“November Rain” dan Dongeng Kelabu Jelang Ulang Tahun ke-37 Kabau Sirah

Oleh: Rizal Marajo  

30 November 2017, seharusnya tanggal itu menjadi hari bahagia Semen Padang FC. Klub ini akan memasuki usianya yang ke-37 tahun. Usia jelang 40, yang bagi seorang anak manusia adalah “golden age”. Usia yang berada di gerbang kedewasaan, kemapanan, dan kematangan.

Tapi Semen Padang FC,  menjelang moment usia emas-nya itu, justru mendapatkan hasil yang sangat mengecawakan. Pastinya hal itu akan tercatat sebagai salah satu sejarah paling hitam sepanjang perjalanan klub.

Turun kasta dari kompetisi atau terdegradasi adalah sebuah catatan kelam sebuah klub sepakbola dimanapun. Degradasi adalah simbol ketidakmampuan, kemunduran, bahkan adalah sebuah kegagalan.

Tak ada yang bisa memungkiri hal itu termasuk yang dialami Semen Padang hari ini. Celakanya itu adalah sejarah juga, karena selama 37 tahun keberadaan tim ini belum pernah terdegradasi dari sebuah kompetisi. “Noda” inilah yang cukup membuat sesak di dada para pecinta Semen Padang.

Kenapa Semen Padang? mengapa Semen Padang yang harus terdegradasi? siapa yang harus disalahkan? Bagaimana nasib tim ini setelah terdegradasi? Dan banyak lagi pertanyaan-pertanyaan publik setelah “tragedi” 12 November 2017 itu.

“Sudahlah, ini adalah “dosa” kita bersama.”celetuk seorang penonton dengan suara bergetar di tribun. Mungkin ada benarnya, walau itu lebih ke bentuk kepasrahan, menghibur diri dan berusaha untuk tegar ketika dia mendapat info Persib tertinggal dua gol dari Perseru Serui, yang berarti “game over” untuk Semen Padang.

Kita bersama! Mungkin bisa diartikan mulai dari manajemen tim, tim pelatih, pemain, mungkin juga suporter atau pendukung tim. Simple-nya, manajemen mungkin yang tak cakap mengurus tim, pelatih yang tak berdaya membuat tim kompetitif, pemain yang abai dengan tanggungjawabnya, atau pendukung yang kurang maksimal memberi support di belakang tim.

Terlepas dari apakah memang faktor-faktor itu yang membuat Semen Padang degradasi, tapi yang jelas selama bola itu masih bundar, di sepakbola memang akan selalu muncul fairytale atau “dongeng-dongeng” yang tak terduga. Di akhir kompetisi akan selalu ada cerita tentang happy end atau sebaliknya tragis dan dramatis.

Sayangnya Semen Padang kali ini kebagian akhir yang tragis-dramatis itu. Sejarah memang ibarat roda yang selalu berputar. Berangkat menghadang Liga 1 2017 dengan membawa modal lumayan sebagai semifinalis Piala Presiden. Bahkan Medsos-medsos resmi klub tak malu-malu membuat tagar seperti “Semen Padang Juara” di awal-awal musim.

Kompetisi berjalan, fairytile itupun merambat. Tim ini seolah berjalan ringkih dan rapuh menghadang kompetisi. Ada yang menyebut karena soal regulasi pemain muda, cedera pemain berkepanjangan dan silih berganti, serta marquee player yang tak berguna.

Belum lagi soal pelatih yang tak berdaya, manajemen yang mengeluh tak punya duit untuk menambal pemain dengan sosok berkelas, trauma laga tandang yang tak terpecahkan, pemain yang terkadang tak fokus dan tak full spirit di lapangan, dan sebagainya. Semua itu adalah point-point yang membuat “Kabau Sirah” membuat dongeng hari ini.

Well. sudahlah, saya hanya ingat saat pihak Panpel Semen Padang saat laga kandang melawan Mitra Kukar, ketika di sound system diputar lagu tenar Guns’N Roses “Don’t Cry” jelang kick off saat pemain kedua tim pemanasan.

Hati pun makin bergetar, di saat jeda babak pertama mereka kembali memutar lagu sedih, November Rain-nya GNR. Tapi entah kenapa dipertengahan lagu itu dihentikan.

Ya, Don’t cry dan November Rain itu, seperti sebuah sinyal yang tak disadari. Memang ada hujan dan tangis di bulan November. Bertarung diiringi hujan di laga penentuan, dan hujan pula di Bandung dalam laga Persib vs Perserui yang menghukum Semen Padang.

Komplitlah sudah dongeng November Rain Kabau Sirah tahun ini. Menyedihkan, ibarat seraknya vokal AXL Rose melantunkan lirik demi lirik lagu, bahkan menyamai pilunya lengkingan gitar Slash yang seolah merobek-robek hati penggemar Semen Padang.

Seperti yang tertulis dalam penggalan lirik-lirik November Rain di bawah ini:

If we could take the time
Andai kita bisa memanfaatkan waktu
To lay it on the line
Untuk berkata jujur
I could rest my head
Aku bisa merasa tenang
Just knowin’ that you were mine
Karna tahu bahwa kau adalah milikku
All mine
Benar-benar milikku
So if you want to love me
Jadi jika kau ingin mencintaiku
Then darlin’ don’t refrain
Maka Sayang jangan kau tahan
Or I’ll just end up walkin’
Atau akhirnya aku kan berlalu
In the cold November rain
Di musim hujan bulan November yang dingin.

Semoga Semen Padang FC masih ada tahun depan!, bangkit dan kembali ke habitatnya di kasta tertinggi. Karena memang disanalah seharusnya  klub ini berada. Sebuah klub sepakbola yang punya sejarah panjang dan mampu mewarnai persepakbolaan Indonesia sebagai klub yang “lugu” dan senantiasa jauh dari berbagai intrik.(*)