Ternyata Kolak Punya Arti Filosofis yang Dalam, Kamu Harus Tahu!

kabarin.co – Kolak, makanan satu ini mungkin sangat sederhana, tapi ia adalah yang paling identik dengan puasa. Kolak bisa dibikin kapan pun, tapi waktu yang pas untuk menyantapnya tetap adalah ketika buka puasa. Paduan kuah yang manis serta isiannya yang mantap bikin momen buka puasa makin tak terlupakan.

Kolak dilihat dari mana-mana memang cuma penganan kecil, tapi kalau kita telusuri lebih dalam ternyata punya sisi lain. Yup, kolak nyatanya tak hanya enak rasanya tapi juga menyimpan berbagai filosofi yang sangat mendalam tentang hidup.

Mungkin kamu tidak pernah menyangka sebelumnya, tapi inilah makna-makna terpendam dari setiap sendok kolak yang kita makan.

1. Kolak dan Anjuran untuk Mengosongkan Dosa
Kalau ditelusuri dari sisi historisnya, kolak ini akan mencatut nama para wali. Ya, beliau-beliau itu yang memperkenalkan makanan ini. Tujuannya selain menawarkan khazanah kuliner baru, juga ingin masyarakat belajar nilai dari makanan ini.

Kolak [Image Source]

Kolak banyak yang mengatakan berasal dari kata khala yang artinya adalah kosong. Kalau diterjemahkan secara penuh, intinya adalah kita sebagai manusia harus selalu bertaubat selagi hidup agar bisa kosong, kosong akan dosa. Kematian dengan kekosongan dosa menurut para wali adalah sebaik-baiknya akhir.

2. Kolak dan Mendekatkan Diri Para Tuhan
Kolak ada yang mengatakan berasal dari kata Khala, ada pula yang bilang berasal dari Kholaqo. Kata-kata ini berasal dari bahasa Arab yang bisa diturunkan menjadi kata Kholiq atau Khaliq yang artinya adalah mencipta. Nah, dari sini juga bisa diambil satu makna filosofisnya.

Kolak ubi pisang [Image Source]

Ya, secara tersirat kolak menganjurkan penikmatnya untuk selalu mendekatkan diri kepada Tuhan, Sang Pencipta. Tak hanya itu, istilah ini juga ada yang mengartikan agar kita selalu mendoakan mereka yang telah meninggal.

3. Ubi, Mengingatkan Kita Akan Kematian
Berbicara soal bahan yang ada di dalam kolak, kita biasanya akan menemui banyak jenis makanan. Tapi, yang pasti selalu ada adalah ubi. Ubi bisa dibilang adalah yang paling identik dengan kolak. Ibarat rumah, kolak adalah pondasi. Tak bisa tidak ada. Tak hanya sebagai bagian yang selalu ada, ubi dalam kolak ini juga punya filosofinya sendiri.

Kolak ubi [Image Source]

Menurut orang Jawa, ubi masuk dalam jenis-jenis makanan Polo Pendem atau yang tumbuh di bawah tanah. Artinya, ketika kita menyantapnya, maka harus ingat jika suatu saat kita pasti akan seperti mereka. Dalam artian dikubur di dalam tanah. Para wali menganjurkan adanya pertaubatan di setiap sendok kolak yang kita makan. Pasalnya, kematian mungkin saja akan datang semudah kita menyendok kolak ke dalam mulut.

4. Pisang Kepok, Mengajarkan untuk Tidak Berbuat Dosa
Tak cuma ubi, pisang juga bahan yang mesti ada dalam kolak. Tapi, tak semua pisang bisa pas dimasukkan sebagai salah satu bahan kolak. Dari sekian banyak, mungkin hanya jenis kepok yang paling mantap. Nah, tentang pisang satu ini, siapa sangka jika ia juga punya nilai filosofisnya sendiri.

Kolak pisang [Image Source]

Kepok pada pisang kepok merujuk kepada istilah kapok. Kapok adalah bahasa Jawa yang artinya adalah menyesal atau jera. Artinya setiap kali kita menyantapnya, harus selalu ingat untuk jera akan dosa dan tidak lagi dengan gampang melakukan hal-hal yang membuat kita berdosa.

5. Santan, Mengajarkan Kita Untuk Meminta Maaf
Santan adalah bagian yang juga tak kalah penting dalam kolak. Ia adalah pelebur semua bahan-bahan karena bertugas sebagai kuah. Santan menurut orang Jawa juga mengandung sebuah makna filosofis yang sangat dalam.

Santan dalam kolak [Image Source]

Santan dalam bahasa Jawa disebut santen. Jika ditelusuri, kata-kata ini adalah kependekan dari Pangapunten yang artinya adalah permohonan maaf. Jadi, ketika kita menyisipi kuah kolak yang manis itu, ingatlah juga akan kesalahan dan meminta maaf kepada orang yang pernah kita salahi.

Inilah makna filosofis dari sepiring kolak yang pernah kita santap. Siapa yang menyangka dari makanan sesederhana itu ada makna yang begitu mendalam.

Ini bukan cocoklogi ya, melainkan benar-benar ada filosofinya seperti apa yang sudah tertulis di atas.(bdc)