“Itu sangat luar biasa, sebuah gerakan kolosal yang hebat. Spontanitas yang dilandasi rasa bangga dan cinta tanpa dikoordinir oleh kelompok-kelompok suporter seperti sekarang. Kedai ditutup, cangkul digantung agak sehari untuk pergi ke Imam Bonjol, begitu benarlah.”katanya.
Tak hanya itu, tim bola Semen Padang itu bahkan disebutnya sebuah kesenian atau pertunjukan kesenian yang hebat, yang tercipta dari sebuah brand yang sudah mengakar ditengah masyarakat.
“Semen Padang itu merek yang hebat, tidak hanya bolanya. Ibaratnya sudah menjadi tradisi moral di Sumatra Tengah. Misal, kalau melanggar moral di Nagari, maka dendanya adalah semen sekian karung, Semennya adalah Semen Padang.”lanjutnya bersemangat.
Sekarang masa-masa indah penuh cinta itu harus dijemput kembali, dan fanatisme yang mulai memudar atau motivasi yang tergerus karena tim yang terdegradasi harus dibangkitkan lagi.
“Saya melihat kecendrungan seperti itu, yang banyak sekarang cimeeh, bahkan caci maki kalau tim buruk dan tidak menang. Cimeeh boleh karena orang Minang terbiasa dengan kiasan, kritik sehat harus ada. Yang tak boleh itu mencaci maki, karena caci maki itu terkadang bisa menjadi doa yang buruk.”ucapnya.