Mentawai, kabarin.co – Balai Desa Pasakiat Taileleu, Kecamatan Siberut Barat Daya, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Minggu (4/5/2025), tak lagi hanya menjadi tempat pertemuan biasa. Ia menjelma menjadi ruang saksi bisu ratusan hati yang berkumpul dengan satu suara, membela putra mereka, Manuel Salimu.
Ratusan warga memadati balai desa, bukan untuk berpesta, bukan untuk merayakan kemenangan, melainkan menyuarakan penolakan atas Pergantian Antar Waktu (PAW) yang menimpa Manuel Salimu putra asli Taileleu, yang baru 15 hari menjabat sebagai anggota DPRD sebelum diturunkan secara mendadak.
Berbagai luapan emosi menyelimuti suasana ketika Manuel Salimu, didampingi pengacaranya Gusman, Jefrinaldi, dan Mesa Marcelina serta tokoh masyarakat, hadir untuk memberikan penjelasan.
Dengan mata yang berkaca-kaca, Manuel Salimu membantah tegas tuduhan pesta narkoba yang diarahkan padanya saat kegiatan BIMTEK di Padang.
“Pada hari itu saya dari siang hingga tengah malam berdiskusi dengan adik-adik mahasiswa dari Taileleu dan Pei-pei. Saya baru kembali ke hotel sekitar jam 12 malam, dan saya bersama istri saya. Jadi sungguh tidak benar saya tertangkap sedang berpesta sabu,” ujar Manuel dengan suara bergetar, menahan perasaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.
Masyarakat yang hadir tak hanya mendengarkan, tapi juga menyuarakan penolakan mereka secara lantang.
“Ini bukan soal politik. Ini tentang harga diri masyarakat Taileleu yang diinjak-injak,” kata Lian Sabit, salah satu masyarakat yang turut hadir.
“Kami yang memilih, tapi orang lain yang menggantikan. Kami tidak mengenal siapa pengganti itu. Yang kami pilih adalah Manuel Salimu,” tambahnya, disambut seruan setuju dari hadirin.
Sofian Mika, warga lainnya, menyampaikan harapan besar yang mewakili suara kolektif masyarakat. untuk kasus Manuel Salimu ini.
“Kami berdoa, berharap Tuhan memberi jalan agar bapak Manuel kembali ke kursi DPRD. Karena ini bukan hanya tentang satu orang, tapi tentang perjuangan dan harga diri satu desa,” katanya.
Saprina Saelepak, dengan nada pilu, mengungkapkan duka yang mendalam. “Ini sejarah bagi desa kami. Dua anak desa jadi anggota dewan, tapi satu harus hilang. Kami tak bisa diam, semoga hukum dapat berjalan dengan baik,” katanya.
Sementara itu, Maria Magdalena dari Ikatan Mahasiswa Taileleu Pei-pei yang juga hadir dalam pertemuan malam itu, menegaskan bahwa benar mereka bersama Manuel hingga tengah malam.
“Kami bingung. Malam itu kami masih bersama beliau, tiba-tiba disebut pesta narkoba. Ini sangat membingungkan,” ungkapnya.
Disisi lain kuasa hukum Manuel Salimu yang di wakili oleh Jefrinaldi turut memberikan keterangan terkait perkembangan kasus tersebut kepada warga.
“Jadi perkembangan kasus ini sudah tahap persidangan. Pada tanggal 7 Mei 2025, sidang perdana pembacaan gugatan di PTUN, dengan sistem online,”ujarnya.
Jefrinaldi menjelaskan, ada dua alasan mengapa SK PAW Gubernur terhadap Manuel Salimu dan Syafridin dinilai cacat hukum. Pertama, SK tersebut diteken pada saat kedua kliennya masih menempuh sengketa di Mahkamah Partai.
Hal ini menurutnya, jelas-jelas merupakan indikasi pengabaian Gubernur terhadap mekanisme internal partai sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta undang-undang nomor 2 tahun 2011 tentang, perubahan undang-undang nomor 2 tahun 2008 tentang partai politik.
“Selain itu, SK Gubernur juga telah melewati masa tenggang waktu 14 hari sejak usul pemberhentian anggota DPRD Kabupaten/Kota diterima dari Bupati/Walikota sesuai UU No 23 tahun 2014,” jelasnya.
Diakhir acara masyarakat secara bersama-sama mendeklarasikan penolakan terhadap Manuel Salimu.
Di balik semua kegaduhan politik dan prasangka hukum, tersisa satu kenyataan yang tak bisa dipungkiri: masyarakat Taileleu berdiri teguh untuk putra mereka, karena dalam sosok Manuel Salimu, mereka tak hanya melihat seorang wakil rakyat, tapi simbol perjuangan, harapan, dan harga diri yang tak bisa ditukar dengan apapun.
(*)