PKS Menolak Pengesahan Rancangan Undang-undang Tax Amnesty

Nasional7 Views

kabarin.co, Jakarta – Dalam Sidang Paripurna DPR ke-32, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty. Sebab, Fraksi PKS menilai masih ada enam pasal yang bermasalah.

Wakil Ketua Fraksi PKS, Ecky Awal Mucharam menegaskan, sikap fraksinya keberatan untuk menerima dan menyetujui RUU Tax Amnesty jika masih ada pasal-pasal bermasalah tersebut.

“Kami sangat keberatan untuk menerima dan menyetujui RUU dalam sidang paripurna ini, karena masih ada enam pasal yang bermasalah. Kami meminta sikap kami dihargai dan diakomodasi, mohon dipertimbangkan agar diputuskan secara voting terbuka,” kata Ecky, Selasa (27/6).

Ecky menjelaskan, enam pasal ini terkait dengan sejumlah hal yang dianggap tidak memberikan keadilan bagi wajib pajak yang selama ini telah melakukan pembayaran pajak secara benar.

‎Dalam pasal 3 ayat 5 tentang obyek pengampunan pajak, PKS meminta obyek pengampunan pajak cukup pada pajak penghasilan saja (PPh pasal 21), tidak perlu sampai pada PPN dan PPn BM. Sebab, praktik yang lazim dalam Pengampunan Pajak hanya mengampuni pajak penghasilan saja.

“Ini sesuai dengan konsep Pengampunan Pajak yang berbasis differensial asset, atau akumulasi penghasilan yang selama ini tidak dipajaki. Perluasan objek pajak kepada PPN dan PPn BM akan berdampak buruk pada penerimaan Negara secara keseuluruhan.”

“Kami juga mengusulkan bahwa pokoknya tidak diampuni, yang diampuni hanya sanksi administrasi dan pidana perpajakannya saja,” kata Ecky.

Mengenai fasilitas dan tarif tebusan‎, dalam pasal 4, pemerintah mengobral tarif yang sangat rendah sebesar 1-6 persen untuk para pemodal besar.

Ini sangat tidak adil jika dibandingkan dengan tarif PPh yang sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan, yaitu sebesar maksimal 30 persen, ditambah sanksi administrasi 48 persen dari pokok, dan sanksi pidananya.

Dengan obral tarif tebusan ini negara kehilangan potensi pemasukan yang sangat besar sekaligus mencederai rasa keadilan bagi mayoritas masyarakat yang patuh membayar pajak.

Fraksi PKS pun masih memperjuangkan agar tarif yang dikenakan sesuai dengan ketentuan perpajakan, atau sebesar 30 persen.

Hal ini dilakukan demi mencegah kehilangan potensi pendapatan negara yang besar dan menegakan asas keadilan. Fasilitas Pengampunan Pajak pun harus dibatasi kepada penghapusan sanksi administrasi dan sanksi pidananya saja.

Peserta pengampunan pajak tetap membayar pokok pajak sesuai ketentuan PPh. Sementara untuk dana repatriasi bisa diberikan diskon sedikit lebih rendah dari itu.

Dalam pasal 20 RUU Pengampunan Pajak yang mengatur bahwa data dan informasi yang bersumber dari Surat Pernyataan dan lampirannya tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan pidana. Fraksi PKS berpandangan bahwa pasal ini rawan untuk disalahgunakan, dan memberikan ruang bagi pidana lain, seperti korupsi, narkoba, terorisme, human trafficiking, dan pencucian uang untuk bersembunyi.

“Melalui pasal ini, bisa saja pelaku pencucian uang atau korupsi, turut melaporkan harta hasil kejahatan mereka untuk mendapatkan Pengampunan Pajak.

Apabila mengikuti aturan pada pasal 20 tersebut, jika nantinya ditemukan bukti bahwa dana tersebut merupakan hasil kejahatan non-perpajakan, maka dana tersebut tidak bisa dijadikan alat penuntutan pidana,” kata Ecky.

Dia menambahkan, Fraksi PKS berpendapat bahwa pasal tersebut harus dikeluarkan dan diperkuat dalam pasal kerahasiaan data atau pasal tersebut harus menyebutkan secara langsung bahwa pasal hanya berlaku pada pidana perpajakan.

Ecky menjelaskan,‎ mengenai dana repatriasi harus benar-benar masuk ke sektor riil dan infrastruktur, yang berdampak langsung pada penciptaan lapangan kerja. Pasal 12 ayat 2 dan 3 mengatur terkait instrumen investasi yang dapat digunakan untuk menaruh dana hasil repatriasi.

Khusus pada Ayat 3, RUU Pengampunan Pajak membuka ruang bagi Wajib Pajak untuk menaruh dana di instrumen keuangan lain (non-Pemerintah), seperti obligasi perusahaan swasta maupun investasi sektor riil lainnya yang ditetapkan oleh Menteri.

Melihat hal ini, Fraksi PKS mendorong Pemerintah agar dana repatriasi tersebut jangan sampai menjadi hot money dalam bentuk investasi pasar uang yang bisa tiba-tiba keluar dan mengganggu stabilitas sistem keuangan. Apalagi dana ini bisa menjadi sumber bubble keuangan karena spekulasi di sektor properti.

Saat ini Bank Indonesia (BI) melakukan ekspansi moneter dengan menurunkan suku bunga acuan dan merelaksasi aturan kredit properti. Apabila dana repatriasi tidak diatur, ditambah dengan rezim suku bunga rendah BI, hal tersebut dikhawatirkan akan meniupkan bubble pada sektor properti.

Saat ini, lanjut Ecky, indeks harga properti Indonesia sudah meningkat hingga 36 persen apabila dibandingkan tahun 2013. Harusnya hal tersebut sudah menjadi warning bagi pemerintah agar lebih berhati-hati dalam mengelola dana repatriasi ini.

Ecky mengatakan, Fraksi PKS meminta agar ‎dana yang masuk dan ditampung melalui SBN, ‎ maka instrumen ini harus memiliki imbal hasil yang tidak lebih tinggi dari tarif tebusan repatriasi.

Repatriasi harus benar-benar masuk dari luar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ke dalam NKRI dengan masa holding period harus lebih lama yaitu minimal lima tahun, bukan tiga tahun sebagaimana usulan pemerintah.

‎Terakhir, Ecky menilai fraksinya menilai bahwa dana hasil tax amnesty tidak boleh dimasukan dalam asumsi RAPBNP 2016 sebesar Rp 165 trilun.

Dengan adanya perpanjangan waktu hingga 31 Maret 2017, semakin menambah ketidakpastian bahwa target penerimaan pajak dari Pengampunan Pajak akan tercapai. (rep)