasib pasti berputar, karma pasti akan berlaku. Jangan berfikir akan berkuasa selamanya, karena kesabaran ada batasnya. Rakyat semakin cerdas dan kritis, sejarah membuktikan kekuasaan pernah ditumbangkan rakyat ditengah jalan.(*)

Penulis: Aliando Ibrahim
Sumber: politiktoday.com