kabarin.co, Jakarta – Maestro campursari Didi Kempot meninggal dunia pada Selasa (5/5) pukul 07.25 WIB karena penyakit jantung di Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo. Banyak orang merasa kehilangan, tak hanya SadBoys dan SadGirls yang merasa sad (sedih) berkepanjangan kehilangan pujaan.
Didi Kempot memang sudah masuk-merasuk dalam kehidupan masyarakat. Tidak hanya di Jawa, Jakarta, dan Indonesia, namun hingga ke mancanegara. Di Belanda, Suriname bahkan Amerika, Didi Kempot tak hanya mendendangkan liris nada dalam langgam campursarinya, tapi lebih dari itu, ia menyuarakan “rasa” (sesuatu yang lebih dari perasaan): tentang campursari sebagai musik dan ekspresi artistik, tentang (budaya) Jawa dan Indonesia, tentang peristiwa personal dan sosial, bahkan lebih jauh tentang pertarungan identitas, problem-problem komunal hingga toponimi, geografi, bahkan tata kota.
Didi Kempot Dan Musik Campursari
Tengok saja kisah hidupnya sebagai bekas musisi jalanan yang memperjuangkan nasib di jalanan ibu kota serta refleksinya atas cinta, kehilangan, dan harapan dalam lagu-lagu Layang Kangen, Ambyar, Banyu Langit, hingga representasi kondisi sosial masyarakatnya lewat Sewu Kutha, Stasiun Balapan, Tanjung Mas Ninggal Janji. Melalui campursari, lagu berbahasa Jawa yang dibawakannya, ia mengajak orang menerjemahkan ulang terminologi identitas budaya di dalam hingga luar negeri.