Blunder Ahok Jangan Menjadi Blunder Nasional

Nasional4 Views

​kabarin.co – Dalam olahraga sepakbola, blunder bisa terjadi ketika terjadi kesalahan umpan yang mengakibatkan lawan mencetak gol. Tapi bahkan bisa terjadi ketika pemain menjebloskan bola ke gawang sendiri. Dalam permainan catur, kata blunder digunakan ketika pemain dalam posisi seimbang atau unggul justru melakukan kesalahan langkah fatal yang berakibat kehilangan buah perwira sehingga posisi menjadi berbalik bahkan langsung skak mat.

Dalam bahasa Inggris, blunder diartikan sebagai 1)to move clumsily or blindly, 2)to make a usually serious mistake, 3)to make a stupid, usually serious error; botch , 4)to utter (something) stupidly or thoughtlessly. Jadi blunder dapat disimpulkan sebagai suatu kesalahan, kecerobohan, kebodohan yang berdampak besar pada diri sendiri.

Dalam kehidupan nyata, setiap orang pasti pernah melakukan blunder. Tetapi dampaknya hanya bisa dirasakan oleh pribadi seseorang atau terbatas pada dirinya dan keluarganya saja. Lain hal nya jika blunder dilakukan oleh seorang pejabat pemerintahan dalam bentuk kebijakan yang mempengaruhi kehidupan orang banyak. Itulah mengapa besar kecilnya dampak blunder mengikuti kewenangan yang dipegang oleh seorang pejabat pemerintahan.

Dalam politik, umumnya blunder merupakan akumulasi dari tekanan-tekanan politik sebelumnya. Maka ketika terjadi blunder, rangkaian kesalahan kecil ini akan memberi dampak berkali-kali lipat. Dalam menerapkan strategi dan taktik politik, blunder terjadi ketika manuver politik seorang politisi justru dimanfaatkan lawan politik untuk menyerang balik. Alih-alih mengirim umpan kepada kawan politik untuk digunakan menyerang lawan, justru umpan tersebut dengan cepat direbut lawan dan digiring menyerang balik sang politisi.

Dampak politis dari suatu blunder politik juga dipengaruhi oleh sosial media. Respon publik dalam bentuk mobilisasi maya jauh lebih cepat daripada mobilisasi massa. Sensitif atau tidak dan besar atau kecilnya isu dalam blunder politik akan mendorong mobilisasi maya menjadi mobilisasi massa. Itulah yang terjadi dalam fenomena Arab Spring dan Aksi Bela Islam. Pertarungan politik pada dasarnya adalah pertarungan isu. Mengelola isu politik akan membangun suatu persepsi yang diinginkan. Persepsi akan terbangun oleh mobilisasi maya yang akhirnya akan mendorong mobilisasi massa.

Dalam konteks perilaku kepemimpinan pemerintahan Ahok di DKI Jakarta yang sampai saat ini masih berujung pada pengadilan kasus penistaan agama, apa yang terjadi pada sidang pengadilan ke-8 yang digelar 31 januari 2017 merupakan bentuk blunder politik berganda. Blunder pertama terkait penistaan Al Maidah yang belum selesai proses hukum dan dampak politisnya tetapi justru menimbulkan blunder susulan. Diibaratkan dalam ring tinju, baru saja bangkit setelah mendapatkan pukulan hook telak dan mendapatkan hitungan, malah mendapatkan pukulan upper cut yang membuatnya jatuh terduduk. Blunder dalam peristiwa ini bisa saja merupakan bentuk kecerobohan atau kebodohan karena bermaksud mengirim umpan yang sesungguhkan disuplai oleh lawan poltik.

Dampak politis dari blunder politik juga tergantung bagaimana persepsi bekerja. Ibarat gempa bumi, gempa susulan biasanya lebih besar dan menghancurkan. Tetapi bisa juga tidak. Dalam konteks Pilkada DKI, bisa saja ini akhir dari dukungan yang tersisa dari sebagian umat Islam kepada Ahok. Tetapi ini perlu dilihat dari bagaimana kristalisasi dukungan politik masih rasional atau sudah tidak rasional lagi. Inilah pertarungan kembali pada media massa dan sosial media sebagai pembentuk persepsi publik.

Apapun dampak politis yang terjadi akibat blunder susulan Ahok, sudah seharusnya tidak diikuti dengan blunder nasional. Yaitu ketika isu penyadapan, memata-matai rakyat dan berujung pada kriminalisasi dan penangkapan-penangkapan yang dilakukan oleh institusi rezim Jokowi dianggap sebagai suatu kebenaran oleh publik. Secara empiris, rejim otoriter di berbagai negara seringkali mempraktekkan penyadapan dan memata-matai rakyatnya sendiri. Bahkan melakukan penagkapan-penangkapan. Hal ini dilakukan sebagai bentuk kepanikan dan ketakutan ketika perlawanan rakyat semakin kuat menolak rezim otoriter.

Penulis:  Gde Siriana (Soekarno Institute for Leadership)

Baca Juga:

Diskursus Kebangsaan Dalam Kontemplasi Nasional

Mengejar Infrastruktur, Melepas Kedaulatan Rakyat

Umat Islam Melawan Propaganda Makar Rezim Otoriter