Korporatisme Politik dan Korupsi : Kasus Mexico dan Indonesia

kabarin.co – Sistem politik Mexico ketika berada di bawah kekuasaan Partido Revolucionario Institucional (PRI) sejak 1929 sampai 1999 dikenal sebagai negara yang mengadopsi sistim Korporatisme politik. Sistim ini dapat dianalogikan dengan tubuh manusia, dimana kepala memiliki peran untuk mengatur bergeraknya organ-organ tubuh manusia dengan harmonis. Di Mexico sistem ini dijalankan melalui PRI yang berperan besar dalam mengatur unsur-unsur pendukung partai tersebut, seperti buruh, nelayan, kaum profesional dan pengusaha.

Calon presiden PRI selalu memenangkan pemilihan presiden sampai tahun 1999, termasuk menguasai parlemen. Hampir semua jabatan gubernur dapat dikuasai PRI.  Dominasi PRI berakhir pada tahun 2000 dan untuk pertama kalinya calon partai oposisi memenangkan pemilihan presiden yaitu Vicente FOX dari Partido Accion Nacional (PAN), dan pada 2006 kembali calon PAN, Vicente Calderon memenangkan kursi kepresidenan Mexico. Tetapi, pada pemilihan presiden berikutnya PRI kembali memegang  kekuasaan setelah calonnya, Enrique Pena Nieto memenangkan pemilihan umum dan menjadi presiden Mexico sejak 1 Desember 2012.

Sistem Korporatisme itu tampaknya berperan dalam mendorong korupsi. Sistem yang dipakai dikebanyakan negara-negara Amerika Latin pada masa itu  juga memberikan dampak yang serupa, yaitu merebaknya korupsi. Korupsi masih terus merebak di Mexico. Korupsi,  menurut pengamat Mexico, Alan Riding,  seperti minyak pelumas untuk menjalankan mesin pemerintahan.  Korupsi dilakukan oleh para politisi yang menggunakan status istimewanya serta pengaruhnya, sekaligus dapat menciptakan loyalitas bagi mereka yang masuk dalam lingkaran ini.

Pengamat politik Mexico seperti Morris Stephen berpendapat, struktur korporatisme di Mexico menggunakan korupsi sebagai alat kontrol terhadap unsur-unsur buruh, nelayan, kelompok popular, pengusaha yang merupakan bagian dari keseluruhan struktur politik di bawah PRI. Korupsi merupakan strategi untuk melakukan kooptasi dan kontrol terhadap kelompok-kelompok yang ada dalam struktur sehingga mereka melakukan dukungan penuh kepada rezim yang berkuasa.

politik-mexico-dan-indonesia-1

Indonesia pada masa rejim Orde Baru dianggap telah menerapkan sistem korporatisme politik ini. Rezim Orba dengan Golongan Karya-nya membangun korporasi politik dengan unsur-unsur yang tergabung dalam partai berkuasa tersebut, termasuk angkatan bersenjata sehingga keseluruhan unsur tersebut harus sejalan dengan arahan pimpinan nasional ketika itu, presiden Soeharto.

Seperti di Mexico, kekuasaan presiden bukan hanya sebagai kepala negara/pemerintahan, tapi juga secara de facto adalah “ketua” partai Golkar ketika itu. Dukungan angkatan bersenjata kepada Soeharto ketika itu telah melanggengkan kekuasaan Soeharto selama 32 tahun.

Menurut Indeks korupsi Transparancy International (2015), Indonesia (ranking 88) sedikit lebih baik daripada Mexico (ranking 95),  dan praktek korupsi di Indonesia juga merupakan bagian penting dari upaya mengkooptasi semua elemen yang mendukung rezim Orba. Pengamat lain, Jean Rivelois, menganggap korupsi di Mexico merupakan elemen yang menyatukan elit politik selama 71 tahun kekuasaan PRI. Sebabnya, para pendukung rezim ini  menerima keuntungan langsung dari kesempatan korupsi, tapi mereka dapat pula mendistribusikan  kesempatan itu kepada pihak lainnya. Karena itu, bisa dimengerti sulitnya mengurangi praktek korupsi di Indonesia karena elit sebisa mungkin saling menutupi.

politik-mexico-dan-indonesia-2

Mengikuti konsep elit yang umum, yaitu sebagai sekelompok orang yang memiliki posisi di dalam kelompok politik, militer, ekonomi dan sosial budaya. Keputusan kelompok ini memiliki konsekuensi penting bagi masyarakat umum. Dalam konteks elit pada sistem korporatisme seperti di Mexico, Jean Rivelois membagi elit menjadi 3 tingkatan: pertama, kelompok kecil yang terdiri dari presiden dan orang-orang terdekatnya di eksekutif; kedua adalah perwakilan-perwakilan  dari kelompok politik yang aktif, bankir, pengusaha dan mereka dari sektor pertanian, dan termasuk juga para menteri  tertentu, militer , pemimpin buruh; dan tingkat ketiga adalah para tokoh dari partai berkuasa maupun oposisi yang sudah terkooptasi.

Meskipun Indonesia sudah memasuki masa reformasi 18 tahun, kita masih melihat korupsi masih berlangsung terus. Ini dilakukan oleh tokoh-tokok politik atau parlemen dari semua aliran, partai, nasionalis, intelektual, agama, maupun dari eksekutif dan judikatif.    Sistem korporatisme yang dulu dimotori  Golkar dan dikomandani oleh Soeharto sebagai presiden yang memiliki kekuasaan terhadap partainya, belakangan ini secara bergantian dimainkan oleh partai-partai lainnya, dan menjadikan partai-partai lainnya sebagai unsur-unsur yang masuk dalam sistem korporasi rezim berkuasa. Paling tidak selama pemerintahan Soesilo B. Yudhoyono (SBY) kita melihat bagaimana koalisi besar yang dibangun SBY pada dasarnya adalah pembagian kesempatan sehingga partai politik beserta tokohnya dapat mengamankan kepentingannya.

Banyak yang memiliki harapan besar di awal pemerintahan Presiden Joko Widodo. Jokowi diharapkan akan mempunyai pemerintahan yang efektif dan dapat menjalankan programnya dengan independen. Namun, disadari atau tidak,  tampaknya Presiden Jokowi juga terperangkap dalam pola korporatisme politik atas nama mengamankan stabilitas pemerintahannya dengan mengkooptasi partai-partai yang berseberangan, terutama Golkar yang kini mendukung penuh pemerintahan Jokowi.

Perombakan kabinet dua kali membuktikan adanya keinginan mengakomodir partai lain dalam sebuah sistem korporasi. Memang  basis dukungan politik pemerintahan Jokowi meluas, tapi  sebagaimana ungkapan populer bahwa “tidak ada makan siang yang gratis” maka Presiden Jokowi telah membuka pemerintahannya rawan dengan kolusi politik, memperbanyak orang yang dapat menjual pengaruh dan mempunyai kepentingan golongan, serta memperluas nepotisme politik untuk pembagian kapling ekonomi dan bisnis. (BB)

Penulis : Budiarman Bahar,  Master (S2) Studi Amerika Latin, di Ohio University Amerika Serikat

budiarman_bahar