Bos Pertamina Buka Serjarah Depo Plumpang Dari Lahan Kosong Hingga Dipadati Penduduk

Berita13 Views

Kabarin.co – Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Nicke Widyawati, blak-blakan soal awal mula lahan di sekitar Depo Plumpang di Jakarta Utara dipadati pemukiman padat penduduk. Hal itu disampaikan Nicke saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VI DPR yang juga disiarkan secara daring pada Selasa (14/3/2023).

“Jadi banyak sekali pertanyaan yang sampai kepada kami, yang mempertanyakan kenapa Pertamina membangun dan mengoperasikan terminal BBM di tengah warga yang sangat padat di tengah kota,” beber Nicke.

Awalnya, Nicke bilang, perusahaan minyak negara itu membeli lahan dari perusahaan swasta PT Mastraco pada tahun 1971. Direktur Utama Pertamina saat itu adalah Ibnu Sutowo.

Total lahan yang diakuisisi Pertamina mencapai 153 hektare. Kala itu, kawasan Plumpang masih berupa rawa-rawa yang jarang penduduk, sehingga lahan seluas itu bisa dibeli di harga Rp 514 juta.

Setahun setelah pembelian lahan, pemerintah pusat melalui Departemen Dalam Negeri menerbitkan Surat Penetapan Pemberian Hak, yang mana lahan Plumpang milik Pertamina diperuntukkan untuk industri migas.

Namun dari total 153 hektare lahan yang dibeli, Pertamina hanya menggunakan 72 hektare saja sebagai area depo atau penyimpanan dan distribusi minyak. Di lahan seluas 72 hektare itu, Pertamina juga berbagi lahan dengan kawasan operasional PT Elnusa, yang masih merupakan anak usahanya.

Sementara sisa lahan dibiarkan kosong sekaligus diperuntukan sebagai zona aman (buffer zone). Menurut Nicke, pihaknya masih memiliki bukti-bukti pendukung area lahan sekitar Depo Plumpang.

“Kami ingin menjelaskan tentang situasi dari Plumpang, yang tanahnya itu dibeli tahun 1971. Ini beberapa gambar yang kami ambil, jadi tahun 1972 masih di sekelilingnya adalah tanah kosong ada 82 hektare sekitar TBBM Plumpang ini.

Awal mula diduduki warga

Beberapa tahun kemudian, lahan kosong sekitar Depo Plumpang itu perlahan ditempati warga pendatang atau disebut penghuni tanpa hak (PTH). Hal itu mulai terjadi di akhir tahun 1980.
Pertamina sendiri kemudian membagi lahan menjadi 4 kawasan. Pertama kawasan A yang meliputi yang jadi area depo, kawasan B dengan luas 11 hektare, kawasan C seluas 12,5 hektare, dan kawasan D di sisi Selatan seluas 58 hektare.

Belakangan, kawasan D inilah yang kemudian dikenal dengan nama Tanah Merah. Nama ini diberikan setelah lahan rawa di kawasan D itu diuruk dengan tanah galian yang berwarna merah. Lantaran terus dibiarkan, pemukiman padat penduduk di sekitar depo terus bertambah seiring banyaknya warga pendatang di Jakarta Utara.

Saat ini, bahkan rumah warga sudah menempel di dinding pembatas depo. “Jadi kalau dilihat sebelumnya masyarakat mulai mendekat di akhir 1980-an. Dan di hari ini begitu padatnya sampai masyarakat atau rumah-rumah masyarakat nempel di dinding pembatas Terminal Plumpang,” ucap Nicke.

Pada 2017, Pertamina akhirnya melakukan survei bersama PT Surveyor Indonesia untuk mendata lahan di Tanah Merah di sekitar Depo Plumpang, di mana di kawasan D itu kini sudah dipadati rumah penduduk dengan jumlah 34.700 orang dalam 9.234 KK.

Kontrak politik Jokowi dan Anies Saat Pilgub 2012, Joko Widodo (Jokowi) sempat melakukan kampanye dan kontrak politik dengan warga Tanah Merah. Kala itu, warga Tanah Merah belum mengantongi indentitas kependudukan DKI Jakarta karena menempati lahan Pertamina.

Keinginan warga Kampung Tanah Merah untuk memiliki identitas yang jelas soal tempat tinggal mendapat angin segar setelah Jokowi kemudian terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta. Namun Jokowi hanya bisa mengabulkan pemberian KK dan KTP sehingga warga bisa mendapatkan hak-hak dasar seperti sambungan listrik, akses pendidikan, dan sebagainya. Sementara untuk surat kepemilikan lahan, hal itu tak bisa dipenuhi Jokowi karena rumah penduduk berdiri di atas tanah negara.

Setelah Jokowi tak lagi menjadi Gubernur DKI Jakarta, warga Tanah Merah sempat was-was lantaran di era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok beberapa kali melakukan penertiban tanah. Mereka khawatir Tanah Merah akan jadi sasaran Ahok berikutnya.

Lalu di tahun 2017, warga Tanah Merah yang resah ini kemudian kembali mendapat angin segar saat Anies Baswedan maju dalam Pilgub DKI. Dikutip dari pemberitaan Kompas.com 2 Oktober 2016, Anies Baswedan, menyambangi warga Tanah Merah, Jakarta Utara.

Dalam kunjungan itu, Anies disodorkan kontrak politik oleh warga. Koordinator Forum Tanah Merah Bersatu, Purwanto, mengatakan bahwa warga Tanah Merah siap memenangkan Anies dalam Pilkada DKI 2017.

Namun, dengan syarat, saat nanti menjabat, Anies tidak asal menggusur permukiman warga. Adapun kontrak politik yang disodorkan untuk Anies antara lain melegalisasi kampung-kampung yang dianggap ilegal.

Kampung-kampung itu sudah ditempati warga selama 20 tahun dan tanahnya tidak bermasalah, kemudian akan diakui haknya dalam bentuk sertifikasi hak milik. Lalu, permukiman yang kumuh tidak digusur, tetapi ditata seperti kampung tematik dan kampung deret.

Permukiman kumuh yang berada di atas tanah negara (BUMN) akan dilakukan negosiasi yang melibatkan masyarakat. Nantinya, gubernur akan menjadi mediator supaya warga tidak kehilangan hak atas tanah, kemudian memberikan perlindungan dan penataan ekonomi informal kepada warga.

Sebagai janji kontrak politik, Anies kemudian menerbitkan IMB, namun izin bangunan hanya berupa IMB kawasan, bukan IMB per bangunan karena status lahan adalah milik Pertamina. Itu pun hanya berlaku selama 3 tahun saja.(pp)