Pakar komunikasi politik Prof Tjipta Lesmana menyebutkan, kemarahan Risma ini sudah berlebihan dan harus dievaluasi. Apalagi dalam budaya ketimuran, cara menegur orang apalagi bawahan bukan seperti itu. “Kalau kita mau memarahi bawahan, jangan di depan umum. Itu tidak betul. Marahi di ruang kerja atau di tempat yang tidak ada orang lain,” kata Tjipta yang membandingkan bagaimana mantan Gubernur DKI Basuki Cahaya Purnama alias Ahok yang jatuh karena terlalu emosional.
Prof Tjipta juga tidak setuju dengan pernyataan yang menyebutkan hanya perlu melihat hasilnya saja dalam suatu pekerjaan seseorang. Dia menyebut, itu adalah para pengikut Machiavelli yang tidak memiliki kesantunan dan hanya berpikir hasil saja. “Jangan sampai kita terjebak dengan hal seperti ini. Proses dan cara komunikasi pemimpin harus baik, dan hasilnya juga akan baik,” katanya.
Menutup acara, Hotman Paris mencoba mengubah pandangan Andre Rosiade soal drama Korea. Namun, Andre tetap yakin dengan dugaannya kalau yang dilakukan Mensos Risma adalah pencitraan ala Drakor. “Baiklah, kalau pak Andre tetap yakin ini drakor, kita serahkan saja ke publik. Semoga, semua pemimpin kita bisa bekerja baik membawa Indonesia keluar dari pandemi Covid-19,” katanya.
Hotman juga menyimpulkan tiga hal dalam acara ini. “Kehidupan politik tidak bisa terlepas dari pencitraan, istilah pencitraan sendiri adalah tendensi. Politisi sama dengan pebisnis, perlu labeling dan marketing. Namun yang perlu dinilai masyarakat adalah bagaimana cara dan hasul kerjanya,” kata Hotman.