Indonesia Services Dialogue: Neraca Perdagangan Kembali Negatif, Pemerintah Perlu Dorong Ekspor Jasa

kabarin.co – Rilis terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada bulan Agustus neraca perdagangan Indonesia kembali mengalami defisit sebesar USD 1,02 Miliar. Defisit tersebut berasal dari defisit pada barang migas sebesar USD 1,6 Miliar. Secara tahun berjalan, total defisit neraca perdagangan barang mencapai USD 4,09 Miliar. Defisit tersebut tentu memperburuk defisit neraca berjalan Indonesia dimana pada akhirnya dapat memperlemah nilai tukar rupiah. Oleh sebab itu, sudah saatnya Pemerintah tidak hanya berorientasi untuk mendorong ekspor barang, tetapi juga ekspor jasa.

Muhammad Syarif Hidayatullah, Policy Analyst dari Indonesia Services Dialogue, mengatakan bahwa “Sektor jasa memiliki peluang ekspor yang sangat besar, terutama di era digital seperti saat ini”. “Selama delapan tahun terakhir neraca perdagangan jasa Indonesia selalu mengalami defisit, berkisar antara USD 7-12 Miliar, akan tetapi defisit tersebut mengalami tren penurunan seiring menguatnya ekspor jasa dari USD 16 Miliar pada tahun 2010 menjadi USD 24 Miliar pada tahun 2017” tambahnya. “Defisit neraca jasa pada Q2-2018 juga lebih kecil dibandingkan Q2-2017, dari USD -2,2 Miliar (2017) menjadi USD -1,7 Miliar (2018)”.

Indonesia Services Dialogue: Neraca Perdagangan Kembali Negatif, Pemerintah Perlu Dorong Ekspor Jasa

Syarif mengatakan “Data tersebut mengindikasikan bahwa peran sektor jasa dalam neraca transaksi berjalan tidak dapat dipinggirkan, justru sebaliknya sektor jasa dapat menjadi motor untuk mengurangi defisit transaksi berjalan yang selama ini terjadi”. “Pada tahun 2017, jasa travel dan pariwisata mengalami surplus neraca perdagangan sebesar USD 4,23 Miliar, oleh sebab itu, sektor jasa pariwisata dapat menjadi quick wins Pemerintah untuk menstabilkan transaksi berjalan Indonesia”, tambahnya.

Devi Ariyani, Executive Director dari Indonesia Services Dialogue menambahkan “Terdapat dua langkah utama untuk mendorong perkembangan ekspor jasa nasional, pertama perkuat investasi sektor jasa dengan merevisi aturan daftar negatif investasi, kedua, hapuskan PPN untuk ekspor jasa.

Devi mengatakan “Pemerintah perlu mendorong investasi baru pada sektor jasa dengan melakukan reformasi terhadap sejumlah regulasi yang dianggap terlalu restriktif, seperti contohnya regulasi terkait daftar negatif investasi (DNI)”. “Daftar Negatif Investasi masih jadi penghambat masuknya investasi baru di Indonesia”. “Saat ini ada 515 bidang usaha di Indonesia yang tertutup mutlak dan terbuka dengan persyaratan, angka tersebut sangat besar apabila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lain seperti Thailand, Singapura dan Malaysia yang berturut-turut hanya sebanya 4, 11 dan 45 bidang usaha” tambahnya.

“Pengenaan PPN 10% untuk  selain tiga sektor tersebut akan mengurangi daya saing Indonesia karena banyak negara sudah mengenakan PPN 0% atas ekspor jasa terutama untuk jasa-jasa seperti financial center, jasa konsultan, jasa akuntansi, jasa call center, dan jasa-jasa lainnya yang dapat menambah penyerapan tenaga kerja”. “Negara-negara lain umumnya tidak mengenakan PPN untuk ekspor jasa”tambahnya

“Penerapan PPN dengan tarif 0% atas JKP sangat krusial untuk meningkatkan daya saing sektor jasa yang berorientasi ekspor di tataran perdagangan internasional. Hal tersebut akan membantu pelaku bisnis ekspor jasa untuk dapat mengenakan harga yang kompetitif terhadap produk jasa yang diekspor,” jelas Devi. (Red)