Anggota Parlemen Inggris yang Terbunuh Vokal Suarakan Pengungsi

kabarin.co, London – Baru menjabat selama 15 bulan sebagai anggota parlemen Inggris, Jo Cox tewas menggenaskan dalam serangan penikaman dan penembakan dalam usia 41 tahun. Cox kini dikenang sebagai salah satu anggota dewan yang vokal menyuarakan soal nasib pengungsi anak sejak terpilih pada pemilu tahun lalu.

Ketika sebagian besar anggota dewan berjuang untuk membangun reputasinya di Majelis Rendah, mantan kepala kampanye lembaga kemanusiaan Oxfam ini sudah memiliki reputasi yang bersinar bahkan sebelum dia memasuki parlemen Inggris.

Cox merupakan tokoh yang berulang kali mendesak pemerintah Inggris untuk berbuat lebih banyak demi membantu para pengungsi yang tak lain merupakan korban perang sipil di negara berkonflik, utamanya Suriah.

Sebelum mendapat kursi di parlemen, Cox sudah menghabiskan 10 tahun di dunia lembaga bantuan kemanusiaan. Pekerjaan yang berbahaya membuatnya tak asing lagi dengan zona konflik.

Melalui pekerjaannya ini, Cox bertemu suaminya Brendan, mantan pejabat lembaga kemanusiaan Save the Children. Memulai karir dengan bekerja sebagai petugas bantuan, karier Cox menanjak dengan gemilang.

Tokoh yang pro-Uni Eropa ini bergabung dengan Oxfam sejak 2002 sebagai kepala Kantor Uni Eropa di Brussel, Belgia. Ia kemudian menjabat sebagai kepala kebijakan dan advokasi Oxfam pada 2005.

Cox pernah menjabat sebagai penasihat mantan perdana menteri Inggris, Gordon Brown, terkait pembangunan internasional. Ia bekerja sama dengan istri sang perdana menteri, Sarah Brown, sebagai direktur untuk Kampanye Kematian Ibu, kampanye yang mencegah agar ibu dan bayi tidak meninggal sia-sia ketika masa kehamilan maupun saat persalinan.

Cox dan suaminya tinggal di Wapping, dekat Tower Bridge London, dengan dua anak mereka. Ia membagi waktunya antara Wapping dengan konstituennya di Batley dan Spen, West Yorkshire, tempat dia dibesarkan dan masih memiliki sanak saudara.

Sangat aktif di lingkungannya, Cox berhasil meraih dukungan mayoritas 6.057 suara para pemilu tahun lalu. Cox menganggap jabatannya di Majelis Rendah sebagai pekerjaan impian untuk mewakili daerahnya di Westminster.

Cox juga aktif mengkampanyekan hak-hak perempuan dan memimpin Jaringan Perempuan Buruh selama empat tahun. Cox merupakan tokoh yang mendesak Pemimpin Partai Buruh, Jeremy Corbyn, untuk mengambil tindakan keras terhadap para pendukung yang menyerang kritik di media sosial. Meskipun atas kritikannya itu Cox menerima berbaga komentar seksis yang menyinggung penampilannya.

Tak lama setelah ia terpilih pada Mei tahun lalu, cuitan pertama Cox menggambarkan kebahagiannya terpilih sebagai seorang anggota parlemen. Cox menyebut saat itu “momen emosional.”

Seperti diberitakan media Inggris, The Independent, pada Kamis (16/6), setelah mendapat kursi di parlemen pun Cox tak luput untuk terus menyuarakan aspirasi pengungsi dan masih menjalin kontak dekat dengan rekan-rekannya di lembaga nirlaba yang membantu pengungsi.

Salah satu manuvernya adalah dengan mendirikan sebuah kelompok di parlemen yang membahas khusus soal konflik Suriah. Ia juga menggelar sejumlah debat di Majelis Rendah mengenai nasib para pengungsi.

Ia tetap memegang teguh pendiriannya bahwa pemerintah Inggris harus melakukan upaya yang lebih besar untuk membantu korban perang sipil dan menggunakan pengaruhnya di tingkat internasional untuk membantu mengakhiri konflik Suriah.

Wanita 41 tahun itu meninggal dunia setelah diserang di daerah Bristall dekat Leeds di utara Inggris usai pertemuan rutin dengan konstituennya pada Kamis (16/6). Pelaku belum dirilis identitasnya oleh polisi, namun media Inggris menuliskan namanya adalah Tommy Mair, seorang yang dikenal tetangganya sebagai pria yang pendiam.

Saksi yang dikutip CNN mengatakan Mair menikam Cox berkali-kali, lalu menendanginya kendati wanita itu telah terkapar penuh darah di jalanan. Saksi memaparkan bahwa Mair mengeluarkan pistol saat hendak dibekuk seorang warga. Cox ditembak tiga kali, tembakan terakhir mengenai kepalanya.

Meski menjabat sebagai anggota parlemen untuk periode yang sangat singkat, Cox berhasil membawa semangat dan keahliannya ke Majelis Rendah Inggris. Dengan kematiannya yang tragis, diharapkan para anggota dewan Inggris akan mengingat kiprah Cox ketika mengambil keputusan soal masa depan pengungsi Suriah di negara itu. (cnn)