Roehana Koddoes, Fajar Terang dari Tanah Minang

KabarPojok19 Views

kabarin.co – “Kartini tidak sendirian. Bahwa sebelum Kartini sudah ada perjuangannya,” Kalimat itu terlontar dari Fitriyati Dahlia, penulis biografi Roehana Koddoes, perempuan perintis surat kabar di Indonesia pertama.

Mantan wartawati ini tak menampik fakta Kartini adalah pejuang emansipasi perempuan Indonesia dengan jasa-jasanya mengangkat harkat dan martabat perempuan dari dominasi laki-laki pada zamannya. Namun bagi Fitriyati, selain Kartini, Roehana adalah salah satu perempuan yang sudah lama merintis gerakan perjuangan perempuan bahkan sudah terlebih dahulu sejak Kartini.

Seperti Kartini dan pahlawan perempuan di Indonesia lainnya, Roehana pantas mendapat gelar Pahlawan Nasional dalam jasa-jasanya di bidang pendidikan, perintis surat kabar dan organisasi perempuan.

“Saya tidak bermaksud mau membandingkan Roehana dan Kartini. Tapi, selain Kartini, Dewi Sartika, dan Rachmah El-Joenoesjah, tokoh pelopor pendidikan di Indonesia, atau Cut Nyak Dien dan Rasuna Said yang bergerak di bidang perpolitikan melawan penjajahan Belanda,” ujarnya saat berbincang dengan merdeka.com di Balai Budaya, Sabtu pekan lalu.

Dia pun menambahkan, sejatinya banyak tokoh perempuan yang sama ikut berjuang melawan tirani penjajahan. “Salah satu di antaranya adalah Roehana Koddoes, patut pula mendapat gelar Pahlawan Nasional.”

Tak banyak yang mengetahui siapa sebenarnya Roehana Koddoes. Dalam pelbagai literatur sejarah nasional, namanya kerap tak disebut. Pun riwayat hidup dan kisah perjuangan Roehana tersimpan rapi di Gedung Arsip Nasional dan sejumlah kumpulan kliping di Perpustakaan Leiden, Belanda.

Kisah perjuangannya bahkan tidak se harum Kartini atau sering disebut-sebut seperti Dewi Sartika atau Cut Nyak Dien. Namun, di daerah Minangkabau, Sumatera Barat, Roehana merupakan kaum perempuan yang turut berjuang seperti Rachmah El-Joenesjah, Rasuna Said (Padang) dan Sitti Mangopoh (Maninjau).

Roehana Koddoes lahir di Kota Gadang, Minangkabau pada 20 Desember 1884. Ia merupakan kakak sulung berbeda ibu dengan mantan Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Sepupunya adalah orang dekat Presiden Soekarno, Kiai Haji Agus Salim.

Sementara itu Roehana juga bibi dari penyair Chairil Anwar. Rohana beribukan Kiam, sedangkan Sutan Sjahrir lahir dari Sitti Rabiah, istri kelima ayah Roehana, Moehammad Rasjad.

Dibesarkan dalam budaya patriarkat yang tak membolehkan perempuan bersekolah, Roehana kecil bahkan tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Namun dewi fortuna berpihak kepada dia ketika merantau ke Simpang Tonang Talu mengikuti ayahnya.

Roehana mengawali karier sebagai juru tulis dan meningkat menjadi hoofd djaksa pegawai pemerintahan Belanda. Di tanah rantau ini, hobi membaca dan menulis Roehana mulai terasah.

Ketika belajar membaca dan menulis, usia Roehana saat itu baru 8 tahun. Dia kemudian belajar otodidak di bawah pengasuhan sang ibu, Kiam. Sembari mengasuh kedua adiknya, Ratna dan Roeskan, ia kerap membaca dengan suara lantang untuk menghibur adiknya supaya tenang dan tertawa.

Dalam catatan Fitriyati, ulah Roehana kecil ini membuat banyak orang yang lewat di depan rumahnya heran sekaligus kagum. Pada masanya, tak ada anak kecil apalagi perempuan pandai membaca dan menulis dalam aksara Latin, Arab dan Arab Melayu. Berangkat sini lah, Rohana ‘resmi’ menjadi guru kecil tahun 1892.

“Kawan-kawan ingin belajar dan menulis?,” ujar Fitriyati menceritakan ketika Roehana menawarkan kepada teman-teman seusianya. Hal itu juga kemudian menjadi pemacu semangat Roehana kecil menjadi seorang guru.

Bisa membaca, menulis dan bahkan menjadi guru bagi kawan-kawannya tak membuat hati Roehana puas. Roehana pun beranjak remaja dengan menyimpan tanya dalam hatinya. Dia marah dengan ketidakadilan yang dialami kaum perempuan karena tidak dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya laki-laki.

“Ayah, mengapa hanya anak laki-laki yang diperbolehkan sekolah? Bila kah ada sekolah untuk anak perempuan di sini? Bilakah ambo bisa sekolah?” tanya kala itu,”.

Sang ayah rupanya memahami kekecewaan Rohana. Dia menyemangati gadis kecil itu dengan mengatakan bahwa ilmu pengetahuan
tak harus di sekolah.

Di usia remaja rupanya Roehana juga belajar tafsir Alquran tentang kedudukan kaum perempuan. Di sana dia belajar dan menarik kesimpulan dalam agama Islam setiap orang diperbolehkan mengenyam pendidikan.

Di bawah bimbingan sang ayah, Rasjad, Roehana tumbuh menjadi perempuan yang berwawasan luas. Diskusi demi diskusi kerap dilakukannya dengan Rasjad. Roehana tumbuh menjadi perempuan dengan pikiran yang kritis. Dia mengutarakan cita-citanya kepada Rasjad untuk membuat sesuatu yang mengubah ketidakadilan terhadap perempuan, terutama di bidang pendidikan dan pekerjaan.

“Roehana didukung penuh oleh ayahnya,” kata Fitriyati. Di kemudian hari, karena kerap mengikuti ayahnya yang berpindah tugas, Roehana mempunyai penilaian tersendiri atas nasib ketidakadilan yang dialami perempuan. “Dan cita-citanya semakin tinggi,” tuturnya.(mer)

Leave a Reply