“Padahal Pasal 29 UUD 1945 jelas menyatakan negara tidak boleh mengekang kebebasan beragama.”
“Kami khawatir dalam aplikasinya RUU ini beralih pada model intervensi negara pada agama,” tegas Rinto.
Pengurus Pusat Pemuda Katolik, Bondan Wicaksono, menilai RUU ini memang memperlihatkan peran negara, tapi banyak yang ambigu di dalam penggunaan diksinya. Ia menyebut beberapa pasal dinyatakan kategori pendidikan formal maupun informal, tapi melampaui tata cara peribadatan beragama.
Bondan menyontohkan soal pengaturan pendidikan agama Katolik yang di dalam RUU memakai istilah Diniyah. Padahal, kata dia, agama Katolik tidak mengenal sistem dan sekolah seperti itu. Diantara pasal yang disebut Bondan adalah pasal 89 dan 80 yang menyatakan definisi sumber peribadatan juga bersumber dari tradisi dan kitab suci.
“Meskipun ada kesamaan konsep, tapi yang kami lihat nanti adalah dalam sisi penerapannya,” ujar Bondan.
Saat ini Kementerian Agama (Kemenag) masih menunggu RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan dari DPR RI sampai di meja pemerintah. Sebelumnya
Lembaga Pengembangan Pesantren (LP2) PP Muhammadiyah sudah meminta agar ada pemisahan RUU Pendidikan Keagamaan dan Pesantren. (arn)