Adian Napitupulu Ungkap Sumber Dana Mahasiswa Saat Jatuhkan Soeharto

Nasional1 Views

kabarin.co, JAKARTA — Aksi demonstrasi ribuan mahasiswa pada Mei 1998 menjadi salah satu faktor pemicu berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998.

Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang juga aktivis mahasiswa pada era reformasi, Adian Yunus Yusak Napitupulu, mengenang peristiwa 18 tahun silam tersebut.

Adian mengaku bahwa gerakan mahasiswa saat itu bersifat sukarela. Saat itu, para mahasiswa yang melancarkan aksi tidak memiliki uang untuk membiayai gerakan mereka.

Bahkan, mereka bekerja keras, termasuk mengamen, untuk mengumpulkan uang. Cara ini dilakukan untuk mencetak selebaran dan membeli kertas.

“Gerakan kita itu dibiayai dari apa? Ngamen, dan ngecrek di mobil sambil bikin selebaran,” tutur Adian saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (18/5/2016).

Hasil mengamen diakui Adian cukup lumayan. Ia mencontohkan, istrinya, yang saat itu juga salah satu mahasiswi yang ikut melancarkan aksi, mengamen hingga mendapatkan Rp 2 juta.

Angka yang terbilang cukup besar tersebut mereka dapatkan karena banyak masyarakat yang berpihak kepada para mahasiswa demonstran.

Mereka menghendaki perubahan sehingga mendukung penuh aksi yang dilancarkan Adian dan ribuan rekannya.

Adian bercerita, bahkan ada seorang ibu paruh baya yang mendermakan cincin lima gramnya untuk membantu para mahasiswa demonstran.

Kehidupan gerakan mahasiswa saat itu dinilai ironis oleh Adian. Sebab, para mahasiswa juga kekurangan uang untuk hidup sehari-hari sepanjang Mei 1998 itu.

Untuk menyambung hidup, lanjut Adian, pagar kampus pun menjadi sasaran, dipereteli untuk ditukar dengan uang.

“Saking enggak punya duit, kami pernah kiloin pagar kampus. Rektornya marah-marah,” tutur Adian sambil tertawa.

“Kami kiloin ke tukang besi tua. Ya kami lapar. Pagar perumahan dosen juga kena,” kata dia.

Adian menceritakan, ia yang saat itu berkuliah di Universitas Kristen Indonesia (UKI) mesti menumpang bus dari pos UKI di Cawang menuju tempat melancarkan aksi.

Karena itu, ia pun membantah jika ada ada pihak yang menyebut para mahasiswa tersebut banyak uang.

“Orang bilang banyak duit. Enggak ada. Siapa yang biayai? Pada 18 Mei itu ya kami, air mineral, satu gelas berdua. Serak-serak kami enggak ada minuman,” ucapnya.

Barulah selepas 18 Mei 1998, kata dia, para mahasiswa demonstran tak lagi kelaparan. Bantuan berdatangan dari banyak pihak.

Semua pihak dinilai Adian berlomba ingin berebut peran kesejarahan seusai Soeharto jatuh.

Pada momen tersebut, pangan berlimpah. Para mahasiswa yang biasa menyantap masakan rumahan di Warung Tegal, pasca-jatuhnya Soeharto, dipasok banyak makanan, termasuk makanan cepat saji.

Bahkan, Adian menuturkan, para mahasiswa akhirnya mengenal roti dengan bungkus bertuliskan “bakery” serta roti-roti berisi daging di kala sebelumnya mereka hanya menyantap roti dengan taburan gula.

Kiriman nasi bungkus juga terus berdatangan, sekalipun para mahasiswa tak memintanya. Saking banyaknya gelontoran pangan, mereka pun sampai sakit perut.

“Makanan yang tidak pernah kami makan, di sana banyak. Kami kan spesialisasi warteg,” kata dia.

Tak hanya bantuan pangan, bantuan sandang juga banyak dikirim oleh masyarakat.

“Pakaian dari celana dalam sampai piyama dikasih. Enggak ngertimaksudnya,” ujarnya sambil tertawa.

Bantuan pangan dan sandang hasil kiriman banyak pihak tersebut akhirnya dibagikan kepada masyarakat oleh para mahasiswa demonstran.

“Setiap sore, kami keliling dengan mobil kampus dan mobil pribadi mahasiswa, bagikan ke mana-mana karena kelebihan,” tutur Adian. (kom)