Kejanggalan Terkait Pembatalan Ribuan Perda oleh Mendagri

Nasional5 Views

kabarin.co, Jakarta – Pengamat hukum tata negara Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) M Imam Nasef menyatakan, tengah terjadi anomali ketatanegaraan dalam mekanisme pembatalan ribuan peraturan daerah (perda) yang baru-baru ini dilakukan Menteri Dalam Negeri (Mendagri).

Sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang secara hierarki posisinya berada di bawah Undang-undang (UU), maka proses pembatalan perda seharusnya melalui mekanisme judicial review oleh Mahkamah Agung (MA).

“Mekanisme tersebut telah diatur dalam Pasal 24A Ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 9 Ayat (2) UU 12/2011,” kata Nasef, kemarin. (17/6)

Namun demikian, Nasef menemukan kejanggalan dalam Pasal 251 UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) yang justru memberi kewenangan pembatalan perda kepada Mendagri untuk perda provinsi dan kepada gubernur untuk perda kabupaten kota.

“Di sinilah letak anomalinya, di satu sisi perda dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan. Tetapi di sisi lain mekanisme pembatalannya tidak dilakukan melalui mekanisme judicial review oleh MA, melainkan melalui executive review oleh Mendagri atau Gubernur,” kata Nasef.

Dengan demikian lanjut Nasef, ada problem disharmoni peraturan perundang-undangan, yakni UU Nomor 23/2014 tidak harmonis dan tidak singkron dengan UU Nomor 12/2011. Bahkan Pasal 251 UU Nomor 23/2014 jelas bertentangan dengan konstitusi yaitu Pasal 24A Ayat (1) UUD 1945.

Sebab konstitusi telah menegaskan, segala jenis peraturan perundang-undangan di bawah UU menjadi kewenangan MA untuk membatalkannya melalui suatu proses judicial review.

Oleh karena itu guna mengoreksi dan memperbaiki ketentuan tersebut, Nasef mendorong kepada kepala daerah dan DPRD di seluruh Indonesia untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ketentuan Pasal 251 UU Nomor 23/2014 yang mengatur kewenangan Mendagri dan Gubernur dalam membatalkan perda.

Alasan Kemendagri Cabut Ribuan Perda
Kementerian dalam negeri (Kemendagri) memaparkan sejumlah alasan pencabutan 3.143 peraturan daerah (perda) yang dianggap bermasalah. Pembatalan perda dilakukan karena dianggap menghambat proses perizinan dan investasi di daerah.

Sekretaaris Jenderal (Sekjen) Kemendagri, Yuswandi A menjelaskan pencabutan ribuan perda itu sesuai amanat Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah, khususnya diatur dalam Pasal 251 ayat 1, 2 dan 3.

“Bahasa tepatnya adalah Mendagri mempunyai kewenangan untuk membatalkan peraturan di tingkat provinsi, kabupaten/kota,” ujar Yuswandi saat jumpa pers di Kemendagri, Kamis (16/6/2016).

Dia menambahkan, alasan lain dalam pencabutan ribuan perda setelah pemerintah pusat menjalin komunikasi dengan pemerintah daerah yang dikoordinasikan dengan Dirjen Keuangan Daerah.

“Perkembangan terakhir Lombok, Jakarta dan Bali ini diskusi dan menghasilkan 3.143 (perda bermasalah) itu,” tandasnya.

Mendagri Tak Transparan, Pencabutan Perda Jadi Isu Liar
Pemerintah pusat khususnya Menteri Dalam Negeri (Mendagri) didesak segera mengumumkan secara terbuka peraturan daerah (perda) mana saja yang dicabut. Sikap ini perlu dilakukan agar kebijakan mencabut perda yang dilakukan pemerintah pusat tidak menjadi isu liar.

Wakil Ketua Komite III DPD Fahira Idris mengatakan, kebijakan pencabutan ribuan perda oleh pemerintah pusat membuat kebingungan banyak pihak. Salah satunya, dia mengaku dibanjiri pertanyaan masyarakat, apakah perda yang melarang total miras seperti yang ada di Cirebon dan Papua juga dicabut.

“Harusnya, tak lama setelah diumumkan presiden, Kemendagri lewat websitenya memublikasikan daftar perda yang dibatalkan beserta penjelasan kenapa dibatalkan, peraturan lebih tinggi yang mana yang dilanggar perda tersebut, sehingga jelas. Sesuai Undang-Undang KIP harus diumumkan,” ujar Fahira, Jakarta (16/6/2016).

Dia mengingatkan, daerah memiliki wewenang membuat perda yang mengatur miras. Bahkan, daerah juga diberi ruang untuk membuat perda pelarangan total miras sesuai kearifan lokalnya.

“Itulah kenapa Papua membuat perda antimiras yang mengharamkan segala aktivitas dan semua jenis miras di daerahnya, karena memang sesuai dengan karekterisik masyarakatnya yang religius dan perpres juga membolehkan,” ucapnya.

Mendagri Klafirikasi soal Pencabutan Perda Syar’iah
Pemerintah telah membatalkan sebanyak 3.143 Peraturan Daerah (Perda) yang dianggap bermasalah. Akibat pembatalan itu Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) selaku lembaga yang berwenang mengurusi masalah ini menjadi pihak yang dituding mencabut perda syariah.

Namun Mendagri Tjahjo Kumolo menegaskan pihaknya belum ada rencana untuk menghapus perda syariah. Sebaliknya, dia tidak masalah ada daerah tertentu yang menerapkan perda syariah.

“Tapi nanti kalau bertentangan dengan Undang-undang, dengan kebhinekaan bansga ini, kami juga tentunya akan mendengar dulu fatwa dari tokoh-tokoh agama,” ujar Tjahjo di Istana Negara, Jakarta, Kamis (16/5/2016).

Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini mengaku banyak mendapatkan pesan singkat (SMS) dari pihak tidak dikenal karena dituduh sebagai pihak yang mencacbut perda syariah. “Ya memang ada yang membelokkan. Saya terima SMS 50-an bahasanya sama, enggak berani pakai nama,” ungkapnya.

Menurutnya dari ribuan perda yang dibatalkan pemerintah pusat melalui Mendagri, tidak ada kaitannya dengan penghapusan perda syariah. Dia menjelaskan, perda yang dibatalkan itu murni urusan ekonomi yang berkaitan dengan perizinan dan investasi.

“Bahwa yang penting 3.143 perda, termasuk Kemendgari yang dibatalkan itu untuk mendukung kebijakan paket ekonomi satu sampai 12 ini,” jelasnya.(sdn)