Wiranto Minta Penyebar Hoaks Dijerat UU Terorisme, Pengamat: Nalar Keblinger

?

Lantaran itu, menurut Harits, pernyataan Wiranto adalah tafsir subyektif terhadap definisi yang termaktub dalam UU Terorisme No 5 Tahun 2018. Berdasarkan UU Terorisme, ia menerangkan, terorisme dapat diartikan sesuatu yang menimbulkan ketakutan di masyarakat.

“Mengacu definisi tersebut, publik bisa menakar wacana Menkopolhukam Wiranto seperti yang terekam oleh banyak media,” kata Harits.

Harits menjelaskan penyebaran hoaks bukan kejahatan yang harus dijerat dengan UU Terorisme. Ia menambahkan penyebaran hoaks yang menyebabkan seseorang kehilangan hak pilih dapat djangkau oleh UU Pemilu.

Baca Juga :  Jabat Ketua Wantimpres, Wiranto Memiliki Harta Rp542 Miliar

Jika membutuhkan payung hukum, ia menambahkan, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) masih relefan dengan persoalan hoaks. “Alur logika Wiranto bisa dianggap keblinger meski terkesan benar. Publik dengan mudah menangkap itu ‘nalar otak-atik matuk-otak atik gatuk’ sebagai bentuk upaya menampilkan sikap represif yang vulgar karena kepentingan politik kekuasaan,” kata dia.

Di sisi lain, ia menerangkan, tafsir Wiranto atas UU Terorisme menunjukkan pentingnya pembentukan Badan Pengawas seperti yang direkomendasikan aturan tersebut. Badan tersebut bisa memberikan fungsi pengawasan sehingga rezim pemerintah tidak melakukan penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power.